Kejanggalan Test PCR, Penipuan Terbesar Sejarah Umat Manusia

profile picture Edward_Wijaya
Politik - Other

Tes PCR dikenal oleh masyarakat luas sebagai satu-satunya alat untuk mendeteksi keberadaan virus corona dalam tubuh manusia. Awalnya tes ini membutuhkan waktu beberapa hari untuk bisa menunjukan hasilnya, namun seiring berjalannya waktu, tes PCR bisa mendeteksi ada atau tidaknya virus corona hanya dalam waktu beberapa jam.

Tapi keabsahan tes tersebut kemudian mulai dipertanyakan. Apakah tes sederhana yang mengambil sampel lendir dari nasofaring dan orofaring itu benar-benar bisa memberikan hasil yang efektif tentang keberadaan virus dalam tubuh manusia?

Keraguan ini bertambah dikarenakan sikap beberapa kelompok yang menjadikan tes PCR seolah-olah sebagai ajang bisnis. Seperti, untuk berpergian ke luar kota atau Negara, penumpang transportasi umum wajib menyertakan hasil negatif dari tes PCR. Bahkan untuk orang-orang yang membutuhkan jasa dari fasilitas kesehatan juga diminta melakukan tes PCR terlebih dahulu.

Hal itulah yang kemudian membuat masyarakat mempertanyakan apakah tes PCR ini efektif? Apakah benar tes PCR itu untuk mendeteksi virus corona dalam tubuh? Dan apakah benar tes PCR hanyalah ajang bisnis semata?

Pendahuluan

Bioteknologi telah berkembang pesat sejak awal abad ke 20. Istilah ini ditemukan oleh Karl Ereky pada tahun 1919, sebagai kata yang menggambarkan suatu teknologi yang berfokus pada pengubahan bahan mentah alami menjadi produk yang bisa dikomersilkan. Selama bertahun-tahun, dengan kontribusi dari para ilmuwan seperti Watson, Crick, dan Kornberg, bioteknologi berhasil merambah ke manipulasi materi genetik, yang menjadi awal munculnya teknologi PCR.

Polymerase Chain Reaction atau yang sering disebut dengan PCR ditemukan sejak tahun 1980. Teknologi ini seakan menjadi jalan tol untuk mengindentifikasi virus hingga untuk mendapatkan diagnosa medis. Namun, klaim efiktifitas PCR dalam mendeteksi genetik virus COVID-19 menjadi kontroversial. 

PCR awalnya dipercaya dapat mempercepat deteksi dan identifikasi genetik. Namun pada perjalanan kariernya, banyak kritik yang menyatakan bahwa klaim dari PCR dapat menimbulkan efek negatif, termasuk kesalahan diagnosa dan berdampak pada sosial ekonomi. Kritik lain juga mengarah ke asal usul bioteknologi yang terkait dengan hubungan antara manusia dan alam, dimana merujuk pada metode reduksionis.

Sejarah perjalanan tentang perkembangan PCR inilah yang menjadi alasan mengapa publik tidak percaya bahwa teknologi ini bisa mendeteksi virus COVID-19. PCR dianggap hanya seperangkat teknologi rekayasa genetika yang dasarnya terletak pada manipulasi materi genetik, dengan tujuan komersil tentunya.

Penyimpangan PCR

Menilik lebih dalam, teknologi PCR dibuat dengan tujuan mendeteksi virus atau perubahan genetika dalam tubuh manusia yang dibuat secara alami oleh alam. Namun nyatanya PCR bukan sesuatu yang alami, tetapi alam yang secara sengaja dibuat ulang dan disesuaikan dengan biologi mokuler pada abad ke 20.

Kary Mullis, orang yang menciptakan PCR memang berhasil mendapatkan nobel atas kerja kerasnya. Namun yang perlu diketahui, Kary Mullis dibawah pengawasan Cetus Corporation, yang artinya segala tujuan, dan rencana dibuatnya PCR harus sesuai dengan kehendak perusahaan tersebut. Diketahui, tujuan Cetus Corporation menciptakan PCR adalah untuk mempermudah diagnosa penyakit pada tingkat asam nukleat tanpa perlu melakukan budidaya mikroorganisme yang dianggap berbahaya.

Pada prakteknya, PCR tidak bisa memverikasi asal usul DNA. Bahkan sampai saat ini belum ada prosedur ilmiah secara sah yang menyatakan bahwa PCR bisa digunakan untuk mengidentifikasi material genetik. Dengan tidak adanya penelitiah terebut, maka bisa diambil kesimpulan teknologi ini benar adanya, namun dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan komersial.

Banyakknya Kritik Penggunaan PCR

Mengingat asal-usul virus COVID-19 belum terbukti secara ilmiah, maka tes PCR tentu tidak dapat diandalkan sepenuhnya untuk mendeteksi penyakit ini. Hal ini menjadi lebih kompleks, karena rupanya para ilmuwan ikut kebingungan tentang bagaimana mengidentifikasi dan mengisolasi mikroorganisme berdasarkan genetik.

Penelitian lain dari Fredrickson Rellman dan Kalashuretel menunjukan bahwa deteksi asam nukleat tidak setara dengan virus yang tidak memiliki material asli. Kritik terhadap penggunaan PCR dalam bidang kesehatan atau prosedur klinis juga banyak bermunculan. Pada tahun 2001 terdapat laporan salah diagnosa yang dihasilkan oleh PCR. Pada tahun 2009 keluar pernyataan bahwa penggunaan PCR terbukti merusak kedaulatan tubuh.

Dari beberapa bukti yang muncul menunjukan jika tes ini sering digunakan diluar konteks lisensinya, yaitu PCR yang  hanya sebagai alat bantu identifikasi, tetapi digunakan sebagai alat yang menyatakan diagnosis.

Tidak Memiliki Standar Emas

Pada tahun 2020 sebuah grup bernama European Fabricators mengakui dalam jurnal yang berjudul "Journal of European Surveillance" bahwa mereka mengembangkan tes RTQ PCR untuk SARS-Cov-2 menggunakan primer buatan dan urutan genetik yang dibuat. Tepat dibulan Januari 2020 Cormann-Drosten mengaku bahwa genom virus dirilis pada tanggal 10 Januari melaui media online, tepatnya pada situs biological.org, dengan kode gen Wuhan HU1 MN908947. Uniknya, hal tersebut tidak berasal dari isolat virus, atau sampel pasien yang diduga terinfeksi. Disini CDC juga mengkonfirmasi, bahwa tidak ada isolat virus yang dikuantifikasi untuk digunakan sebagai pengembangan tes. Fakta ini juga didukung oleh Public Health England di Inggris.

Sekitar bulan April hingga Mei 2020 Prof. Maria Zambon dari Imperial College dan Public Health England mengakui bahwa tes PCR yang dikembangkan, tidak memiliki standar emas yang bisa menentukan virus tersebut ada atau tidaknya dalam sampel yang diambil dari tubuh manusia.

November 2020, Jurnal Euro Surveillance diminta untuk menarik kembali makalah Cormann-Drossman setelah melakukan 22 peninjauan, yang menghasilkan fakta bahwa 15 diantaranya terdapat kekurangan yang bersifat fatal dalam tes PCR.

Selain itu, tes PCR yang berasal dari Karya Group Corman and Drosten terbukti tidak memiliki sumber materi apapun, atau informasi valid yang menguak asal usul rancangan primer mereka. Kasus ini semakin meyakinkan, jika tidak ada standar emas yang sesuai untuk menguji keakuratan tes tersebut. Bahkan Group ini pernah menunjukan bahwa jika dua dari tiga area ditargetkan positif, maka hasilnya akan dianggap positif.

Bantahan Peneliti Lain Terhdapat Kammerer 

Kammerer dan timnya memberikan klaim telah mengembangkan tes PCR yang dinilainya sempurna untuk bisa mendeteksi virus COVID-19. Mereka menggunakan bagian dari target 5-UTR, sebuah daerah konsensus yang menurut mereka sangat spesifik dan sensitif. Hal ini didasarkan pada apa yang mereka sebut sebagai heterogenitas genomik antar individu dari varian COVID-19 (alpha, beta, gamma, dan delta).

Namun, beberapa peneliti telah membantah pendapat Kammerer dan tim dan mengatakan, bahwa daerah konsensus dari genomik mewakili segala sesuatu yang memang dari alam. Segala macam varian yang muncul hanyalah artefak dari PCR dan genomik. Oleh karena itu, pertanyaan yang harus diajukan adalah, bagaimana mereka tau, bahwa urutan konsesus dalam 5-UTR benar berasal dari virus? Pertanyaan ini tidak dijawab atau bahkan disinggung dalam penelitian mereka.

PCR tidak bisa digunakan untuk mendeteksi virus, kecuali apa yang dideteksi telah terbukti berasal dari virus. Sesitivitas dan spesifisitas analitik PCR tidak setara dengan spesifitas diagnostik untuk kondisi klinis. Jadi, metode ini seharusnya tetap digunakan untuk alat dalam laboratorium, dan tidak untuk alat diagnostik klinis.

Potensi Hasil Palsu

Teknik RT-PCR, meskipun sangat sensitif dalam mendeteksi RNA atau DNA target, memiliki sejumlah keterbatasan yang perlu diperhatikan. Pertama, hasil yang dikeluarkan oleh RT-PCR belum tentu akurat dalam mengidentifikasi substansi yang diamplifikasi. Untuk memastikan, metode lain seperti Sanger sequencing diperlukan.

Kedua, ada kritik mengenai desain dan konsentrasi primer yang digunakan dalam beberapa penelitian, termasuk penelitian Corman-Drosten yang menjadi dasar untuk banyak kasus diagnostik COVID-19. Konsentrasi primer yang lebih tinggi dari yang biasanya direkomendasikan bisa menyebabkan amplifikasi material genetik yang tidak relevan.

Ketiga, RT-PCR tidak bisa diandalkan sebagai bukti eksistensi virus yang mampu menginfeksi (virus kompeten dalam replikasi). Teknik ini hanya mendeteksi RNA target yang telah diubah dan diamplifikasi, tetapi tidak dapat membuktikan apakah RNA tersebut berasal dari virus yang masih aktif atau tidak.

Keempat, karena sensitivitas tingginya, RT-PCR bisa mendeteksi RNA viral yang sudah rusak atau tidak aktif. Ini menimbulkan risiko hasil positif palsu yang bisa berasal dari sumber yang tidak diketahui.

Oleh karena itu, dalam konteks diagnostik medis dan penelitian, sangat penting untuk mempertimbangkan keterbatasan dan variabel yang mempengaruhi keakuratan RT-PCR. Sebaiknya, teknik ini digunakan sebagai bagian dari pendekatan diagnostik yang lebih komprehensif.

Asumsi Berbasis In Silico

Adanya banyak bantahan tentang keakuratan PCR membuat pihak pencipta membela diri dengan mengatakan telah mengatasi kelemahan tes yang telah direkomendasikan WHO ini. Namun sayangnya, mereka hanya menunjukan bukti seberapa baik mereka dalam mengubah reaksi PCR. Tentunya hal ini membuka jawaban, bahwa ada kemungkinan hasil tes PCR bisa dirancang.

Ini semua tidak masuk akal, karena belum pernah dibuktikan COVID-19 ada dalam genom virus. Seluruhnya hanya didasarkan pada asumsi secara in silico, yaitu pembuktian yang dilakukan secara terkomputerisasi, bukan sesuatu yang terbukti ada dalam genom. Hal tersebut yang membuat banyak orang jadi meragukan hasil tes PCR.

Kesimpulan

PCR dianggap murni sebagai teknologi komersil yang digunakan untuk menciptakan sesuatu yang tampak nyata dari sesuatu yang tidak nyata, dimana ini bisa menjadi berbahaya dan menyesatkan. Diagnosis keadaan medis pasien seharusnya 95% didasarkan pada pemeriksaan fisik dan sejarah medis pasien, bukan hanya pada hasil tes laboratorium. Sama seperti tes darah, pasien tidak akan serta merta melakukan tes darah, namun akan berkonsultasi ke dokter, lalu menjelaskan keadaan medisnya, agar dokter bisa menyarankan melakukan tes darah untuk apa saja.

Meskipun nampak canggih dan andal di laboratorium, namun PCR patut dipertanyakan karena fungsinya diklaim secara berlebihan. Beberapa Negara menjalankan tes PCR dengan siklus yang tinggi hingga mendapatkan hasil positif. Semisal, pasien yang dianggap bergejala akan diminta melakukan tes PCR. Jika hasil negatif akan ada peringatan bahwa bisa jadi virus belum terdeteksi (karena katanya memerlukan waktu), atau disuruh tes 2 minggu kemudian untuk mendapatkan keyakinan tidak terinfeksi COVID-19. Namun jika hasilnya positif, pasien akan diminta langsung isolasi.

Tes PCR bisa dibilang teknologi yang menyesatkan dunia medis juga, karena konsepnya seperti infeksi asimtomatik, bertentangan dengan logika medis. Membuat cara pandang seseorang dalam menyatakan suatu penyakit berbeda. Dikhawatirkan mempengaruhi keputusan medis, dan mengubah konsep diagnosa medis.

PCR adalah alat identifikasi, bukan diagnosa. Namun semakin hari, PCR dimanfaatkan secara komersil untuk mendapatkan keuntungan tentunya, walau bisa menghasilkan dampak negatif dalam dunia kesehatan. Situasi ini digambarkan sebagai pembalikan realitasm dimana orang-orang akan mulai menerima dunia yang dibuat oleh interpretasi ilmiah dan teknologi salah sebagai sebuah kenyataan hidup.

Salah satunya adalah mulai banyak orang yang degan mudah melakukan tes PCR hanya karena merasa demam, flu, pusing dan sebagainya. Padahal hal tersebut salah. Sebelumnya jika terdapat orang dengan gejala seperti itu, maka mereka akan ke dokter untuk menjelaskan masalah kesehatannya, namun saat ini mereka langsung melakukan tes PCR dan dilayani. Itulah yang menyebabkan publik menilai PCR tidak lebih dari sekedar bisnis dalam dunia percovidan.

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0

This statement referred from