Kebenaran Bentuk Bumi: Membongkar Kontroversi Teori Flat Earth

profile picture Arum Kusuma

Kehebohan Flat Earth di Jagat Maya

Beberapa tahun belakangan jagat maya ramai dengan kemunculan teori bumi datar (flat earth). Beragam platform media sosial seperti instagram, youtube, twitter hingga facebook turut membantu penyebarannya. Kehebohan yang terjadi menimbulkan kontroversi di masyarakat. Bagaimana tidak, sejak di bangku sekolah bahkan di tingkat dasar, murid-murid telah diajarkan oleh para guru bahwa bumi mutlak berbentuk bulat dengan disertai fakta-fakta ilmiah sebagai pendukungnya. Namun, fakta ini justru disangkal oleh penganut bumi datar melalui argumennya di media sosial. Meskipun demikian, kehebohan teori flat earth di jagat maya tetap menimbulkan reaksi netizen yang pro dan kontra. 

Dalam postingan instagram milik penganut bumi datar yang bernama flat_earth_community membeberkan argumen terkait bumi datar. Tentu saja, beragam komentar pun bermunculan. Salah satu netizen yang pro terhadap bumi datar ikut berkomentar dalam akun agha0223: 

Mengertilah kamu bahwa bumi itu datar. Kita ditipu oleh perbuatan mereka yang mengaburkan sejarah dan para ilmuwan yang disandera oleh kepentingan kelompok mereka

Tanggapan lain diberikan netizen yang kontra terhadap bumi datar dalam akun tech_influencer44:

FE (Flat Earth) ini lucu ya, gak percaya satelit ada tapi pake google map via satelit.

Awal Mula Penemuan Teori Flat Earth dan Perkembangannya

Pemikiran tentang bumi datar sebenarnya telah ada sejak dahulu, tepatnya di zaman Yunani kuno sekitar 2500 tahun lalu. Para filsuf seperti Thales dan Anaximander mengklaim bahwa bumi berbentuk datar. Thales menyebut bahwa bumi itu datar ibarat kayu yang mengambang di tengah lautan. Adapun Anaximander berpendapat bahwa benda-benda langit beserta bumi berbentuk datar. Klaim ini bukan sekadar argumen belaka, akan tetapi didasarkan oleh pengamatan yang dilakukan sebelumnya. Selain thales dan Anaximander, filsuf lain yang sepakat dengan teori ini yaitu Lucretius dan Democritus, si pencetus teori atom.

Seiring perkembangan zaman, gagasan mengenai flat earth kembali muncul pada abad pertengahan yaitu pada tahun 1850. Pencetusnya adalah Samuel Rowbhotam, seorang ilmuwan dari Inggris. Dalam bukunya yang berjudul Zetetic Astronomy : Earth Not a Globe, Ia mengungkapkan bahwa bumi berbentuk datar yang berpusat di kutub utara dimana bagian tepinya dibatasi oleh tembok es besar. Pada tahun 1956, organisasi flat earth didirikan pertama kali oleh Samuel Sheton. Tak lama setelah kematiannya, organisasi ini dipimpin oleh Charles K. Johnson yang berpusat di California.

 Organisasi flat earth berganti nama menjadi flat earth society sejak dipimpin oleh Daniel Sheton pada tahun 2001. Menurut majalah Smithsnoian, jumlah anggota penganut bumi datar ini pernah mencapai 3500 orang. Laporan terbaru, pada tahun 2021 keanggotaan flat earth society disebut lebih dari 500 orang. walaupun begitu, masih ada penganut teori bumi datar yang enggan dikaitkan dengan Flat earth society.

Eksistensi Para Flat Earther di Indonesia

Berkat kecanggihan teknologi internet, menjadikan masyarakat Indonesia tak ketinggalan dengan perbincangan flat earth yang merebak di media sosial. Tentu saja hal ini membuat masyarakat terbagai menjadi dua pihak yaitu pihak yang percaya dan yang menolak percaya. Pihak yang percaya bumi datar menamai dirinya sebagai Flat Earther (FE) dan menyebut pihak pro bumi bulat sebagai Globe Earther (GE). Bahkan, tak hanya sekadar mengikuti viralnya pemberitaan, kini beberapa pihak terlihat serius menanggapi teori flat earth ini. Akun instagram flat_earth_community muncul sebagai bantahan kepada kaum bumi bulat melalui bukti-bukti kebenaran flat earth di setiap postingannya.

Beberapa grup facebook milik komunitas bumi datar pun bermunculan. Salah satu grup facebook bumi datar yang bernama Flat Earth 101 Indonesia bahkan memiliki jumlah pengikut sebanyak 16 ribu anggota. Sayangnya grup ini bersifat privat dan hanya menerima penganut bumi datar sebagai anggotanya. Grup lainnya bernama Indonesia Flat Earth Research (IFER) yang memiliki jumlah pengikut 2473 anggota dan kini diketuai oleh Wahidin Amir. Kini IFER telah melangkah lebih jauh dengan mengadakan riset hingga konferensi nasional sebagai langkah untuk pembuktian kebenaran bumi datar.

Kebenaran Bentuk Bumi

Masifnya pergerakan penganut bumi datar yang diiring perdebatan mengenai bentuk bumi membuat beberapa orang kembali mempertanyakan kebenaran akan bentuk bumi. Berdasarkan keyakinan dan kepercayaan yang selama ini dipegang oleh masyarakat luas, bentuk bumi adalah bulat. Tidak hanya sebuah argumen, akan tetapi penelitian terdahulu yang dilakukan oleh NASA dan ilmuwan sains telah menunjukkan bumi berbentuk bulat. Salah satu bukti kuat bahwa bumi itu bulat adalah adanya zona waktu. 

Mengutip dari artikel zenius, zona waktu terjadi akibat sinar matahari yang menerangi bagian bumi. Bentuk bumi yang bulat mengakibatkan tidak semua wilayah mendapat pancaran sinar matahari secara bersamaan. Dampaknya adalah tiap wilayah di bumi memiliki waktu berbeda. Fenomena ini tidak akan dapat terjadi jika bumi itu datar. Hal ini karena seharusnya kita masih dapat melihat matahari meskipun dari jarak yang jauh. Salah satu fakta tersebut telah cukup dapat mematahkan teori bumi datar. Jika masih berpikir bahwa bumi itu datar maka seharusnya kita dapat menemukan ujung dunia. Kenyataannya, jika kita berjalan ke ujung dunia maka kita akan terjatuh ke ruang angkasa. Gagasan bumi datar merupakan kesalahpamahan ilmiah dasar yang sebenarnya dapat dibantah, bahkan oleh orang yang tidak paham fisika sekalipun. Walaupun begitu, kaum flat earther tidak goyah dengan teori yang mereka yakini.

Perdebatan tentang bentuk bumi di media sosial tidak akan ada habisnya.  Oleh karena itu, sebagai insan yang berilmu, seharusnya kita tidak mudah terprovokasi dengan kontroversi dan isu yang terjadi. Sebaiknya informasi yang ada perlu dicari kebenarannya. Sah-sah saja memiliki perbedaan pendapat, tetapi hal itu harus didasari oleh ilmu pengetahuan dan penelitian yang telah terbukti kebenarannya bukan hanya argumen belaka. 

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Arum Kusuma

This statement referred from