Tuhan Adalah Ilusi Ketidakberdayaan Manusia
Bayangkan kamu hidup di Jerman, disatu Gua purba bernama Stadel, sekitar 40 ribu tahun sebelum masehi dan menyembah sosok roh manusia berkepala singa demi selamat dari ancaman binatang buas.
Atau bayangkan kamu hidup di awal milenium ke-3 SM ditengah masyarakat bahari Babilonia dan bersujud, berharap, serta beritual kepada dewa bernama Marduk agar lahanmu tumbuh subur dan bebas hukuman sepanjang tahun.
Tapi, saat ini kamu hidup di dunia, dimana kecil kemungkinan kamu akan diserang binatang buas dan tidak terlalu khawatir soal usaha tani karena manusia berhasil mengelabui tanah dengan pupuk dan setiap manusia punya hak yang sama diatas hukum. Tapi satu hal yang akal tidak tahan terhadapnya adalah ketidakpastian, manusia membutuhkan jawaban atas segala sesuatu, membutuhkan sosok untuk dipercaya agar dirinya mempunyai alasan dalam melakukan sesuatu, suatu zat supernatural yang bisa melakukan apapun, yang akan menyelamatkan atau justru memberikan hukuman pada manusia. Maka, kemudian kini kamu menyembah apa yang disebut Tuhan.
Lalu pertanyaannya adalah dari ribuan agama yang tercipta sejak manusia ada di bumi dan dari ribuan sosok Tuhan dan dewa dewinya yang Maha Kuasa, mana Tuhan yang benar atau mana yang benar-benar Tuhan?
Manusia atau Homo Sapiens tepatnya sudah ada di bumi sekitar 150.000 tahun yang lalu, tapi perjalanan kita tidak berawal dari situ. Kisah panjang ini dimulai sejak 70.000 tahun yang lalu, ketika Homo Sapien mengalami Revolusi Kognitif. Dari makhluk rentan yang bodoh, kelompok marginal disudut afrika hingga akhirnya menjadi makhluk paling canggih yang mampu menguasai darat, laut, dan angkasa.
Di waktu yang sezaman dengan Homo Sapiens purba; ±100.000 tahun yang lalu, di daerah Timur Tengah dan Eropa terdapat jenis manusia lain, Neanderthal namanya. Mereka lebih kuat secara fisik, lebih mampu beradaptasi dengan iklim dingin dibanding Sapiens pada masa itu, sudah menggunakan alat dan api, merawat sesamanya yang sakit dan menjaga yang lebih lemah.
Di sisi dunia lain, sekitar Asia Timur ada spesies manusia lain yang hidup, Denisovan. Mereka hidup berkelompok dan nomaden, tapi tidak seperti Sapiens purba yang hanya hidup di daerah teritorialnya, Denisovan telah mampu menjajakan kakinya hingga garis Wallace sampai ke Sahul, daerah Papua Nugini dan Australia.
Tetapi hari pembalasan datang lebih cepat menimpa mereka, mungkin karena mereka penyuka sesama jenis atau terlalu sering makan babi dan mabuk-mabukan hingga Tuhan mengazabnya.
Sedang itu tidak terjadi pada Sapiens, apa karena ada nabi di kelompok Sapiens atau mereka rajin membayar zakat tepat waktu?. Jawabannya tidak, satu-satunya alasan adalah karena Kita berpikir dan berkomunikasi.
Manusia—yang selanjutnya jika ada kata manusia artinya merujuk pada Homo Sapiens—mampu berpikir dan berkomunikasi dengan bahasa yang fleksibel.
Mungkin kamu bertanya kemudian, bukankah makhluk lain pun berpikir dan berkomunikasi juga?
Tentu mereka berpikir dan berkomunikasi seperti manusia pada umumnya, Simpanse misalnya, kemampuan ingatan berpikir jangka pendek Simpanse lebih baik dibanding manusia, mereka juga mampu berkomunikasi dengan sesamanya. Tapi cara komunikasi mereka sangat kaku, hanya bahasa vokal dan seruan isyarat tertentu yang memungkinkan mereka untuk mengatakan sesuatu yang terlihat didepan mata, misalnya bahwa ada singa yang berlari menuju ke arahnya atau menunjukkan ke koloninya pohon pisang yang berbuah lebat.
Sedangkan manusia jauh lebih dari itu, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu berpikir dan berbicara tentang realitas yang tidak nyata, menciptakan realitas baru di dalam kepalanya dan memberitakan manusia lain tentang pikirannya itu.
Hanya manusia yang bisa membual tentang singa bersayap yang mengeluarkan api dari mulutnya atau berbicara tentang pohon kramat yang menjadi rumah arwah gentayangan. Sedangkan Simpanse tidak mungkin mengatakan bahwa ada singa bersayap yang menuju ke arahnya atau menyuruh temannya untuk menyembah satu pohon karena nanti pohon itu akan menghasilkan pisang yang banyak. Dan kemampuan manusia ini yang menyebabkan dirinya menguasai bumi.
Apa hubungannya antara kemampuan berpikir yang tidak nyata dan berkomunikasi hingga manusia mampu menguasai bumi?
Silahkan bertaruh, jika kamu dan simpanse hidup seorang diri di pulau terpencil, siapa yang lebih memiliki kemungkinan untuk bertahan hidup, dan saya akan bertaruh pada Simpanse.
Di hari pertama Simpanse akan selamat dari ancaman binatang darat yang buas karena mampu berlari dan memanjat pohon lebih cepat dibanding kamu, selanjutnya ketika keadaan memungkinkan Simpanse itu akan menyerang dan mencabik-cabik perutmu karena secara fisik; tenaga/stamina Simpanse lebih kuat dibanding manusia medioker.
Tapi berbeda keadaannya ketika 1000 manusia dan 1000 Simpanse yang hidup di pulau terpencil itu.
Di hari pertama Para Manusia akan membuat organisasi dan susunan rencana untuk menangkap Simpanse-Simpanse dan memasukannya ke kebun binatang.
Manusia akan menunjukan superioritasnya ketika mereka berada dalam satu kelompok homogen. Kemampuannya berpikir dan berkomunikasi, baru akan berguna ketika Manusia secara kolektif bersatu untuk bekerja sama.
Pertanyaan selanjutnya, bukankah banyak hewan bekerja sama, Simpanse juga bekerja sama dalam kelompoknya?
Lebah mampu bekerja sama secara masif dalam kelompok besar untuk mencari makan dan bertahan hidup, tapi mereka hanya memiliki satu sistem korporasi yang kaku, ketika ada ancaman mendadak dari luar menyerang sarangnya, lebah tidak mampu beradaptasi secara cepat membangun kembali kerajaan untuk Sang Ratu, atau tidak mungkin para pekerja lebah membuat partai berideologi kiri dan melakukan revolusi, berusaha menggulingkan pemerintahan Sang Ratu untuk menciptakan sistem diktaktorial masyarakat tanpa kelas yang dipimpin seekor lebah pekerja.
Simpanse mampu menciptakan sistem hidup yang lebih fleksibel, hidup harmonis dengan membangun kelompok untuk menghegemoni wilayah tertentu dan jika ada ancaman dari luar, mereka dipimpin Simpanse Alfa akan mempertahankan teritorinya dan mengusir kelompok lain yang berusaha menjajah. Tapi, Simpanse hanya mampu bekerja sama dalam kelompok kecil, hanya 20 sampai 50 Simpanse yang dapat dipimpin oleh satu Simpanse Alfa. Dan untuk membuat kelompok yang harmonis, setiap Simpanse harus memiliki kedekatan individual antara satu sama lain, dua Simpanse yang tidak pernah bertemu sebelumnya atau tidak pernah berbagi makanan, tidak saling membersihkan kutu, tidak sempat berpelukan dan bercinta tidak mungkin bisa bersatu, berkoalisi, dan bekerja sama untuk hidup bersama. Tidak mungkin Ribuan Simpanse bisa duduk bersama di Stadion Gelora Bung Karno untuk saling mendukung klub bola kesayangannya yang sedang bermain, dipimpin satu Simpanse alfa sebagi ketua fans club-nya. Yang terjadi adalah Gelora Bung Karno akan menjadi arena gladiator, mereka akan saling berperang dan membunuh untuk kemudian menduduki stadion itu sebagai wilayahnya.
Dan manusia, adalah satu satunya spesies yang bisa melakukan keduanya, membentuk koalisi besar dengan sistem yang adaptif tanpa perlu memiliki pengetahuan yang mendalam antar individu. Ini bisa terjadi karena satu hal, yaitu realitas imajinasi.
Imajinasi atau realitas tidak nyata adalah hasil dari abstraksi dialektis antara realitas objektif di luar diri kita dan realitas subjektif di dalam diri kita. Realitas objektif adalah material yang self evident, bekerja sebagaimana mestinya tanpa pengaruh dari manusia. Api, tanpa mempedulikan kamu percaya atau tidak, tanpa memandang kamu suku jawa atau suku batak, api akan tetap bersifat panas dan membakar kulitmu jika disentuh. Sedang realitas subjektif adalah pengetahuan yang kamu miliki secara personal, misalnya mimpi, hanya kamu yang memiliki pengetahuan tentang mimpi itu dan seluruh alur ceritanya.
Dan manusia bisa berabstraksi secara imajiner menggabungkan dua realitas itu menjadi satu yang menghasilkan realitas yang baru, realitas objektif ditautkan dengan keyakinan subjektif yang akan menghasilkan paradigma baru yang disebut intersubjektif. Uang misalnya, secara objektif uang hanyalah kertas tipis persegi panjang yang dicetak dengan gambar tokoh didalamnya yang bertuliskan sejumlah nominal angka. Tapi uang menjadi berharga karena ada keyakinan subjektif yang dipercaya bahwa uang itu berharga.
keyakinan subjektif ini dimiliki oleh seluruh manusia di dunia, seluruh manusia mengikut aturan yang sama, seluruh manusia memiliki landasan keyakinan yang sama pada kertas yang berisi nominal angka bahwa itu berharga maka kertas itu menjadi berharga.
Kini kita coba mengambil contoh menyedihkan, seorang pria ambisius berkebangsaan Jerman percaya bahwa rasnya lebih unggul dibanding yang lain, tapi anti pada salah satu ras dan berkeyakinan bahwa ras itu harus musnah sepenuhnya.
Dengan kemampuan bahasa yang mumpuni dia mampu berorasi didepan ribuan prajurit untuk menyebarkan keyakinannya, yang kemudian 6 juta nyawa manusia tak bersalah lenyap karena konsep imajiner nasionalismenya.
kelompok yang berkuasa dan kelompok yang didominasi (yang menjadi korban) itu tidak ada bedanya, mereka manusia yang sama, jika dibedah memiliki organ yang sama, lalu dilihat darahnya memiliki warna merah yang sama, dan dites DNA-nya memiliki DNA Homo Sapiens yang sama, yang menciptakan perbedaan adalah keyakinan imajiner yang membuat kelompok dominan percaya bahwa memang mereka adalah ras unggulan. Keyakinan nasionalistik ras unggulan ini, secara kolektif dipercaya oleh seluruh kelompoknya maka itu jadi kebenaran didalam dirinya.
Dan keyakinan imajiner inilah yang membuat manusia, walapun tanpa saling kenal, tanpa kedekatan individu, tanpa perlu menjadi teman sejawat lebih dulu, mampu membuat mereka berkerja sama dalam jumlah yang besar, sebagaimana ribuan prajurit Jerman tunduk pada pemimpinnya dan benci pada ras lawannya. Banyak contoh lain yang disadari atau tidak, sebenarnya itu hanyalah realitas intersubjektif yang imajiner, dan Agama adalah salah satu produk dari imajinasi manusia.
Sejak revolusi kognitif, manusia mampu berpikir secara abstrak dan dialektis antara realitas objektif dan realitas subjektif menjadi paradigma intersubjektif lalu melahirkan yang disebut imajinasi. Mari kita menaiki mesin waktu dan pergi ke masa lalu, stasiun pertama adalah Gua Stadel, Jerman. 40 ribu tahun yang lalu kamu adalah manusia purba. Hidupmu berkelompok dan pada saat itu kelompokmu hanyalah kaum marginal, kelompok lemah yang memiliki berbagai ancaman yang menanti. Penyakit sederhana seperti flu bisa menjadi bahaya besar yang bisa menyebabkan kematian, kecil kemungkinan untuk kamu bertengkar dengan sesama manusia dalam kelompokmu tapi hal yang lumrah bagimu bertengkar dengan monyet untuk saling memperebutkan sumber pangan yang terbatas. Dua naluri alamiah tumbuh dalam dirimu, ketakutan dan kebutuhan. Takut akan ancaman, bisa ancaman penyakit, cuaca, atau hewan buas dan juga naluri kebutuhan, kebutuhan akan bahan pangan dan mungkin juga wilayah teritorial. Kamu berpikir bagaimana caranya, diri ini yang begitu rentan, lemah, dan tidak berdaya bisa menghadapi masalah-masalah itu. Kamu mengobservasi sekeliling dan menemukan bahwa singa adalah raja rimba, mungkin puncak rantai makanan dan ditakuti monyet; setan yang nyata yang menjadi musuh utama. Dengan kemampuan abstraksi intersubjektif kamu bisa memadukan realitas diluar dan didalam dirimu, hingga lahirlah imajinasi manusia berkepala singa, yang akan menjagamu bila menjelajah wilayah yang belum terjamah, yang akan membantumu melawan monyet-monyet itu, dengan sedikit keterampilan mengukir kamu mengubah kayu menjadi patung manusia dengan kepala singa. Lalu kamu menceritakan pada kelompokmu, dengan tambahan kisah dan drama, bahwa kamu menerima wahyu dari malaikat bersayap ketika bersemedi 40 hari di dalam gua, malaikat itu berkata untuk menyembah pada ruh nenek moyang yaitu "The Lion-man" dan hidupmu akan selamat, kemudian kamu menunjukkan ukiran yang telah dibuat dan seluruh kelompokmu percaya. selamat! kamu adalah nabi utusan dewa singa. Dan sekarang, kelompokmu menepikan ketakutannya pada cuaca, penyakit, dan hewan karena kalaupun mati ruh penjaga akan menempatkanmu di surga, kini kelompokmu akan lebih berani melawan monyet dan mempertahankan sumber makanannya karena percaya bahwa ruh dewa singa akan selalu menjaga.
Dan inilah pola bagaimana realitas fiktif tercipta. Ketakutan dan kebutuhan akan sesuatu - manusia yang merumuskan imajinasinya - imajinasi menyebar dalam kelompok - keyakinan intersubjektif mendorong kelompok untuk melakukan atau mendapatkan sesuatu.
Mari kita tinggalkan rumah gua dan pergi ke satu periode di awal milenium ke-3 SM, kota Babilonia tepatnya.
Terdapat imperium megah disini, dibawah kepemimpinan raja bernama Hammurabi, kekaisaran terbentang dari Teluk Persia hingga seberang wilayah Turki kini, tembok-tembok kota menjulang tinggi nan megah, rakyatnya tertib, patuh, dan tunduk terhadap hukum negara. Apa yang menyebabkan ini bisa terjadi?
Jawabannya karena dewa melindungi dan memberkahi kotanya. Dewa Marduk adalah dewa tertinggi disini, yang dipercaya seluruh rakyatnya bahwa Marduk adalah dewa bijaksana yang akan melindungi orang baik dan menghukum orang jahat di kota Babilonia.
Marduk mulai menjabat sebagai dewa ketika Hammurabi mulai menjabat sebagai raja. Dewa-dewi sebelumnya yang dipercaya penduduk lokal diturunkan derajatnya, sedangkan Marduk, menempati posisi seperti yang dipegang Zeus dalam susunan dewa-dewi di Yunani.
Sampai disini kita seharusnya sudah paham kenapa Marduk bisa tercipta. Hammurabi, berkuasa sebagai raja tapi tidak bisa absolut jika hanya menjadi manusia biasa, akan terlalu rentan terhadap ancaman eksternal. Perlu imajinasi yang menjadikan seluruh rakyatnya tunduk pada setiap kata yang diucapkan raja. Kode Hammurabi (code of Hammurabi) adalah hukum tulis pertama yang ditemukan dibongkahan batu, berisi 282 seperangkat kebijakan sebagai undang-undang dasar bangsa Babilonia saat itu. Tapi bukan hukum ini yang membuat rakyatnya tertib, yang menjadikan seluruh rakyatnya tertib dan tunduk adalah Hammurabi berkata bahwa hukum ini adalah wahyu yang diturunkan oleh dewa Marduk yang bijaksana. Walau pada kenyataannya peraturan-peraturan yang ada sangat tidak adil dan diskriminatif.
Misalnya, diketahui bahwa masyarakat terbagi tiga kelas yaitu kalangan atas, orang biasa, dan budak. Jika kalangan atas sengaja ataupun tidak sengaja berbuat keji pada orang biasa atau budak hingga tulangnya patah, mereka hanya perlu membayar beberapa Shekel perak; mata uang pada saat itu. Tapi jika orang biasa atau budak yang melakukannya, mereka harus menerima hukuman dipatahkan tulangnya oleh kalangan atas.
Dengan logika zaman sekarang ini tidak adil, tapi hingga yang diketahui, tidak muncul aktivis HAM dari kalangan biasa dan budak yang berdemo di depan istana Hammurabi atau membuat seminar untuk membela hak dan keadilan hidupnya, karena semua orang memiliki imajinasi yang sama bahwa hukum ini memang dari Dewa Marduk. Imajinasi bodoh Hammurabi ini yang membuat masyarakatnya tunduk dan tertib bekerja sama walapun dirinya ditikam ketidakadilan, karena barang siapa yang melawan akan dianggap murtad lalu dikutuk oleh dewa. Dan kamu tidak bisa berkata bahwa rakyat Babilonia yang bodoh karena mau percaya pada Hammurabi. Seorang rakyat Babilonia akan mengatakan bahwa keyakinan yang dianutnya adalah yang benar, karena dirinya lahir dan berkembang pada masa dan tempat yang mempercayai bahwa itu memang benar. Sebagaimana kamu sekarang yang menganggap bahwa keyakinanmu adalah yang benar, karena kamu lahir disini, di era ini, dan di lingkungan yang mempercayai bahwa itu benar. Dengan kata lain Agama dan Tuhan yang dipercaya, hanya soal kesempatan kamu lahir dimana dan diwaktu kapan.
Dan saat ini kamu sudah tidak butuh ruh manusia singa sebagai penjaga atau hukum dari dewa yang bijaksana. Tapi awan tak mampu menahan datangnya musim semi, tidak ada yang mampu menahan manusia untuk berpikir dan berimajinasi. Realitas imajinatif ini terus tercipta hingga menghasilkan agama-agama besar sampai sekarang. Tentu bentuknya semakin rasional, tapi tetap mencirikan kebutuhan pada masanya. Kita ketahui seseorang yang sederhana, berbudi luhur, dan jujur dari Arab pada abad ke-6, memiliki tujuan mulia ingin mengubah keadaan zamannya yang pada saat itu kebodohan menyelimuti, kalangan budak diperlakukan semena-mena oleh bangsawan, wanita diperlakukan tidak manusiawi, perpecahan antar suku dan kekejian-kekejian lainnya, dia ingin merubah itu semua dan hanya satu cara untuk semua orang bekerja sama secara kolektif menuntut perubahan, yaitu imajinasi. Dogma imajiner gerakan ini awalnya cukup sederhana, satu Tuhan gaib diatas awan, ultilitarian, dan humanity. Menekankan pada keutamaan akhlak dan kebermanfaatan bagi sekitar, anti penindasan terhadap sesama, sikap ini yang membawa pengaruh besar terutama pada kelompok yang tertindas. Kaum yang awalnya liar dan barbar bisa merubah pandangan hidupnya menjadi satu bentuk yang hanya menjunjung kemuliaan, keyakinan intersubjektif ini yang terdapat disetiap kepala kaum tersebut yang mampu mendorong mereka untuk berbuat baik dengan harapan bahwa setelah mati akan dibalas di surga. Kemudian ajarannya meluas dan bertahan, baru setelah pendirinya meninggal ajaran ini menjadi tambah rumit, tambah spekulatif yang melahirkan banyak aliran hingga sekarang.
Sekarang mari kita bangun di satu era kegelapan Eropa, di Abad ke-8 hingga ke-14. Satu zaman dimana seluruh Eropa takluk pada hegemoni Gereja yang otoriter. Orientasi kehidupan setiap orang pada saat ini hanya pada dunia supernatural, hukum gereja adalah mutlak, suara pendeta adalah suara Tuhan. Ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sekolah-sekolah diatur Gereja yang tentunya mengalami deviasi. Aturan irasional pun banyak tercipta, misalnya rights of thigh (hak paha). Satu aturan dimana jika ada sepasang pasangan suami-istri baru, pernikahan bisa berlanjut jika mendapatkan restu dari Gereja, dan restu itu didapat ketika si istri "tidur" dengan otoritas Gereja. Hingga akhirnya muncul kesadaraan untuk memisahkan urusan agama dan urusan dunia, paham ini yang disebut sekulerisme, ini yang membuat bangsa Barat maju sampai sekarang. Tapi keadaan kelam sebelumnya yang terjadi selama berabad-abad hanya dan pasti bisa terjadi ketika setiap orang percaya pada satu imajinasi yang sama. Ketika ada dua imajinasi yang berbeda maka pasti akan tercipta pertentangan. Konflik Israel dan Palestina itu terjadi bukan dengan tujuan mendapatkan sumber pangan terbatas yang hanya ada diwilayah teritorial tertentu seperti manusia di zaman purba. Tak ada sumber daya apapun di sepanjang Laut Tengah dan Sungai Yordan. Tapi konflik terjadi karena mereka memiliki cerita imajiner yang tidak sesuai dan tidak bisa menemukan kesamaan untuk disepakati bersama. Di sisi ini tentu imajinasi manusia banyak membunuh manusia itu sendiri, perpecahan terjadi hanya karena perbedaan imajinasi, tak terhitung berapa banyak nyawa yang hilang oleh sebab fanatik terhadap imajinasinya, tapi disisi lain imajinasi ini yang membuat manusia mampu menguasai bumi. Imajinasi tentang kertas yang berharga yang membuat semua manusia berinovasi, bergerak dan bekerja untuk mendapatkannya, imajinasi tentang nasionalisme bangsa yang membuat kita mempunyai perasaan senasib sepenanggungan, imajinasi tentang Tuhan yang mendorong manusia berbuat kebaikan dan menjauhi kemunkaran dengan harapan mendapatkan balasan dari semua itu. Dan seluruh realitas imajinatif ini yang memungkinkan manusia dalam jumlah besar, saling mengenal atau tidak, bisa bersekutu, hidup dan berkembang dalam satu landasan keyakinan yang pada akhirnya membuat manusia berhasil menguasai bumi, bukan lebah atau simpanse.
Lalu setelah pemaparan panjang ini, apa jawabanmu mengenai pertanyaan diawal, mana Tuhan yang benar atau mana yang benar-benar Tuhan?.