Presiden Merangkap Petugas Partai

profile picture JOK
Politik - Dalam Negeri

Indonesia membutuhkan figur pemimpin dan calon pemimpin yang benar-benar independen, tidak berada di bawah bayang-bayang kekuatan lain, dan tidak menjadi boneka dari pihak lain.

Genderang perburuan kursi RI-1 telah ditabuh. Sejauh ini, kita memiliki tiga calon presiden [capres] yang disodorkan ke hadapan publik untuk kontestasi Pilpres 2024. Setelah Anies Baswedan yang diusung oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan, ada nama Ganjar Pranowo yang disodorkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDIP]. Dan terakhir,  yaitu Prabowo Subianto, yang ditopang oleh Koalisi ‘gemuk’ Indonesia Maju. 

Khusus terkait deklarasi pencapresan Ganjar Pranowo, yang diumumkan langsung oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, di Istana Batutulis, Bogor, Jawa Barat, Jumat, [21/4/2023], lagi-lagi Megawati menyinggung soal istilah petugas partai. Saat pengumuman pencapresan Ganjar Pranowo itu, Megawati menyebut Ganjar Pranowo sebagai petugas partai dan ditingkatkan tugasnya sebagai capres. 

Istilah petugas partai bukan sekali itu saja diucapkan oleh Megawati. Istilah ini juga beberapa kali pernah diucapkan dan diarahkan kepada Presiden Joko Widodo. Penggunaan istilah petugas partai, atau bahkan pesuruh partai, tentu sah-sah saja. Apalagi yang mengucapkannya seorang ketua umum partai, seorang petinggi partai, dan ditujukan kepada kader partai.

Meski demikian, dalam konteks pencapresan Ganjar Pranowo, penyebutan petugas partai ini justru malah bisa men-downgrade pencapresannya. Istilah petugas partai dapat menjadi bahan ejekan atau serangan, baik oleh publik maupun oleh lawan-lawan politiknya.

Dengan hanya memposisikan Ganjar Pranowo sebagai petugas partai yang dicapreskan, sementara kalangan dapat saja menganggap ia cuma sebagai capres boneka yang pada saat akhirnya ia terpilih bakal menjadi presiden boneka. Dengan kata lain, masih ada yang lebih kuat dan berperan di balik pencapresannya.

Persepsi sebagai boneka seperti ini justru tidak bagus bagi citra dan legitimasi untuk seorang pemimpin dan calon pemimpin. Apalagi untuk level presiden.

Dalam sistem ketatanegaraan kita, presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Lembaga kepresidenan adalah lembaga tertinggi dalam pemerintahan negeri ini. 

Figur calon presiden boleh datang dari kalangan mana saja – sipil ataupun militer, birokrat atau teknokrat, politikus atau akademisi, elite atau jelata. Mekanismenya tentu saja lewat pemilihan umum yang dilaksanakan secara jujur, adil, transparan, akuntabel, berintegritas, dan beradab. Salah satu tahapannya yaitu partai politik maupun gabungan partai politik mengajukan figur yang dipercayainya sebagai capres. Figur yang dimajukan bisa dari luar partai, bisa juga dari dalam partai – entah ketua partai ataupun kader partai.

Meski capres datang dari unsur partai politik, begitu ia menjabat sebagai presiden, ia semestinya tak lagi bertanggung jawab kepada partai yang mengusungnya. Kita mungkin sudah sering mendengar orang-orang mengutip ucapan mashur Manuel L Quezon [1878-1944] yang menegaskan bahwa kesetiaan pada partai berakhir tatkala kesetiaan itu harus dialihkan untuk negara.

Presiden mengemban tugas negara. Bukan mengemban tugas partai. Menyematkan predikat petugas partai kepada seorang presiden, seolah menempatkan posisi presiden sebagai bawahan ketua partai. Dengan kata lain, institusi partai politik seolah berada lebih tinggi satu level daripada institusi kepresidenan. 

Maka, dengan adanya stempel petugas partai untuk capres maupun presiden, apakah publik bisa yakin bahwa capres atau presiden terpilih nanti mampu benar-benar menjalankan tugasnya tanpa intervensi sedikitpun dari boss besar partai yang memberi tugas untuknya?

Persepsi publik menjadi bagian penting dari kontestasi politik. Ia menjadi salah satu modal berharga dalam memenangkan hati publik.

Pada acara puncak Musra Relawan, yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Minggu [14/5/2023] lampau, Presiden Joko Widodo, dengan berapi-api, menyatakan bahwa negara ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat.

Kita setuju dengan pernyataan Presiden Joko Widodo itu. Dan kita yakin kepemimpinan yang kuat hanya bisa datang dari figur yang benar-benar independen, tidak berada di bawah bayang-bayang kekuatan lain, tidak menjadi boneka dari pihak lain.

Sebutan petugas partai mungkin saja bakal langsung dipersepsi publik sebagai sosok yang kurang independen, berada di bawah bayang-bayang kekuatan lain, dan sekaligus menjadi boneka pihak lain. Persepsi seperti ini sudah barang tentu kurang bagus sebagai modal untuk maju dalam kontestasi politik, di mana opini publik sedikit-banyak akan ikut menentukan preferensi calon pemilih.***

--

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0

This statement referred from