Skema Politik Dinasti Jokowi dan Kematian Demokrasi

profile picture Samsul_Maarif
Politik - Dalam Negeri

“Darah yang besar tidak ditentukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan warisannya, tetapi jika kamu yang pertama terjun kedalamnya, maka kamu menjadikan mustahil itu kenyataan.” 

 

Salah satu alasan kuat kita menginginkan demokrasi adalah, bahwa kita tentu saja ingin terhindar dari segala embel-embel dan intrik-intrik yang kita sebut sebagai KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sebab itu adalah sel kanker dalam politik praktis kita. Dan hal ini juga yang membuat kita sepakat untuk  menjadikannya amanah atas keputusan konstitusi dan reformasi.

Di penghujung akhir tahun 2023 ini, kita semua akan bersiap-siap menyambut hajatan besar demokrasi, yaitu pemilu serentak yang  diantaranya adalah pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan umum anggota legislatif.  Namun sejauh yang paling banyak menyita perhatian publik saat ini adalah perhelatan pemilihan presiden, dimana ini sudah menjadi makanan kita sehari-hari dan prosesnya sangat mengkontraskan sebuah pertarungan politik yang masif, baik itu melalui gagasan, kontroversi, dan elektabilitas hingga popularitas yang ditampilkan dimedia massa cetak maupun online.

Kita menyaksikan secara langsung bagaimana partai-partai mengusung kandidat-kandidat mereka dengan sebuah strategi  dan segala pertimbangan khusus yang kita yakini juga sebagai bagian dari pertimbangan elektoral daripada kandidat-kandidat itu sendiri yang nampak bahwa pada saat mereka mengusung koalisi dari bakal paslon, paslon-paslon tersebut tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita yang merupakan tokoh-tokoh yang sering ditampakkan di media, sabagai orang-orang yang memiliki latar belakang dan karir politik mumpuni.

Tetapi, bukan sebuah pemilu namanya, jika tidak diiringi oleh drama-drama yang menjadi penggiring pemilu itu sendiri. Sebab dari adanya drama, pertarungan politik menjadi memiliki bumbu khusus yang membuat politik untuk kita yang menonton seperti disuguhkan makanan yang tidak hambar diatas meja, kendati makanannya terkadang kurang bergizi.

Namun, di tahun ini saya sebagai seorang warga negara dan citizen muda yang sementara tumbuh dengan gelora yang baru saja berkecambah, katakanlah baru meninjaki usia dewasa, sudah sangat menyaksikan secara lekat berita-berita politik dan isu-isu terkait menjelang pemilu ini, apalagi di era digital yang sangat masif, mudah saja bagi saya untuk mengakses berbagai informasi bahkan yang masih hangat sekalipun. Dan ada satu yang selalu menjadi sorotan saya, baru-baru ini, yang kemudian juga menjadi topik laris didalam ranah publik dikarenakan adanya suatu keputusan yang dianggap memiliki kaitan erat dengan konspirasi kekuasaan.

Pada Senin, 16 Oktober 2023, media mengabarkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan sidang, terkait uji materil pasal 169 huruf (q) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terkait dengan batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), gugatan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta batas usia minimum capres dan cawapres dikembalikan ke 35 tahun sebagaimana yang pernah diatur dalam pasal 5 huruf (o) UU nomor 42 tahun 2008 dan pasal 6 huruf (q) UU nomor 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dan dalam putusan sidang ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan tersebut. Akan tetapi, yang membuat semua orang terkejut dari putusan itu adalah MK justru mengabulkan permohonan yang lain yang disebutkan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 yang sementara diajukan oleh penggugat yang berbeda. Dan permohonan ini di ajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru yang mana isinya kurang lebih “memperbolehkan seseorang yang memiliki pengalaman, pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum seperti pemilihan kepala daerah.

Dengan kata lain, MK memperbolehkan seseorang menjadi capres atau cawapres jika orang tersebut sudah memiliki pengalaman menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum kendati umurnya dibawah 40 tahun, yang sementara pada pasal lain seperti pasal 7 ayat 2 huruf (e) UU nomor 10 Tahun 2016, tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang menyatakan syarat usia minimal pencalonannya adalah 25 tahun. Dan artinya jika dalam putusan ini, MK mengabulkan syarat usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden adalah 25 tahun dengan kondisi dia memiliki pengalaman menjabat kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Lalu menurut permohonan nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia tentang batas usia capres dan cawapres dari usia 40 tahun dikembalikan ke 35 tahun ditolak dimana pada sidang putusan ini yang dibuka untuk umum, ketua MK Anwar Usman memberikan pernyataan bahwa permohonan pemohon tidak memiliki alasan menurut hukum untuk keseluruhan.

Menurut saya pada pandangan yang ini  apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah hukum yang memberikan alternatif dimana kita tahu, bahwa untuk memimpin suatu negara kita butuh sosok yang memiliki pengalaman dan juga matang dikancahnya seperti, kredibilitasnya, elektabilitas, track record, dan leadership-nya, serta gagasan-gagasan yang kuat. Namun disamping daripada itu urgensi pemimpin anak muda juga cukup perlu dibutuhkan sebagai tuntutan dan representasi generasi era sekarang.

Akan tetapi, disisi yang lain, putusan MK ini memiliki banyak sekali kontroversi dan konspirasi dimana beberapa kalangan  dan pengamat politik   menduga adanya pengaruh kuat politik dinasti dari pak Jokowi didalam Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga seolah-olah skenarionya sudah disiapkan. Layaknya bukan lagi berupa benang merah yang berada didalam benang kusut tapi benang yang sudah tersimpul rapih lalu kemudian sengaja dibuat kusut. Dan saya rasa ruang publik atau khalayak sedang mencerna apa yang sebetulnya terjadi dan apa sebetulnya yang sedang kita saksikan?

Pada tanggal 22 Oktober 2023, bakal calon presiden sekaligus ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto, mengumumkan pengusungan pendampinganya yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Dan dia mengatakan koalisi Indonesia Maju baru saja berembuk secara final secara konsensus keseluruhan mengusung Prabowo sebagai calon presiden dan Gibran sebagai wakil presiden dari koalisi Indonesia Maju.

Dari hasil pengumuman ini, beberapa kalangan sepakat bahwa dugaan kuat adanya rencana politik dinasti Jokowi semakin yakin, dimana posisi Gibran yang adalah anak sulung dari presiden Jokowi, seperti sudah dipersiapkan jauh hari sebelum ini. Barangkali juga saya sebagai salah satu diantara sekian banyak yang menyaksikan, cukup jelas tidak menduga atas keputusan koalisi yang katanya ingin melanjutkan estafet pembangunan presiden Jokowi.

Dan hasil dari rentetan kontroversi ini adalah pertama, bahwa fakta tentang seorang hakim dan juga sekaligus ketua Mahkamah Konstitusi yang menjadi bagian dari keputusan perkara batas capres-cawapres; ialah merupakan paman dari seorang Gibran Rakabuming Raka yang juga sebagai adik ipar dari Presiden Jokowi. Alhasil, banyak khalayak menilai bahwa hubungan keluarga Jokowi sangat berkaitan erat dengan keputusan yang dihasilkan MK dalam konteks posisi Gibran, Jokowi dan Anwar Usman sebagai ketua MK kala itu. Berbagai kalangan hukum pun menganggap bahwa keputusan dari ketua MK tersebut telah melanggar etik.

Kedua, proses manuver politik yang dilakukan Gibran yang menghantarkan dirinya menjadi kandidat wapres dan direstui oleh ayahnya terindikasi merupakan rencana penghianatan  terhadap partai sebab, partai yang membesarkan pasangan anak dan ayah itu yaitu PDIP menilai bahwa mereka sudah tidak satu tujuan dan tidak solid dengan kita serta seakan seperti kacang lupa kulit. Alih-alih Jokowi mendukung kandidat yang dideklarasikan oleh partainya, dia malah membangun dinasti.

Dan bukan tanpa sebab, keputusan dukungan Jokowi ini untuk berlawanan dukungan dengan Partainya, yang menjadikan hubungan keduanya retak memiliki alasan yang kuat. Dikutip dari pernyataan salah seorang kader PDIP yang sekaligus mantan pendukung setia presiden Jokowi kala itu, Adian Napitupulu mengatakan, “bahwa awal mula meregangnya hubungan antara partai PDIP dan Jokowi disebabkan tidak dikabulkannya permintaan Jokowi oleh ketua umum partai, Megawati Soekarnoputri dan permintaannya adalah ingin memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden menjadi tiga periode.” “Dan hal itu kami tolak sebab berlawanan dengan konstitusi. Ini masalah konstitusi, dan ini masalah bangsa,” sambungnya. Menurutnya langkah PDIP menolak keinginan tersebut ialah bahwa PDIP tidak ingin menghianati konstitusi dan PDIP ingin menjaga konstitusi demi keselamatan bangsa dan negara.

Dan yang ketiga adalah bahwa drama yang sedang kita saksikan mungkin bisa menjadi pernyataan maupun pertanyaan tergantung seperti apa kita merenungkannya dengan secara seksama dan secara politis, bahwa akhirnya, presiden Jokowidodo dengan kekuasaan telah berhasil menunjukkan siapa dirinya dan Apakah Presiden Jokowidodo memang demikian?

Lalu, bagaimana cara kita mengambil sikap atas drama politik yang tengah terjadi yang sementara mengancam konstitusi serta mendegradasi jauh citra demokrasi kita?

Seperti yang saya ketahui, bahwa ini hanyalah berupa drama politik menjelang pemilu yang sudah bagian daripada bumbu-bumbu yang mana drama politik selalu memiliki retorika permasalahan atas politik itu yang membuka spektrum-spektrum atas keberpihakan dan membuat keberpihakan baru.

Namun terlepas dari drama politik tersebut, bagaimana cara kita menjawab atau menanggapi suatu inti pokok permasalahan yang ada didalam drama itu terkait posisi kita didalam konteks masyarakat sipil yang syarat akan demokrasi? Dan mengapa demokrasi kita terancam olehnya?

Didalam pengantar dibuku Governance Reform di Indonesia Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengatakan bahwa kemunduran etika politik para elit dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris” yang salah satunya sering ditandai dengan menunjukkan sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kemenangan kelompoknya.

Dan didalam kutipan ini membuat saya sadar bahwa kekuasaan sangat rentan melampaui etika politik yang membuat para prilaku politik didalamnya (penguasa) berpotensi menjadi tirani yang menghasilkan haus atas kekuasaan maupun membentuk dinasti.  Dan jauh sebelum Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyampaikan pernyataan itu didalam buku tersebut seorang sejarahwan inggris bernama Lord Acton didalam risalah nya berkata; bahwa kekuasaan akan menunjukkan lebih siapa diri anda yang sebenarnya yang dimana kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Untuk itu kekuasaan harus selalu dibatasi dan selalu di awasi.

Sejujurnya, bahwa melihat apa yang menjadi fenomena politik dari Jokowi, telah membuat saya kembali pada masalalu dimana kita diingatkan kembali pada kritik-kritik untuk para tiran, nepotisme dan feodalisme. Dan juga memberikan suatu asumsi baru, yang akhirnya Jokowi tampak mengalami gejala efek samping kekuasaan yang membuatnya keracunan. Dan dia seolah sedang menggali lubang untuk dirinya didalam kekuasaan bersama demokrasi.  

Namun  sikap  dan tindakan politis yang mesti kita ambil terkait hal ini adalah bahwa kita harus menyelamatkan demokrasi karena itu merupakan upaya menyelamatkan perjuangan dan cita-cita.

Seperti didalam buku yang berjudul How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa ada beberapa fase kepempimpinan (rezim) yang secara bertahap menumbangkan proses demokrasi. Dan salah satu fase tersebut ialah; munculnya aktor-aktor yang dilahirkan dari demokrasi tetapi kemudian dia mengkooptasi demokrasi itu sendiri. Dan ditambah juga demokrasi yang melahirkan pemimpin-pemimpin populis, memberikan dampak back sliding terhadap demokrasi yang akhirnya membuat para pemimpin populis sering kali memiliki sifat autokrasi dengan memanfaatkan banyak minat dari masyarakat.

Kesimpulan

Jika akhirnya rezim presiden Jokowidodo berakhir, figur seperti Jokowi akan mewariskan rapor buruk demokrasi yang akan diingat oleh rakyat. Dan juga yang paling diingat adalah boleh saja Jokowi gagal memperpanjang kekuasaan tetapi dia belum gagal mewariskan darah biru didalam kekuasaan.  

Tentu saja saya sadar bahwa tulisan ini barangkali sungguh terkesan memojokkan atau sentimental, tetapi bahwa memang pada kenyataannya apa yang kita saksikan dan hasilkan adalah tanggapan politis melalui pikiran.

 

 

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Samsul_Maarif

This statement referred from