Demokrasi dan Putusan MK
Beberapa pekan terakhir media-media di Indonesia menyajikan berita seputar putusan ketua MK Anwar Usman (kini sudah lagi menjabat sebagai ketua MK) terkait batasan umur bagi calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini dinilai oleh publik tidak demokratis. Namun apa yang dilakukan oleh Anwar Usman secara tidak langsung telah memperlihatkan arti demokrasi itu sendiri sebab bagi negara demokrasi semua orang mempunyai hak yang sama dalam berpolitik tanpa dibatasi. Banyak orang yang melihat peristiwa ini sebagai sebuah kemunduran dalam demokrasi. Namun saya berpandangan bahwa putusan ini membuka ruang bagi terwujudnya demokrasi itu sendiri.
Abraham Lincoln mendefisinikan demokrasi sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Saputra, 2007). Atau dengan kata lain demokrasi dapat dipahami sebagai pemerintahan ditangan rakyat. Ini berarti masyarakat mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam kegiatan politik. Masyarakat tidak hanya mempunyai hak memilih tetapi juga mempunyai hak untuk dipilih. Socrates, seorang filsuf Yunani kuno dengan tegas menolak negara demokrasi. Ia tidak menerima negara demokrasi karena baginya seorang yang dungu pun bisa saja dipilih menjadi pemimpin. Socrates tidak setuju dengan sistem demokrasi di Athena pada waktu itu di mana seorang pemimpin dipilih berdasarkan mayoritas suara walaupun seorang pemimpin tersebut tidak mempunyai pengertian tentang “yang baik”. Socrates menginginkan negara aristokrat karena baginya pemimpin negara itu sudah dilatih terlebih dahulu dan bijaksana atau dengan kata lain sudah mempunyai pengetahuan tentang “yang baik” sehingga bisa memajukan kebahagiaan masyrakat (Tjahjadi, 2004). Namun bagi saya, negara demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang ideal sebab melalui negara demokrasi “kedunguan” sang pemimpin dapat dikontrol oleh rakyat.
Undang-Undang Nomor 17 tentang pemilu dan pembatasan usia bagi calon presiden dan calon wakil presiden merupakan sebuah langkah baru bagi pemutusan demokrasi itu sendiri. Ketika undang-undang tentang batasan usia bagi calon presiden dan calon wakil presiden disahkan maka saat itu juga hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden dan calon wakil presiden pun dibatasi. Ini memperlihatkan bahwa peluang orang muda untuk mengambil bagian dalam mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden merupakan suatu hal yang mustahil. Sekalipun orang muda mempunyai potensi yang besar untuk memimpin negara ini baik sebagai presiden atau sebagai wakil presiden, kesempatan itu tidak akan diperoleh sebab undang-undang telah membatasi hak orang muda dengan batasan umur.
Sejenak kita melihat ke belakang beberapa peristiwa yang diperjuangkan oleh orang muda. Sumpah pemuda yang terjadi pada 20 Oktober 1928 merupakan gerakan yang datang dari pemuda bangsa ini untuk mempersatukan semua masyrakat Indonesia. Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia juga tidak terselepas dari peran para pemuda yang mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Lebih jauh lagi ketika Soekarno mengeluarkan aturan tentang masa kepemimpinan presiden seumur hidup, para pemuda lah yang melawan sehingga keputusan itu dibatalkan. Peristiwa yang terakhir pada tahun 1998 ketika orang-orang muda melakukan sebuah perubahan besar dan menggulingkan kekuasaan Soeharto yang kita kenal dengan era reformasi.
Beberapa peristiwa ini memberi kita sebuah pengetahuan baru bahwa ternyata orang muda lebih cepat bertindak dalam menanggapi situasi negara ini dari pada mereka yang tua yang menjadi pemimpin dalam pemerintahan, yang dilihat penuh wibawah dan bijaksana.
Hari ini ketika Gibran mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden mewakili Prabowo sebagai calon presiden semua orang menyatakan bahwa Jokowi telah melakukan politik dinasti dan putusan MK yang ketuanya adalah Anwar Usman merupakan sebuah permainan politik karena Anwar Usman merupakan paman dari Gibran. Jokowi sama sekali tidak melakukan politik dinasti sebab politik dinansti berarti keberlanjutan pimpinan diturunkan secara turun temurun tanpa melalui pemilihan seperti yang terjadi di negara ini.
Terlepas dari hubungan keluarga antara Anwar Usman dan Gibran, saya melihat putusan yang dibuat oleh MK merupakan sebuah perwujudan dari demokrasi di negara ini. Batasan usia yang ada dalam UU No 17 tentang pemilu bagi calon presiden calon wakil presiden secara tidak langsung menutup ruang bagi terwujudnya demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak? Orang yang sudah berusia empat puluh tahun ke atas yang diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil pesiden sedangkan orang yang usianya belum mencapai empat puluh tahun tidak bisa. Bukankah ini melawan demokrasi? Bagi saya putusan yang dibuat oleh MK membuka jalan bagi orang-orang muda untuk ikut ambil bagian dalam memimpin bangsa ini. Hal ini menumbuhkan nilai demokrasi di mana setiap orang diberi kebebasan untuk ikut ambil bagian dalam dunia politik.
Putusan yang dibuat oleh MK adalah putusan yang demokratis. Saya mau membawa kita untuk melihat unsur demokratis yang ada dalam putusan itu. Banyak dari kita hanya melihat putusan itu sebagai putusan yang memberi peluang kepada Gibran karena ia adalah anak presiden dan pamannya adalah Anwar Usman yang menjabat sebagai ketua MK. Mari kita berpikir lebih jauh untuk menemukan unsur demokrasi dalam putusan tersebut dan membuang stigma-stigma buruk yang kita dapat dalam putusan MK tersebut.
Daftar Pustaka
Saputra, Lukman Surya. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan Menumbuhkan Nasionalisme dan Patriotisme. Bandung: PT Setia Purna Inves.
Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan Intelektual. Yogyakarta: PT Kanisius.