Sekte Penyembah Orang Tua, Berlindung Dibalik Kata Balas Budi
Mungkin dari sekedar judul diatas, netizen akan langsung terbagi menjadi dua bagian, yaitu tim pro yang cenderung diisi dengan Gen Z dan sebagian Milenial, serta tim kontra yang diisi oleh Gen X dan sebagian Milenial sekitaran 80an.
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia masih menjadi Negara yang memiliki masyarakat “penyembah orang tua”. Mereka berlindung dibalik alasan “balas budi”, sehingga si anak diharuskan membalas jasa-jasa yang telah mereka berikan. Pelaku sekte ini sendiri bukan cuma orang tua, tapi dari anak yang berusia muda pun dengan sukarela menjadi bagian penyembah orang tua.
Apakah salah? Jelas, ini salah. Apakah kita harus bersikap tidak sopan pada orang tua? Tidak! Sebelum membahas lebih lanjut, kenali ciri-ciri sekte penyembah orang tua yang ada di Indonesia terlebih dahulu.
1. Orang tua tidak pernah salah
Banyak masyarakat di Indonesia yang mempunyai slogan, “orang tua itu kalau omong di denger, kalau mereka salah udah diem aja, jangan dibantah atau dilawan. Gak sopan, dosa”. Ya ini salah satu kaum sekte penyembah orang tua. Tidak hanya menerapkan slogan tersebut untuk kalangan sendiri, namun untuk semua orang, mulai dari saudara jauh, hingga orang yang tidak dikenal, akan mereka paksa untuk menerapkan slogan tersebut.
Mereka menganggap mengeluarkan pendapat yang bersebrangan dengan perkataan orang tua adalah suatu bentuk sikap kurang ajar. Golongan yang lebih mudah dituntut untuk “tunduk” dengan alasan orang tua pasti tau yang terbaik buat anak.
2. Menganggap anak adalah invetasi dengan dalih balas budi
“Kamu itu sudah dilahirkan, sudah dibesarkan, wajib bagimu untuk balas budi”. Pernah dengar perkataan ini gak? Pasti sebagian besar dari kalian sudah sering dengar ya, entah dari orang tua langsung, atau dari sesama kalian ketika kalian sedang mengeluh.
SItuasi ini sering disebut generasi sandwich. Apakah salah? Tidak ada yang salah sih membantu orang tua atau keluarga, selama si anak ikhlas dan memang mampu. Namun disini konotasinya “dipaksa” atau “dituntut”. Banyak anak yang dengan rela menopang kehidupan orang tuanya.
Tapi banyak juga orang tua yang tidak tau diri dan hanya menuntut uang dan uang tanpa memperdulikan keadaan sang anak. Alasan mereka? Balas jasa yang tidak terbalas. Pernah viral beberapa saat lalu, seorang anak yang mengeluh karena dimintai uang terus menerus, namun pada saat si anak memerlukan kehadiran orang tuanya, beliau tidak bisa hadir dengan alasan sibuk. Tidak pernah sekalipun menanyakan kabar si anak, isi chatnya hanya minta kiriman uang.
Orang tua si anak merasa itu bentuk balas budi anak karena telah dilahirkan di dunia. Padahal, anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Orang tuanya lah yang menghendaki untuk punya anak, dan membesarkan anak yang mereka inginkan secara sadar itu adalah kewajiban, bukan suatu bentuk investasi jangka panjang.
Kelompok orang tua seperti ini kadang juga akan mengajak orang tua yang lain untuk menjadi bagian dari sekte mereka. Menghasut dan menormalkan sikap seperti itu kepada anak-anak mereka.
3. Tidak pernah meminta maaf
Siapa disini yang pernah mendengar orang tua meminta maaf ketika berbuat salah? Pasti jarang atau bahkan tidak pernah kan? Kembali ke ciri-ciri awal, dimana orang tua tidak pernah salah, mereka akan sulit mengucapkan kata maaf. Bagi mereka tabu meminta maaf karena seperti tidak punya harga diri. Bisa juga mereka berpikir “halah cuma salah sedikit, gak sebanding dengan jasa-jasaku, ngapain minta maaf”.
Uniknya, ada juga tim anak yang mendukung hal ini. Mereka menganggap kata maaf itu tidak ada dalam kamus orang tua dan itu lumrah. Anak-anak ini berpikir, orang tua itu sudah melahirkan dan bekerja keras untuk dirinya, sehingga tidak perlu meminta maaf. Dan mereka menyebarkan ajaran sekte ini ke anak-anak lain juga. Mereka akan menganggap anak lainnya durhaka jika mengharap permintaan maaf dari orang tua.
4. “Gimanapun itu orang tua yang sudah membersarkanmu”
Anggota sekte ini selalu mengeluarkan “ayat” suci ini untuk menutup mulut mereka yang lebih muda. Sebanyak apapun kesalahan orang tua, seberapa banyak orang tua menyakiti hati anak, akan ada statement “Gimanapun itu orang tua yang sudah membersarkanmu”. Seolah orang tua tidak masalah untuk melukai hati anak, namun anak dituntut untuk bisa menghilangkan rasa sakitnya hanya karena mereka orang tua. Biasanya yang mengatakan kalimat ini adalah golongan orang tua atau anak-anak yang tidak pernah mengalami disakiti oleh orang tua mereka sendiri.
Hayo siapa yang pernah melihat ciri-ciri sekte penyembah orang tua? Atau mungkin kamu orangnya? Biasanya pelaku akan membela diri dengan mengatakan “ya gimanapun itu kan orang tua yang sudah membesarkan kamu, kamu gak akan bisa kayak gini kalau gak ada orang tua”. Memang benar. Namun menghormati orang tua bukan berarti berlaku seperti menjadikan mereka tuhan. Kita hidup sebagai sesama manusia, yang derajatnya sama di mata Tuhan.
Orang tua yang mengasihi anak dengan benar, 98% akan menciptakan anak yang dengan sendirinya tau cara membalas budi kepada orang tua. Jika orang tua tersebut membesarkan anak dengan cara yang salah, lantas apakah pantas mereka menuntut ini itu kepada anak?
Nah, tau gak kalian, “menyembah” orang tua justru bisa menjadi boomerang dan membentuk sosok manusia yang tidak beretika dan beradab? Simak dampak negatif dari selalu membenarkan orang tua berikut:
1. Membentuk pribadi yang egois
Orang tua yang selalu dibenarkan, dan tidak pernah salah akan membetuk karakter manusia egois. Tidak hanya merugikan dalam lingkup keluarga inti, ini bisa merugikan keluarga besar atau lingkungan sekitar. Kok bisa?
Tumbuh di lingkungan yang menerima keegoisan dirinya akan membuat mereka juga tidak mau kalah dan tidak mau mengalah diluar sana. Mereka terbiasa benar. Anak-anak yang mendukung bahwa orang tua tidak pernah salahpun akan tumbuh seperti itu pula. Walau belum memiliki anak, mereka akan bersikap egois pada orang lain yang umurnya dibawah mereka.
Meminta maaf pada orang yang berumur dibawah mereka, baik keluarga atau orang lain akan menjadi hal yang tabu diucapkan. Tidak ada lagi norma kesopanan di Negara kita. Semuanya menjadi prirbadi yang egois hanya karena umur.
2. Membentuk pribadi yang suka membully
Percaya atau tidak, tangan-tangan jahat di kolom komentar medsos adalah bentuk sekte penyembah orang tua. Ini sudah bisa dilihat dari netizen-netizen yang mulai membully generasi yang dibawah mereka. Seperti “ah saya dulu dipukul pakai lidi biasa aja, anak sekarang baru dipukul pakai tangan langsung ke social media”, atau “masih mending gitu, saya dulu…”. Ya ini ciri-ciri anak yang egois, merasa dirinya lebih kuat daripada mereka. Dipastikan netizen yang berkata seperti itu karena dulunya sering mendengar kata orang tua yang salah satunya, “baru gitu aja sakit, ibu melahirkan kamu lebih sakit dari ini”
PADAHAL, semua orang punya masalah dan tingkat sakit masing-masing. Mari kita bahas lebih dalam. Hampir semua bayi akan menangis histeris ketika disuntik, namun sedikit orang dewasa yang menangis saat disuntik? Bagi bayi, rasa sakit yang paling sakit seumur hidupnya adalah disuntik. Beda dengan orang dewasa yang mungkin sudah terbiasa, atau sudah merasakan sakit yang lebih daripada disuntik. Lalu bolehkah kita meremehkan rasa sakit bayi-bayi tersebut?
Mungkin bagi anak-anak sekolah hal yang paling susah dalam hidupnya adalah mengerjakan ujian matematika, bagi orang yang sudah bekerja, bekerja untuk mendapatkan gaji adalah hal yang meyulitkan. Lantas pantaskah mereka yang sudah bekerja meremehkan para siswa itu saat mengeluh padahal mereka belum pernah merasakan bekerja mencari uang? Ingat, mengeluh itu wajar, jadi jangan egois dan merasa diri paling susah, paling mengerti kehidupan sehingga bebas membully mereka yang berusia lebih muda.
Pada dasarnya, prinsip dari hidup manusia adalah saling menghargai. Bukan hanya ingin dihormati dan dimaklumi. Saling menghargai tidak terpaku pada umur, dari manusia yang baru lahir, hingga manusia tertua dimuka bumi sekalipun berhak diperlakukan dengan hormat. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan menghormati orang tua, namun stop untuk “menyembah” atau menuntut untuk “disembah”, apalagi dengan tameng balas budi atau agama. Semua agamapun diajarkan untuk saling menghormati satu sama lain. Dan adanya tulisan ini bukan juga sebagai sebuah pemberontakan atau ajakan untuk durhaka. Manusia yang baik, adalah manusia yang bisa saling menghormati, mengasihi, dan saling mengerti.