Menguak Eksistensi Tuhan Lewat Penderitaan

profile picture rolin_taneo04
Sains - Fenomena

Penderitaan, jika dilihat secara realistis maka itu adalah bagian dari manusia hendak merayakan kemanusiaannya. Maksudnya, penderitaan itu jangan dilihat sebagai hal yang asing, tetapi benar-benar dirasakan oleh manusia. Hanya saja, ketika membahas penderitaan, manusia cenderung mencari figur yang ia anggap bisa menjadi tempat berlindung dan meminta pertolongan. 
 

Tuhan, oleh orang yang mengaku dirinya sebagai umat beriman tentu akan dengan percaya diri secara penuh katakan bahwa tempat berlindung yang aman. Hanya saja, apakah dengan klaim demikian dapat meyakinkan seluruh umat manusia bahwa benar Tuhan itu ada? Penulis malah melihat bahwa klaim tersebut dalam perkembangannya justru digugat kembali oleh para cerdik-cendekiawan yang merasa sangsi tentang keberadaan Tuhan. Salah satu kritik tajam terhadap eksistensi Tuhan dan jika perlu dipertanyakan datang dari persoalan penderitaan. 
 

Dalam bukunya berjudul Menalar Tuhan, Magnis Suseno hendak menunjukkan bahwa penderitaan itu merupakan suatu problem serius yang dapat menggugat iman orang yang percaya kepada adanya Tuhan. Tesis ini ia dasarian dari pertanyaan, jika Tuhan itu maha kuasa dan maha baik, mengapa Ia harus izinkan adanya penderitaan? (Frans M. Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta : Kanisius, 2006), 221). Tetapi, yang menjadi aneh, orang yang berlindung pada Tuhan yang akbar itu justru tetap merasa perlu untuk selalu datang dan meminta pertolongan. Sudah jelas-jelas tahu bahwa penderitaan itu telah dirasakan tetapi masih tetap merasa bahwa sifat baik dan maha kuasa itu kekal melekat pada Tuhan. 
 

Keyakinan semacam ini di hadapan Albert Camus justru dilihat sebagai sesuatu yang sangat absurd. Untuk lebih, mari simak apa yang Reza Wattimena paparkan tentang absurditas ala Camus. “Kepercayaan akan adanya Tuhan justru adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar. Penderitaan dan kekecewaan membuat dunia ini absurd. Di samping itu, absurditas ini juga dapat terungkap melalui berbagai macam hal, seperti fakta bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia bersifat sementara, dan tetaplah penuh penderitaan”, (Reza Wattimena, “Hidup Ini Absurd?”, diakses di https://rumahfilsafat.com/2007/07/05/hidup-ini-absurd/). 
 

Catatan Camus ini selanjutnya coba saya simpulkan sebagai yang benar adanya atau suatu realistis. Bukankah untuk hal yang paling remeh sekalipun selalu diupayakan oleh manusia untuk dikait-kaitkan dengan Tuhan? Kesannya, manusia seperti tidak bisa melakukan ini dan itu. Manusia, jika diperbolehkan untuk dijuluki, maka manusia adalah “Robot yang Tuhan kendalikan “. Maunya Camus, manusia justru harus berani menyangkali eksistensi Tuhan dan menggunakan segala daya yang ada dalam dirinya untuk mengatasi problem penderitaan. 
 

Kalau Camus sampai berpikir demikian, bukankah Camus telah mengintervensi terlalu jauh urusan pribadi orang yang beriman? Tidak juga! Catatan Camus ini penting untuk dipertimbangkan oleh semua yang mengaku dirinya beriman pada Tuhan. Tetapi apakah tuduhan Camus mengenai Tuhan itu tidak ada adalah benar? Mari secara pelan-pelan kita ungkap kebenarannya. 
 

Perhatikan apa yang menjadi tesis Penulis di awal tulisan ini. Penderitaan itu realitas yang sungguh-sungguh dialami manusia. Mencari perlindungan atau rasa aman itu wajar adanya. Jika belajar dari catatan Camus, Penulis setuju jika pada manusia ada potensi yang bisa dimanfaatkan, termasuk mencari jawab terhadap cara mengatasi penderitaan. Tetapi, tanggapan Camus tidak sepenuhnya benar apabila menyatakan Tuhan itu tidak ada lantaran adanya penderitaan. Nyatanya, dibalik derita  yang datang bertubi-tubi, seperti perang, kejahatan, kematian, milyaran manusia masih menyatakan imannya bahwa Tuhan telah banyak melakukan hal-hal besar di dalam mengatasi masalah yang ada. 
 

Sampai di sini, Penulis lagi-lagi merasa tertarik dengan catatan kesimpulan yang S.P. Lili Tjahjadi kemukakan. Baginya, “Kepercayaan kepada Tuhan itu tidak membuat manusia menjadi budak melainkan dengan mengikatkan diri kepada Tuhan dan kehendak-Nya manusia tidak menjadi budak kekuasaan dan barang dunia ini”, (S. P. Lili Tjahjadi, “Camus & Kritik Agama”, Majalah Basis, No. 07-08 (2021) : 47). 
 

Kesimpulan ini menarik. Kesimpulan ini adalah sebuah bentuk antitesis dari tanggapan Camus jika adanya Tuhan itu justru menyebabkan derita dan memperbudak manusia. Justru, dalam pengakuan akan eksistensi Tuhan, manusia diberi ruang dan saya untuk bisa mencari jawab atas masalah yang sementara dihadapi. 
 

Terakhir, mempertanyakan eksistensi Tuhan dalam derita itu tidak berarti membuat manusia harus menyangkali eksistensi Tuhan. Justru, dengan mempertanyakan eksistensi Tuhan, manusia dibawa ke dalam keyakinan terdalam dan sesungguhnya mengaku bahwa ada pribadi yang paling tinggi dan sulit untuk dicapai. Dialah Tuhan. Realitas dari segala sesuatu. Tuhan mengizinkan derita hanya untuk membuat manusia sepenuh mengakui keberadaan-Nya.

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By rolin_taneo04

This statement referred from