Indonesia Mendapat Peringkat 3 Negara Paling Fatherless di Dunia
Tidak perlu kaget dan tidak perlu heran, dengan sifatnya yang masih patriaki, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai Negara fatherless di dunia. Apa itu fatherless? Apa penyebabnya? Apa dampaknya bagi keluarga atau anak? Dan bagaimana cara mengatasinya?
Apa itu fatherless?
Fatherless adalah hilangnya peran seorang ayah dalam dunia parenting atau saat pertumbuhan anak. Fisik sang ayah ada, namun seolah anak-anaknya tidak punya ayah. Seorang ayah hampir tidak pernah berkomunikasi atau berbicara dari hati ke hati dengan anaknya. Ia menolak untuk ikut dalam pendidikan anak dalam keluarga, atau bahkan cenderung tidak peduli.
Beberapa mungkin merasa tidak sadar jika perbuatan mereka adalah bentuk tidak kepedulian pada anak, karena mereka menganggap bahwa tugasnya sebagai seorang ayah sudah dijalankan. Padahal tugas dalam artian mereka bukanlah satu-satunya bentuk kontribusi ayah dalam pertumbuhan anak.
Apa penyebab terjadinya fatherless?
Banyak faktor penyebab terjadinya fatherless.
Pertama, lingkungan bermasyarakan Indonesia yang masih menganut sistem patriaki, yaitu dimana ada pembagian peran yang berat sebelah, dan pengelompokan suatu peran dan pekerjaan dalam jenis kelamin tertentu. Lingkungan masih menganggap tugas seorang lelaki adalah bekerja dan wanita di rumah saja bertugas mengurus rumah dan anak. Ayah menjadi sosok yang egois, menganggap dia sudah menjalankan perannya sebagai seorang ayah, yaitu mencari uang, sehingga sisanya adalah tugas si ibu.
Dalam lingkungan diluar keluarga, ketika ayah pergi bekerja atau bermain, tidak akan pernah ada yang bertanya anak dirumah siapa yang jaga, sebaliknya ketika seorang ibu bekerja atau keluar bermain, akan selalu ada pertanyaan siapa yang menjaga anak di rumah. Contoh lainnya, lingkungan akan menganggap ibu tidak becus menjaga anak ketika melihat anak dipegang ayahnya. Tapi ayah akan mendapat apresiasi besar-besaran atau bahkan rasa kasihan karena menjaga anaknya sendiri. Tentu sebagian ayah akan mendapat dukungan seolah memang menjaga anak bukan tugas seorang ayah yang berjenis kelamin pria.
Kedua, kehidupan LDM, yaitu Long Distance Marriage, menikah namun hidup berjauhan. Bisa jadi karena urusan pekerjaan atau salah satu pasangan yang merasa tidak nyaman hidup di lokasi pasangan berada. Tidak semua LDM akan memunculkan fatherless, namun jika tidak dibarengi dengan komunikasi intens, bisa jadi anak akan kehilangan sosok ayah dalam dunianya. Tidak dapat dipungkiri, tentu akan ada perbedaan anak yang tinggal dengan ayahnya dan yang tinggal jauh.
Ketiga, perceraian. Ya di Indonesia masih sedikit yang bisa berdamai setelah bercerai demi anak. Beberapa public figure yang layak dicontoh dalam parentingnya meskipun telah bercerai adalah Deddy Corbuzier dan Gading Marten. Namun sayangnya, tidak sedikit yang memilih menjadi seperti musuh atau bahkan sengaja menjauhkan anaknya dari orang tuanya.
Belum lagi jika alasan perceraian menjadi hal yang membuat anak sakit hati dengan ayahnya. Untuk kasus ini walalupun ibu berusaha mendekatkan anak dengan ayahnya, terkadang anak menolak dan memilih menjadi fatherless daripada harus menorehkan luka dihatinya.
Apa dampaknya bagi keluarga dan anak?
Anak yang tidak mendapat peran seorang ayah dan anak yang mendapatkan peran seorang ayah tentu akan tumbuh dengan karateristik yang berbeda. Sebab seorang anak lahir seperti kertas putih, dunia yang menorehkan akan jadi apa isi kertas tersebut. Benar karateristik anak dipengaruhi oleh DNA dari orang tuanya, namun perjalanan kehidupannya juga tidak luput dari pembentukan karakternya.
Anak yang berada dalam keluarga fatherless tentu tidak akan mengerti bagaimana sosok ayah seharusnya. Hal ini berpotensi ke kehidupan mereka setelah mempunyai anak. Mereka juga akan menjadi keluarga yang memiliki sosok anak yang tidak memiliki peran ayah.
Anak akan cenderung tidak betah dalam rumah atau keluarganya, akan lebih senang berada diluar bersama teman. Menjadi sosok yang keras, dan cenderung tidak peduli dengan keluarga. Anak akan merasa ketika besar sudah saatnya menjalani kehidupan sendiri-sendiri.
Selain itu, anak memiliki potensi yang lebih besar terkena masalah kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan, tidak percaya diri, susah bersosialisasi, bahkan depresi hingga memilih mengakhiri hidupnya. Mereka juga merasa tidak mendapat dukungan dalam keluarganya sendiri, sehingga mencari dukungan diluar, yang ditakutkan berdampak buruk.
Secara spesifik, pada anak perempuan cenderung tidak punya standard pria seperti apa yang harus menjadi suaminya kelak. Ia tidak tahu bagaimana sosok suami dan calon ayah untuk anaknya kelak seperti apa yang baik. Anak perempuan yang tumbuh dengan peran ayah terlibat di dalamnya, cenderung memiliki standard tinggi untuk memilih calon suaminya. Hal ini tentu memperbesar potensi kebahagiaan dalam rumah tangga.
Pada anak laki-laki, ia akan bingung bagaimana menjadi seorang ayah dan bagaimana menjadi seorang suami. Ia cenderung akan meniru sosok ayah dalam hidupnya di kehidupan pernikahaannya. Laki-laki yang dalam hidupnya memiliki peran seoarang ayah, cenderung tumbuh menjadi sosok ayah dan suami yang mampu menerima kritikan dan saran dari anak istri. Ia akan menjadi sosok cinta pertama anak perempuannya dan menjadi pahlawan dan cita-cita anak laki-lakinya.
Cara mengatasi fatherless
Perlu diketahui bahwa tugas seorang suami dan tugas seorang ayah berbeda. Anak (new born hingga toddler) adalah manusia yang pada dasarnya tidak mengerti dan tidak tahu bahwa hidup butuh uang. Mereka tidak akan menanggap mencari nafkah adalah sebuah tugas, yang anak tau seberapa banyak waktu yang kamu berikan, seberapa berkualitas kamu membangun hubungan dengan anakmu, seberapa mendalam komunikasimu dengan anak, dan seberapa banyak tindakan nyata (secara fisik) sebagai tanda sayang yang kamu berikan ke anak.
Beralih ke remaja hingga dewasa, anak mungkin tahu bahwa mencari uang adalah salah satu tugas seorang ayah. Namun dimasa saat ini, mereka perlu sosok ayah untuk bercerita dan berkeluh kesah dengan tentang kegiatannya diluar. Bagaimana caramu hadir dalam waktu tersedihnya, tersenangnya, dan bagaimana kamu meresponnya dengan baik itu diperlukan bagi mereka.
Hingga akhirnya anakmu akan menikah, dan tidak lagi bergantung padamu. Kebahagiaan anakmu setelah menikah akan dipengaruhi dengan bagaiaman peranmu selama masa pertumbuhan. Lalu bagaimana mengatasi fatherless?
Pertama, sadari bahwa ketika kamu meutuskan memiliki anak, artinya kamu sudah bersiap untuk mengurus anak seumur hidup. Istilah kasarnya, dibuat bersama dirawat bersama.
Kedua, singkirkan sistem patriaki, dimana tugas ayah hanya mencari uang dan tugas ibu yang mengurus anak 100%. Stop berpikir ketika sampai rumah, ayah berhak istirahat karena lelah bekerja, jadi tidak mau mengurus anak atau rumah. Bermain dengan anak, mendengarkan anak, memandikan atau bahkan menyuapi anak juga merupakan tanggungjawab seorang ayah. Tekankan bahwa anak tidak bisa lahir hanya karena ibu, tapi ada peran seorang ayah di dalamnya.
Ketiga, jauhi lingkungan toxic. Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik. Tutup telinga dengan mereka yang memandangmu atau istrimu rendah hanya karena kamu berkontribusi dalam merawat anak. Tekankan pada diri sendiri bahwa itu memang tanggungjawab kalian sebagai orang tua.
Keempat, jangan berpikir menghabiskan waktu bersama anak adalah pekerajaan seperti diluaran. Ketika memutuskan memiliki anak, kamu harus tau bahwa akan ada waktu dan masa hidupmu yang dikorbankan untuk anak. Punya anak bukan hanya lahir lalu selesai, tapi ada tugas dan tanggungjawab seumur hidup. Banyak ayah yang merasa bersama anak seperti bekerja diluaran, ubah mindsetmu dengan bermain bersama anak sebisa mungkin, sebelum mereka memilih untuk bermain bersama teman atau memilih untuk menikah hingga harus keluar dari keluargamu.
Kelima¸ cobalah jelajahi dunia internet, banyaknya curhatan anak yang kehilangan peran ayah dalam hidupnya. Apakah sebagian dari mereka bahagia atau justru sedih dan sakit hati? Baca dan lihat sendiri kisah mereka sebagai bahan pembelajaranmu.