Melihat Status "Eksisitas" Tuhan Dalam Jembatan Dimensional Dunia
Perdebatan eksistensi Tuhan sudah berlangsung berabad - abad oleh banyak orang, termasuk kubu sains dan filsafat. Mengapa mereka berdua saya fokuskan? Karena mereka-lah penemu sumber pengetahuan dunia dan pengertian akan kehidupan yang Tuhan ciptakan. Pendekatan mereka sangatlah berbeda dan masalah keberadaan Tuhan bukan tentang keduanya. Sebelum kemunculan sains Barat kuno, para filsafat atau mistikus Timur mencoba mendeskripsikan cara kerja hukum alam yang ada di pikiran Tuhan dengan kesadaran manusia. Kata “baik dan buruk”, “welas asih dan tata krama” seolah menjadi satu perjalanan agung semua ciptaan. Setiap perbuatan dan dimensi waktu manusia kini akan mempengaruhi esensi masa depan. Ini adalah manifestasi dari kebebasan yang diberikan Sang Pencipta kepada manusia dan bebas dipilih.
Lihatlah bagaimana para pemikir mendapati pengetahuan paling tinggi dengan introspeksi dan kekuatan spiritualitas mereka. Melihat menjadi caranya, namun dengan level di atas observasi dan eksperimen. Melalui cara inilah, eksistensi Tuhan berusaha ditafsirkan. Sayangnya manusia dengan indrawi mempunyai limit yang sangat sempit. Jika Anda melihat gambar putih dan hitam di atas, abu - abu didramatisasi sebagai keadaan indrawi diri kita sekarang dan hitam sebagai abstraksi di luar kendali kita. Abu – abu digambarkan sebagai ketahuan konkrit yang belum sempurna adanya, sedangkan hitam sama sekali tidak terjamah oleh manusia. Satu – satunya cara memahami Tuhan adalah menerobos tepi / limit eksistensi kita menuju eksistensi kita yang abstrak. Eksistensi kita dalam jasmani dibawa dan disatukan dengan eksistensi kita dalam dimensi tak terlihat.
Kata “Tuhan” bermula dari bahasa Proto-Indo-Eropa “deiwos“ yang artinya “dewa” atau “entitas Ilahi”. Entitas Ilahi begitu sempurna sampai kita tak bisa membayangkan penampakan-Nya. Ia menciptakan dan memelihara alam semesta, kekuatan-Nya jauh melampaui manusia. Mengapa manusia mencoba bertaut pada entitas tersebut? Kita, manusia, hidup di dalam sistem yang dilukis oleh Sang Pencipta. Sistem rumit nan kompleks, namun ajaibnya mempunyai koneksi yang agung yang hanya dapat diakses oleh kekuatan tertentu. Alam semesta beserta hukum alam tak mungkin diciptakan oleh manusia yang jelas terdesak dalam ketidaksempurnaan. Beberapa agama percaya dalam keadaan apapun, manusia bagaikan garis asimtot matematis yang tak akan pernah sampai atau bahkan berpotongan pada garis kosmos Sang Ilahi. Garis akan terus mendapat sampai batas waktu yang tak dapat ditentukan. Ia itu Singular dan tak tertaut oleh dimensi ruang-waktu.
Jika demikian, pemikiran awal apa yang memulai pemikiran manusia akan Tuhan sebagai pencipta alam semesta? Adakah manusia sebelumnya yang mempunyai kesadaran diri tingkat transenden dan bisa berkomunikasi dengan Tuhan? Adam dan Hawa, manusia pertama yang diciptakan Allah pada waktu pekerjaan-Nya nyata terlihat. Kitab Suci banyak menceritakan hal tersebut dan meyakinkan manusia akan sesuatu yang sungguh transenden. Dalam pandangan Gnostisisme kuno, Adam mempunyai tubuh rohani yang besar dan kuat. Tubuh rohani ini memungkinkan Adam untuk berkomunikasi secara langsung dengan Tuhan dan merentang ke seluruh kosmos. Ia memegang kendali atas semua kekuatan dan energi di alam semesta. Ia adalah manusia pertama yang mendapat “buku kudus” khusus dari Tuhan untuk dilakukan. Berisi satu aturan paling aneh sekaligus dengan pemikiran Ilahi, “rawatlah dunia beserta isinya” tersirat. Mengapa Allah memerintahkan manusia? Sedangkan Ia sendiri mampu merawat ciptaan-Nya, bahkan membuat segala ketidaksempurnaan penciptaan menjadi sempurna kembali?
Segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan tidak bisa digugat oleh sarana indrawi saja. Sains sendiri tidak cukup menjelaskan dengan konkrit, begitu pula filsafat. Harus ada satu jalur khusus untuk menaikkan derajat spiritualitas manusia menuju kesadaran Ilahi. Semua itu abstrak, semua itu di luar indrawi manusia, semua itu tidak jelas dalam realita. Yang paling penting, semua itu hanyalah proyeksi dari satu keadaan paling tinggi dan tersembunyi. Jika manusia mampu menjawab teka – teki tersebut, apakah ia akan memegang status sebagai “makhluk Esa“? Kalau begitu, keberadaan Tuhan bisa terancam oleh keberadaan manusia itu sendiri. Namun sekali lagi, entah Tuhan hanyalah khayalan atau sungguhan nyata, dari dulu hingga sekarang, manusia menanamkan identitas “nyata“ berdasarkan pada kenyataan yang dikonfirmasi oleh kelima indra manusia. Indra inilah yang membantu manusia selama ini menembus kebuntuan mereka akan hukum alam dan segalanya.
Nuzulul Quran, waktu turunnya Alquran ke Bumi, menjadi kesaksian satu entitas lagi akan entitas yang sempurna. Malaikat Jibril atas izin Allah menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira. Dari sinilah letak Allah memfondasikan pengetahuan Ia sendiri untuk bisa dimengerti oleh manusia. Nyatanya, manusia dengan segelintir energi tak mampu untuk memahami sepenuhnya. Hadirlah hak kebebasan sebagai hak pemberian Tuhan yang paling mulia. Kebebasan ini berupa keikutsertaan akan kepercayaan ataukah tidak. Satu hal yang pasti, kebebasan ini meletakkan tanggung jawab penuh kepada manusia untuk menakar dunia menurut pemikiran mereka sendiri. Allah sendirilah yang kelak mengarahkan manusia untuk tahap demi tahap mengerti akan segala sesuatu yang disampaikan-Nya lewat firman-Nya dan wahyu-Nya.