Lucunya Negeri Ini: Pencuri Pisang Hukumannya Lebih Berat Dari Terpidana Koruptor

profile picture peterpan
Politik - Dalam Negeri

Dalam sistem hukum Indonesia, seringkali kita menemukan ketidakadilan yang mencolok terkait dengan penjatuhan hukuman. Salah satu contoh terbaru yang mengundang perhatian adalah ketidaksesuaian antara hukuman bagi pelaku korupsi dan pelaku tindak pidana ringan.

Meskipun Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan aturan baru terkait hukuman pidana bagi koruptor melalui Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, kenyataannya menunjukkan ketidakadilan yang mencolok.

Hukuman Koruptor Berdasarkan Perma 1/2020
Perma Nomor 1 Tahun 2020, yang mulai berlaku sejak 24 Juli 2020, mengatur pedoman hukuman bagi pelaku korupsi. Regulasi ini bertujuan untuk mengurangi disparitas dalam penjatuhan hukuman dengan mengklasifikasikan hukuman berdasarkan jumlah kerugian keuangan negara dan tingkat kesalahan pelaku.

Regulasi ini membagi kategori kerugian negara menjadi lima, dari yang paling berat (lebih dari Rp 100 miliar) hingga yang paling ringan (kurang dari Rp 200 juta). Selain itu, hukuman juga mempertimbangkan tiga jenis kesalahan:

1. Kesalahan Tinggi, Dampak Tinggi, dan Keuntungan Tinggi: Penjara seumur hidup atau 16-20 tahun.
2. Kesalahan Sedang, Dampak Sedang, dan Keuntungan Sedang: Penjara 13-16 tahun.
3, Kesalahan Rendah, Dampak Rendah, dan Keuntungan Rendah: Penjara 10-13 tahun untuk kerugian lebih dari Rp 25 miliar, dan 8-10 tahun untuk kerugian Rp 25 miliar-Rp 100 miliar.
Meskipun Perma ini dirancang untuk memberikan pedoman yang jelas dan mengurangi ketidakadilan, kenyataan sering kali bertolak belakang.

Kenyataan Hukuman Koruptor
Dalam praktiknya, pelaku korupsi sering kali mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dari yang diatur dalam Perma. Beberapa terpidana korupsi mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani sebagian kecil dari masa hukuman mereka. Misalnya, beberapa koruptor dengan kerugian miliaran rupiah malah bisa mendapatkan pemangkasan hukuman atau pembebasan bersyarat dengan alasan kesehatan atau masa tahanan yang telah cukup. Hal ini menimbulkan kesan bahwa hukum sering kali tumpul ke atas dan lebih keras terhadap pelanggar hukum ringan.

Contoh Kasus Warga Sipil
Sementara itu, pelaku tindak pidana ringan sering kali mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat dibandingkan koruptor. Contoh nyata adalah kasus nenek Asyani, yang dijatuhi hukuman penjara satu tahun penjara dan denda 500 juta karena didakwa mencuri 7 batang kayu jati di lingkungan rumahnya untuk dibuat tempat tidur . Kasus Asyani menunjukkan betapa tidak adilnya sistem hukum ketika seseorang yang terlibat dalam pelanggaran ringan bisa mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada pelaku korupsi besar yang merugikan negara dalam skala besar.

Kesimpulan
Ketidakadilan dalam sistem hukum Indonesia semakin jelas ketika hukuman bagi pelaku korupsi yang merugikan negara miliaran rupiah sering kali lebih ringan dibandingkan dengan hukuman bagi pelanggar hukum ringan. Meskipun Perma 1/2020 dirancang untuk memperbaiki disparitas ini, implementasinya sering kali tidak sesuai dengan harapan. Negara seharusnya menerapkan prinsip keadilan yang konsisten dan memastikan bahwa hukum diterapkan secara adil tanpa memandang status atau jenis pelanggaran. Jika tidak, sistem hukum akan terus menghadapi kritik dan kehilangan kepercayaan masyarakat.
 

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By peterpan

This statement referred from