FANDOM : KETIKA HIBURAN TAK LAGI MENGHIBUR..

profile picture david_aprial
Kesehatan - Mental Health

"Saya tinggal di Eropa tetapi ini adalah hal yang nyata, LOL (tertawa). Kadang-kadang memang ada anak-anak yang mendengarkan (lagi) BTS tetapi mereka semua pecundang, LOL. Anda bisa melihat mereka seperti anak-anak pecundang di Korea yang mendengarkan musik Jepang, LOL. Semua orang membenci mereka,”


"Tapi serius, jika Anda melihat semua video BIG BANG, mereka (VIP) selalu menuliskan komentar yang menyerang BTS,”


"Bagaimana orang berpikir BTS bisa dibandingkan dengan GD. Tanpa GD, BTS tidak akan menjadi (artis) kelas dunia dan bahkan kata ‘K-pop’ tidak akan terbentuk. GD adalah orang yang bisa mengendalikan segalanya seperti musik, budaya umum, mode, dan tren,”

Kutipan di atas merupakan cuplikan perdebatan netizen di media sosial mengenai siapa yang terbaik di antara dua grup music korea, yakni BTS dan Bigbang. Di dalam penggalan perdebatan di atas tergambar bagaimana tingkat fanatisme para fans K-Pop, khususnya di Indonesia. Tingginya tingkat kesukaan terhadap grup musik pada kasus di atas bahkan sudah sampai ke tahap pembullyian terhadap orang lain yang memiliki idola yang berbeda, bahkan terhadap mereka yang menjadi grup musik tersebut.

Pada dasarnya mengidolakan seorang publik figur merupakan hal yang biasa terjadi di dalam kehidupan sosial. Sesuatu dijadikan idola biasanya dikarenakan karena popularitas yang tinggi, prestasi yang mentereng, ataupun paras yang menarik. Di kalangan fans sepak bola misalnya, sampai hari ini masih terus memperdebatkan siapa yang terbaik di antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Atau di lingkaran pencinta film, tak henti membandingkan mana yang terbaik antara Marvel Cinematic Universe (MCU) atau Disney Cinematic Universe (DCU). Celakanya adalah ketika perdebatan ini sudah mengarah ke caci maki dengan ucapan tak pantas dan sudah tak lagi berada di konteks persoalan yang seharusnya didiskusikan. Dari sini kemudian muncul dua kelompok kubu yang biasa disebut sebagai fans dan hatters. 

Ketertarikan terhadap sesuatu yang diidolakan bisa dibagi menjadi dua sebutan, yakni fanship dan fandom.  Menurut Schroy (2016), fanship adalah keterikatakn secara psikologis antara seorang penggemar dengan idola. Sedangkan fandom menurut Reysen dan  Branscombe (2010), fandom adalah keterikatan antara sesama penggemar yang memiliki idola yang sama.  Dalam konteks ini, orang-orang yang membentuk sebuah fandom memiliki kesamaan selera dalam berpakaian dan cara bersikap yang diasosiasikan dengan idola yang mereka gemari. 

Pembicaraan mengenai menjadi seorang fans dalam kontek psikologi berhubungan dengan masalah identitas diri dan sosial. Identitas diri merupakan sesuatu yang menjelaskan siapa diri kita. Sebagai contoh adalah agama, jenis kelamin, kepribadian, sampai kepada bakat dan minat pribadi.  Secara lebih jelas, identitas diri terbentuk dari pendidikan dan pengalaman yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan. 

Salah satu yang membentuk identitas diri seseorang adalah sosok yang dijadikan sebagai idola. Pada kasus Edi (seorang selebgram), ia adalah orang yang amat menyukai tontonan jepang. Oleh karena itu ia mengubah penampilannya dengan rambut panjang warna pirang ala artis jepang. Tak cuma sampai disitu, ia bahkan menggunakan nama panggung yang berbau Jepang juga, yakni Takiya Edi. Sosok Takiya Edi menjadikan gaya ala Jepang sebagai identitas dirinya karena merasa memiliki ikatan emosional yang kuat. Hal ini yang membedakan antara penikmat hibura biasa dengan mereka yang sudah menjadi fans fanatik. 

Sementara itu identitas sosial adalah gambaran diri yang ditampilkan oleh seseorang agar dapat diterima di dalam sebuah kelompok sosial. Dalam hal ini, fandom akan berusaha memenuhi semua hal yang diperlukan agar dapat menjadi bagian dalam anggota kelompok. Sebagai contoh adalah mereka yang ingin menjadi anggota fans klub Real Madrid, akan berusaha untuk memiliki segala sesuatu tentang klub tersebut mulai dari jersey, poster, dan mengupdate semua informasi seputar Real Madrid. Di samping itu mereka akan rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkumpul,nonton bersama pertandingan sepak bola, atau merayakan gelar juara yang diraih oleh tim.  Saking kuatnya ikatakan antara anggota fandom, mereka akan merasa tidak senang jika kelompok mereka mendapat kritikan dari kelompok lain. 

 Sehubungan dengan pembicaraan di atas, menjadikan seseorang sebagai sebuah idola adalah hal yang biasa sebagai bagian dari dunia hiburan. Keputusan untuk memiliki sosok idola biasanya didasari oleh sebuah motivasi positif. Di antara bentuk motivasi positif tersebut adalah ingin meniru aktivitas baik dari sang idola. Misalnya adalah kelompok yang mengidolai klub sepak bola, akan termotivasi untuk rajin melakukan olahraga sepakbola secara berkala agar tubuh menjadi sehat. Di sisi lain mereka yang menyukai sebuah grup band, akan memiliki motivasi untuk rajin belajar memainkan alat musik. Bahkan tak jarang, seorang fans bisa mengikuti jejak idolanya untuk meniti karir di bidang yang sama. Dengan kata lain, orang selalu butuh role model yang bisa ditiru untuk membentuk jati diri masing-masing. 

Dalam konteks ini secara sadar atau tidak sadar, seorang fans bisa terjebak dalam sikap fanatisme mengenai sosok yang dikagumi. Apalagi dengan perkembangan media sosial yang semakin maju, dimana antara fandom bisa bebas beradu pendapat di kolom komentar. Tak sampai disitu, bahkan orang dapat memberikan pendapat langsung di media sosial seorang publik figur.   Oleh karena tidak adanya lagi sekat dalam berkomentar, orang bisa bebas menuliskan apa yang diinginkannya meski itu dapat menyinggung dan menghina orang lain yang berbeda pendapat. 

Dalam pandangan penulis, penting bagi fandom untuk bersikap “biasa saja” dalam menggemari seorang publik figur. Karena pada dasarnya mereka ada untuk menghibur masyarakat dan bukan untuk menimbulkan gesekan antar orang. Bagaimana misalnya bisa disebut sebagai sebuah hiburan jika harus menimbulkan ketegangan antar kelompok? Kita tentunya tidak menginginkan terulangnya kembali tragedi kelam di Kanjuruhan yang membuat sepak bola nasional kehilangan gairah. Karena pada akhirnya idola yang kita banggakan adalah manusia biasa sama seperti kita yang pasti ada kelebihan dan kekurangan. Maka dari itu tak perlu ada sikap berlebihan dalam menyukai seseorang walau setenar apapun dia. Dalam hal ini, fandom perlu menumbuhkan sikap objektif di dalam melihat seseorang.  Oleh karena itu fandom apakah bisa menjadi seorang fans sejati atau menjadi haters itu akan kembali lagi kepada diri orang itu sendiri ..

DAFTAR PUSTAKA

Reysen, S., Branscombe, N. R. (2010). Fanship and fandom: Comparisons between sport fans and non-sport fans. Journal of Sport Behavior, 33, 176–193. https://doi.org/10.13072/midss.472

Schroy, C., Plante, C. N., Reysen, S., Roberts, S. E., Gerbasi, K. C. (2016). Different motivations as predictors of psychological connection to fan interest and fan groups in Anime, Furry, and Fantasy Sport fandoms. The Phoenix Papers, 2, 148–167.

#fenomenafandom

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By david_aprial

This statement referred from