Ada Konflik Kepentingan Pejabat Selama Pandemi Covid19? Siapa yang Diuntungkan?
“Besok harus berangkat ke Semarang naik pesawat ni. Tapi harus PCR dulu. Ke hotel harus PCR. Naik Pesawat harus PCR” keluhan masyarakat di saat pandemi Covid-19 mencuat. Bagaimana tidak mengeluh? di tengah kondisi ekonomi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya kita dituntut untuk mengeluarkan biaya tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk kegiatan sehari hari. Belum lagi fenomena di sekitar yang harus melihat rekan, saudara, atau sahabat kehilangan pekerjaan atau mendapat potongan gaji. Pandemi Covid-19 adalah momen dimana dana darurat di dalam rumah tangga terpakai untuk beragam hal terutama terkait dengan Kesehatan.
Setelah badai pandemi mereda muncullah informasi bahwa ada beberapa pejabat terlibat dalam bisnis PCR. Dikutip dari antikorupsi.org, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menyebutkan bahwa perputaran uang dalam bisnis PCR mencapai Rp 23 Triliun dengan total potensi keuntungan mencapai Rp 10 Triliun. Angka yang sangat menggiurkan dan fantastis didengar masyarakat. Keterlibatan pejabat dalam bisnis PCR tentu menjadi suatu hal yang tidak mudah diterima masyarakat. Berapa banyak dana masyarakat yang dihabiskan untuk membayar tes PCR ketika ada keluarga atau sanak saudara yang terpapar Covid-19? Belum lagi kebijakan publik yang mengharuskan untuk menggunakan hasil tes PCR sebagai syarat mobilitas antar wilayah. Benarkah ini kebijakan untuk kebaikan masyarakat atau untuk mendulang keuntungan bagi segolongan orang tertentu? Atau mungkin telah terjadi konflik kepentingan selama pandemi Covid-19.
Konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang pejabat publik yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. Berdasarkan informasi yang dikutip dari antikorupsi.org, ada pendirian sebuah perusahaan penyedia jasa tes PCR yang dananya terafiliasi dari beberapa pejabat yang masih aktif. Perusahaan tersebut dibangun dalam bentuk Perusahaan Terbuka (PT) dan sudah memiliki beberapa cabang di Jakarta dan sekitarnya. Meskipun pejabat tersebut menyampaikan bahwa mereka tidak menerima keuntungan dari bisnis PCR ini namun ada beberapa hal yang patut dipertanyakan dan dikritisi.
Pertama, jika memang keputusan untuk mendirikan perusahaan penyedia tes PCR bukanlah bagian dari konflik kepentingan, mengapa pejabat tersebut tidak menggunakan perusahaan berlabel Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ?. Pejabat tersebut dapat menggunakan perusahaan BUMN sebagai penyedia jasa atau sebagai pengelola dana hibah dari pejabat tersebut. BUMN dapat menjadi salah satu perpanjang tangan dari pemerintah untuk melakukan penugasan.
Kedua, jika memang keputusan mendirikan perusahaan tersebut untuk orientasi sosial, mengapa perusahaan tersebut tidak didirikan dalam bentuk Yayasan?. Pendirian dalam bentuk PT memberikan gambaran bahwa terjadi perputaran uang yang menghasilkan keuntungan komersil untuk si pemilik modal tersebut.
Selain itu, sebagai seorang Aparatur Negeri Sipil (ASN) atau Pejabat Negara perlu menerapkan prinsip etika publik selama memiliki tugas dan wewenang di badan pemerintah. Konflik kepentingan yang dilakukan pejabat yang masih aktif menunjukkan bahwa pejabat tidak menerapkan prinsip etika publik.
Di akhir masa pandemi Covid-19 keluarlah sebuah kebijakan terkait biaya tes PCR yang menurun secara drastis. Hal tersebut kembali menjadi perhatian masyarakat. Perusahaan yang dibangun pejabat dengan klaim untuk kepentingan sosial tetapi berlabel komersil menunjukkan ada yang tidak selaras antara apa yang disampaikan pejabat tersebut dengan kebijakan yang diterapkan. Jika orientasinya sosial biaya tes PCR di perusahaan tersebut seharusnya bisa lebih murah dibanding biaya tes PCR perusahaan lainnya.
Selama masa jabatan Presiden Joko Widodo, para pejabat berulang kali mengabaikan etika publik dan konflik kepentingan. Kami masyarakat berharap Presiden bisa lebih tegas menindaklanjuti dan mengambil langkah konkrit terkait benturan kepentingan dalam penyelenggaraan negara. Ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip etika publik dan adanya konflik kepentingan merupakan jalan menuju korupsi.
Sumber referensi :
https://antikorupsi.org/id/article/bisnis-pcr-dan-konflik-kepentingan-pejabat-publik
https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/pendidikan/infografis/pengertian-konflik-kepentingan
https://www.freepik.com/free-vector/hand-drawn-flat-anti-corruption-day-illustration_20899018.htm#query=anti%20corruption&position=9&from_view=keyword