Upnormal Kpop: Di Tengah Problematika Interaksi Parasosial
Apa yang terbersit dalam benak ketika mendengar kata Korea Selatan? Mungkin sebagian besar orang akan menjawab K-Pop. K-Pop (Korean Pop) adalah jenis musik yang saat ini sangat terkenal di seluruh dunia, identik dengan grup band beranggotakan empat hingga belasan orang, yang lebih dikenal dengan sebutan idol.
Seiring mendunianya K-Pop, kini budaya Korea juga diimplementasikan oleh penggemar dalam preferensi gaya berpakaian, kecantikan, makanan, hingga bahasa. Para penggemar K-Pop – yang sering menyebut dirinya K-Popers juga sering melakukan pertemuan dengan sesamanya atau mengadakan event sebagai bentuk kecintaan terhadap musik K-Pop.
Berdasarkan riset analis Twitter, Indonesia menduduki peringkat pertama jumlah K-Popers terbanyak di dunia selama 2 tahun berturut-turut dengan 7,8 juta global tweet menggunakan hashtag #KpopTwitter di tahun 2021. Tak ayal, Indonesia menjadi pasar besar industri musik Korea Selatan. Kita bisa melihat betapa menjamurnya produk-produk lokal yang menggunakan idol K-Pop sebagai brand ambassador, banyaknya konser musik yang diselenggarakan, hingga idol K-Pop yang “melokal” dengan mencoba pakaian adat Indonesia atau belajar budaya Indonesia. Contohnya boygroup NCT DREAM yang syuting menggunakan seragam putih abu-abu ala siswa SMA Indonesia yang sukses membuat penggemar terpesona dan anggota NCT 127 yang belajar tari Poco-Poco. Hal tersebut hanya sebagian kecil dari cara idol K-Pop memanjakan penggemarnya sehingga tercipta interaksi yang kuat antara idola dan penggemar.
Interaksi-interaksi yang dilakukan idol kepada fans inilah yang akhirnya menimbulkan rasa sayang dan cinta dari fans-nya. K-Popers merasa “berhutang budi” kepada sosok yang disukainya dan berusaha menjadi fans yang setia sebagai balasan atas fan service yang sudah dilakukan oleh idol-nya,
Bentuk rasa sayang dan cinta kepada idola ini ditunjukkan di media sosial, dimana K-popers bebas menyalurkan segala keinginan dan imajinasi mereka terhadap sosok sang idol. Mereka sering menunjukkan rasa cinta melalui postingan di media sosial dengan cara mengedit foto atau video kegiatannya. Selain mengapresiasi karya-karya idol-nya, K-Popers juga menjadi “pelindung” dari ujaran kebencian dan kritik terhadap idolanya. Mereka tidak segan menyerang balik pihak yang berlawanan bagi idol-nya, bahkan memicu perang antar fans (fanwar). Hal -hal tersebut seringkali membuat fandom K-Pop dicap fanatik.
Dalam KBBI, fanatik didefinisikan sebagai suatu keyakinan untuk meyakini ajaran atau kepercayaan dengan kuat. Ajaran atau kepercayaan ini dapat berupa ajaran agama, politik, hingga musik, seperti fenomena fandom K-Pop saat ini. K-Popers sangat memuja idol-nya sebagai sosok yang sempurna dan tidak layak dikritik oleh seseorang yang bahkan tidak tahu apa-apa tentangnya. Bagi K-Popers fanatik, idol mereka adalah sosok yang nyaris sempurna, sehingga hanya berhak atas apresiasi positif.
Contoh korban fanatisme fandom K-Pop di Indonesia adalah Natya Shina, seorang wanita kelahiran Bali yang tergabung dalam kelompok dance cover Pink Panda. Pada tahun 2018, ia membuat Instagram Story dengan video yang menunjukkan Jennie BLACKPINK malas-malasan ketika menari di konser Seoul. Natya turut setuju dengan hal tersebut dan kecewa dengan penampilan Jennie yang kurang profesional. Setelah memposting kritiknya tersebut, ia diserbu habis-habisan oleh BLINK (sebutan untuk fandom BLACKPINK). Beberapa orang memberikan komentar kasar di akun Instagram-nya dan menyuruhnya untuk membuat permintaan maaf. Namun, Natya tidak bergeming dan menolak menuruti permintaan BLINK. Baginya, ia tetap bisa beropini secara objektif, tidak seperti fans lain yang begitu fanatik.
Kejadian serupa juga terjadi kembali, kali ini artis tanah air, komika Kiky Saputri dan youtuber Boy William yang menjadi bulan-bulanan BLINK. Mereka sempat menghadiri konser BLACKPINK WORLD TOUR (BORN PINK) di Jakarta tanggal 11-12 Maret silam. Di podcast Kiky Saputri, mereka bercerita pengalaman menonton konser tersebut. Keduanya kecewa melihat penampilan Jennie BLACKPINK yang lagi-lagi terlihat malas-malasan ketika menari. Akibatnya, akun media sosial Kiky Saputri dan Boy William dipenuhi hujatan dari fans girlgroup Korea Selatan tersebut. Ada yang bahkan mendoakan sang komika mandul. Di lain pihak, Boy William harus kehilangan akun Instagram untuk sementara.
Fenomena fanatisme K-Popers muncul karena merasa sudah diperlakukan “spesial” oleh sang idola -dalam hal ini disebut interaksi parasosial- dimana hal tersebut sebenarnya hanya sebuah tuntutan pekerjaan sebagai seorang publik figur. Namun, bagi para penggemar, hal tersebut mengindikasikan adanya rasa sayang dan cinta yang lebih dari sekedar idol dan fans. Bahkan, ada sebagian K-Popers yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk idola. Bagi mereka, sosok idol inilah yang menemani dalam segala situasi. Oleh karena itu, mereka menganggap idol adalah sosok yang sangat penting.
Ada perbedaan antara K-Popers yang baru memasuki industri musik ini - dalam hal ini sering disebut “fans bocil”- dengan K-Popers yang sudah mengikuti K-Pop sejak grup band generasi awal (Super Junior, TVXQ, SNSD, BIGBANG, dan sebagainya). Seringkali, bentuk aksi fanatisme ini dilakukan oleh fans yang masih muda. Mereka cenderung menggebu-gebu dan tidak objektif menilai suatu hal menyangkut idolanya. Fans seperti ini gemar melakukan fanwar sana sini hanya karena hal sepele. Berbeda dengan K-Popers lama, mereka sudah melalui fase tersebut dan seiring bertambahnya usia, mereka menjadi lebih dewasa menyikapi kritik atau komentar yang tidak mengenakkan bagi idolanya.
Di sisi lain, sikap fanatik ini tanpa sadar dapat merugikan pihak idol. Beberapa kali terdapat kasus-kasus yang mengganggu privasi dan ketenangan idol K-Pop yang dilakukan oleh fans fanatik, seperti menelepon terus menerus, menguntit dan meng-hack akun media sosialnya. Tindakan ini acapkali berujung ke jalur hukum. Oleh sebab itu, beberapa idol sering mengingatkan para penggemarnya untuk menjaga batas dan tetap menjadi fans yang sehat.
Menyukai sesuatu adalah hal yang lumrah, namun hal tersebut tetap memerlukan batasan. Menjadi bagian dari sebuah fandom tidak lantas menumpulkan kemampuan untuk objektif dan bijaksana dalam menghadapi kritik maupun komentar kurang mengenakkan dari pihak lain kepada idola. Hal tersebut adalah keniscayaan, sehingga mekanisme menghadapi kritikan yang baiklah yang perlu dilakukan sebagai fans. Toh, jadi fans fanatik gak ada untungnya, justru malah dibenci sama idol. So, be a mature K-Popers!