Fandom Sebagai Suatu Kesaksian

profile picture deda_ibrahim1680268758
Lifestyle - Musik

Fandom bukan fenomena unik; ia pernah ada dan berulang kali hadir. Tidak menutupi kemungkinan ia bakal kembali hadir. Watak seperti itu bukanlah masalah. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana fenomena fandom itu disorot.

Kefanatikan penggemar musik tak jarang disorot melalui teropong disiplin-disiplin yang hanya bermuara pada moralitas. Selain menjemukan, persoalan benar/salah atau baik/buruk terkadang menjadi simplifikasi dari kerumitan suatu isu yang disorot. Tidak hanya itu, ia menutupi satu fakta: ketidakakraban dengan dunia musik populer. 

Fandom terhadap kelompok vokal K-Pop seperti BTS, BLACKPINK, dan lainnya serupa dengan fanatisme terhadap New Kids On The Block, Duran Duran, Westlife, dan lain-lain di masa lalu. Bukan hanya serupa, ia juga memiliki akar historis.

Akar historis tersebut terjadi pada era 1960an, di mana satu fenomena fandom terbesar, terluas, sekaligus terdalam terjadi. Fenomena tersebut bahkan bernama: Beatlemania. Nama ini menyiratkan adanya pelbagai bentuk kegilaan terhadap sesuatu yang bernama Beatle(s).

The Beatles adalah band dari Liverpool, Inggris. Digawangi oleh John Lennon (gitaris), Paul McCartney (pemain bas), George Harrison (gitaris), dan Ringo Starr (drumer), popularitas The Beatles meroket semenjak single kedua mereka, Please, Please Me. The Beatles pun menyebabkan ‘demam’ bagi para penggemarnya. 

‘Demam’ itu mendorong para penggemar The Beatles, khususnya remaja perempuan, berteriak histeris, berlari sekencang mungkin mengejar, mengintil, mendorong, menarik-narik, menjambak rambut, menggigit para personel The Beatles, dan berbagai kesintingan lainnya.

Saya harus menyebutkan fenomena Beatlemania ini, karena Beatlemania adalah fenomena fandom awal, purba, dan global. Fenomena fanatisme setelahnya, sebesar apa pun intensitasnya, belum dapat menyaingi skala keluasan dan kedalaman fenomena Beatlemania ini. 

Fanatisme terhadap The Beatles ini juga memicu rumor tentang kematian Paul McCartney. Gosip tersebut hadir sejak 1967 dan mencapai popularitasnya di tahun 1969. Namun, teori konspirasi tersebut tidak pernah sepenuhnya mati, dan Time pun menobatkannya sebagai salah satu dari 10 teori konspirasi terawet di dunia. 

Karena juga terinspirasi oleh lagu The Beatles yang berjudul Piggies dan Helter Skelter (1968), sekelompok orang yang menamai diri mereka Keluarga Manson melakukan pembunuhan, yang dikenal sebagai Pembunuhan Tate-LaBianca. Dalam bukunya, The Lyrics, 1956 to The Present (2022), Paul McCartney mengkritik Charles Manson, tetua Keluarga Manson, di mana Manson telah melakukan penafsiran apokaliptik yang ekstrem terhadap lirik Helter Skelter, yang sebenarnya diinspirasikan oleh perlengkapan permainan di taman. 

Namun, fanatisme pun pada akhirnya menyebabkan kematian kepada salah satu personel The Beatles. Mark David Chapman, penggemar The Beatles dan John Lennon, melepaskan lima peluru ke tubuh Lennon di depan gedung apartemennya di Kota New York pada tanggal 8 Desember 1980. 

Tidak hanya itu, George Harrison mengalami lebih dari 40 luka tusukan yang dilakukan oleh penggemarnya sendiri, Michael Abram. Serangan tersebut juga menjadi sebab turunnya kesehatan Harrison sehingga kanker yang sempat dialaminya muncul kembali. Harrison pun berpulang pada tanggal 29 November 2001. 

Secara umum, bisa dikatakan bahwa berbagai insiden fanatisme sebenarnya sangat bergantung pada bagaimana kepribadian penggemar itu sendiri. Charles Manson tidak akan bisa menanamkan pengaruh kepada ‘keluarganya’ agar mau membunuh orang lain, jika ia bukan seorang penderita skizofrenia, paranoia, dan memiliki masalah perilaku yang mengendalikan orang lain (controlling behavior). 

Mark David Chapman tidak akan membunuh John Lennon jika tidak mengalami psikosis, skizofrenia paranoia, dan manic depression. Begitu pula dengan Michael Abram yang mengalami skizofrenia paranoia. Abram tidak akan merasa dirinya diperintahkan oleh Tuhan untuk membunuh George Harrison jika ia tidak memiliki masalah kesehatan mental.

Ketidakmampuan untuk menarik garis batas kewajaran adalah salah satu isu utama dalam persoalan fandom. Menyimak pelbagai tingkah dan perilaku penggemar kelompok musik dalam sejarah musik populer sebenarnya membantu kita untuk menetapkan batas kewajaran tersebut. Tidak hanya itu, hal itu juga menumbuhkan suatu bentuk simpati kepada para penggemar yang merasa kesulitan dalam menarik garis batas tersebut. 

Sebenarnya, untuk melumerkan tingkat fanatisme, penggemar musik seharusnya didorong untuk menyimak berbagai genre musik. Hal ini tidak akan menghilangkan kekaguman kita terhadap satu genre atau kelompok musik tertentu. Sebaliknya, kekaguman kita akan musik akan bertambah, mengingat satu genre musik biasanya merupakan fusi dari beberapa genre musik lain. 

Ambil contoh genre K-Pop. Sebagai satu genre, K-Pop bukanlah satu genre yang berdiri sendiri; ia terbentuk dari beberapa genre, seperti hip hop, rhythm and blues (R&B), dance music, pop, electronic, dan lainnya. Begitu pula hip hop. Tanpa disco, funk, jaz, dan rok, genre hip hop tidak akan pernah ada.  

Dengan kata lain, suatu genre musik yang kita dengar adalah hasil dari evolusi dari berbagai genre musik lain. Ia mengambil dan menggabungkan unsur-unsur yang mungkin dan terbaik dari genre lain. Karena sifat fusi tersebut, tidak ada satu genre musik yang lebih unggul ketimbang genre lain. 

Dengan logika yang sama, kita bisa juga mengatakan bahwa tidak ada satu grup musik yang lebih unggul ketimbang grup musik lainnya. Satu band memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. 

Yang membuat satu band lebih unggul dari lainnya adalah kecenderungan kita terhadap band tersebut. kecenderungan itu berasal dari watak dan karakteristik diri kita, yang kemudian membuat suatu genre musik dan kelompok musik bermakna bagi kita. Karena makna tersebut, musik pun menjadi bagian dari diri kita dan perjalanan hidup kita. 

Sebaliknya juga begitu. Sebagaimana musik menjadi bagian dari diri kita, kita pun menjadi bagian dari perjalanan musik yang kita kagumi. Tanpa pengagumnya, suatu genre musik atau band akan menghilang. 

Namun, ia tidak sepenuhnya pergi, karena ia akan kembali hadir dalam bentuk yang sama atau berfusi sebagai satu genre berbeda. Kehadiran kita memainkan peran dalam menghidupkan musik tersebut, baik dalam bentuk nostalgia ataupun melahirkan dan memainkannya. 

Menurut saya, ini letak penting fandom atau fanatisme itu: ia menjadi saksi perjalanan suatu genre musik. Tanpa rasa simpati terhadap fandom dan musik, kesaksian tersebut tidak akan pernah ada. Karena alasan ini, saya mendukung fandom dalam musik.***

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By deda_ibrahim1680268758

This statement referred from