Tuhan; Yang Tak Selesai
Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi
Sesuatu yang kelak retak
Dan kita membikinnya abadi
[Goenawan Mohamad]¹
***
Saat kita berbicara tentang Tuhan, artinya juga berbicara tentang manusia dengan segala dimensinya. Karena Tuhan adalah konsep unik milik manusia seorang. Tak ada makhluk hidup lain yang diketahui mengenal Tuhan, dan menjalankan ritus penyembahan layaknya spesies kita. Mau tidak mau, dalam diskursus tentang ketuhanan yang transendental, kita turut menenteng sisi-sisi kemanusiaan yang profan juga.
- Pencari Tuhan
Dalam bingkai besar sejarah peradaban manusia, Tuhan bukanlah konsep yang baru. Barangkali, ide tentang Tuhan setua peradaban manusia itu sendiri (?). Sependek-pendeknya, konsep tentang Tuhan sudah lahir lewat Aristoteles, lebih dari 2000 tahun yang lalu.²
Filsuf besar Yunani, sekaligus guru dari Alexander Agung itu, memperkenalkan sebuah gagasan yang mensyaratkan adanya entitas “maha awal”; apa yang disebutnya prima causa. Karena segalanya pasti terikat oleh hukum sebab-akibat. Bahwa ‘yang satu’ menyebabkan ‘yang lain’ sehingga menjadi ‘ada’—dan terus-menerus. Seperti susunan domino yang tak kenal putus.
Tetapi, jika kita runut mata rantai kausal itu ke belakang, sampai ke ujung pangkal, hukum kausalitas haruslah tunduk pada satu sebab yang tak tersebabkan: Ialah Tuhan.
Namun, bagaimana jika realitas sejatinya tak memiliki prima causa? Bisa jadi, realitas adalah gerak melingkar. Apa yang kita yakini sebagai “sang awal”, tak lain adalah akhir dari masa yang telah menjelang.
Selayaknya Big Bang, sebagai titik rapatan super-padat, awal alam semesta berkembang, tak menutup kemungkinan bahwa ia juga akhir dari semesta lalu yang tutup usia. Jika demikian, realitas tak harus memiliki ujung-pangkal agar bisa terus bergerak: prima causa jadi tidak berarti lagi. Pada akhirnya, "Sang Awal" Aristoteles tetaplah mengandai-andai. Ia belum bisa menjawab dengan mantap pertanyaan para pencari Tuhan.
Namun, upaya-upaya rasional untuk menunjukkan keberadaan Tuhan belum berhenti. Manusia masih terus berusaha meyakinkan, bahwa akal dan iman bukan barang yang berseberangan. Meskipun, banyak usaha itu menemui titik buntu. Berakhir sia-sia; semenjak pijar-pijar Aufklärung menyingkirkan kabut kegelapan abad pertengahan. Sains, lantas menggantikan otoritas teks suci dan logika tradisional dalam menalar Tuhan.
Tetapi, kesia-siaan bukan suatu kegagalan, jika kita mengandaikan Tuhan melampaui segala yang mungkin direngkuh bahasa. Ia adalah ‘petanda’ yang memberontak pada segala 'penanda' yang ada.³ Makna yang tidak mau dikurung oleh simbol apa pun. Dzat yang tan keno kinoyo opo—tak bisa dibayangkan dan dibahasakan.
Maka, seluruh bahasa yang berusaha merengkuh-Nya, akan luruh menjadi metafora. Dan sebagaimana metafora, ia tak pernah sanggup menggambarkan paras yang diwakilinya dengan sempurna. Bahwa ‘melihatnya’ Tuhan, tidak sama dengan ‘melihatnya’ manusia. ‘Mendengarnya’ Tuhan, berbeda dengan ‘mendengarnya’ manusia. Dst.
Kita bisa ‘melihat’, sebab ada foton menembus retina, diubahnya jadi impuls syaraf, dan diproyeksikan otak sebagai kesadaran visual. Tetapi tentu, Tuhan tak memerlukan semua itu untuk ‘melihat’. Begitu pun dengan mendengar, merasa, dan segala sifat-sifat manusiawi lainnya.
Anselmus, dalam Proslogion, yang ia tulis pada abad ke-11, juga turut mengandaikan Tuhan sebagai konsep yang maximally great; yang darinya kita tak sekali pun sanggup membayangkan yang lebih besar lagi. Pengandaian itu, telah menandakan bahwa Dia sendiri ada; dan semakin nyata bagi yang mengimaninya.
Anselmus, mengisyaratkan Tuhan sebagai entitas yang cedhak tanpo sinenggolan. Maka Tuhan tidak hidup di langit ketujuh, atau keseribu, atau di alam sana yang maha jauh. Tuhan ada dalam relung pikiran kita: berkelindan di dalam realitas psikis. Begitu dekat (cedhak), sampai mustahil bersentuhan (sinenggolan). Namun Anselmus tetap memiliki pretensi atas iman, bahwa Tuhan juga harus ada di luar pikiran sebagai Yang Maha Kuasa, agar status maximally great-nya tidak batal. Tentu, argumen Anselmus masih cacat di sana-sini. Tapi setidaknya, ia membuka ruang penalaran metafisis tentang keberadaan Tuhan.
- Pembunuh Tuhan
Senafas namun tak seiras dengan filsuf dari Canterbury di atas, Kant menyangkal Tuhan sebagai objek sesembahan adikodrati. Dalam hal ini, iman dikesampingkan. Suatu yang membedakan Kant dengan Anselmus yang berpegang pada percaya. Tuhan, kini diandaikan layaknya perangkat lunak yang tertanam di dalam otak; sebuah idea a priori dalam rasio kita. Yang dengan-Nya, kita mampu mengurai realitas bukan sebagai benda yang acak dan berserak.⁴
Argumen yang dilayangkan oleh filsuf dari Cõnigsberg, dalam Kritik Atas Rasio Murni-nya itu, membuka pintu gerbang diskusi keberadaan Tuhan yang lebih antroposentris: bahwa karena manusia “ada”-lah, Tuhan menjadi ada, bukan sebaliknya.
Berkat Kant, Tuhan yang diyakini sebagai ‘subjek pencipta’, lambat laun semakin mengerdil menjadi ‘objek yang dicipta’. Tuhan hidup dalam ruang yang semakin mampat dan rapat. Dan beriring dengan berkembangnya para pemikir humanis pasca-renaisance, yang mendapat ancang-ancang dari Kant, Tuhan akhirnya telah “terbunuh” dalam jagat kehidupan manusia.
Diantara para pembunuh-Nya yang terkenal, kita temui Nietzsche dengan nihilismenya, Sartre dengan eksistensialismenya, dan Feuerbach dengan antropologinya. Para pembunuh Tuhan itu membalik hubungan dalang-wayang, subjek-objek, pencipta-ciptaan, antara manusia dan Tuhan, dengan pisau bedahnya masing-masing.
Tetapi, “pemampatan” Tuhan yang lebih ekstrem bukanlah menjadikan-Nya objek. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang disebutkan sebelumnya. Melainkan, menjadikan-Nya tanda. Dengan kata lain, Tuhan hanyalah konsep somatik; Tuhan adalah bahasa. Sebuah simbol yang merengkuh segala yang diasosiasikan dengan apa pun yang tak terbatas.
Namun, memampatkan Tuhan hanya menjadi sebatas bahasa terkesan berlebihan, terlalu kebablasan, meskipun juga tak bisa dikatakan salah. Sebab, akan muncul banyak pertanyaan: Bahasa mana yang mampu menundukkan jutaan manusia sebagai hamba? Bahasa mana yang mampu menciptakan ketakutan terhadap sosok? Bahasa mana yang bisa menjadi tempat manusia bergantung? Dst.
Dalam diskursus, Tuhan sebagai bahasa lantas ditinggalkan. Tak lain, karena kurang menyenangkan untuk dibahas. Ia sudah final.
- Membela (kembali) Tuhan
Namun, Tuhan tak lantas enyah. Meskipun—meminjam Nietzsche—kita telah membunuhnya.⁵ Kerinduan kita terhadap kekuatan adikodrati pada akhirnya menciptakan Tuhan yang baru: hukum alam yang rigid.
Memang, kesalahan paling umum para pembunuh Tuhan adalah menghamba sains; suatu yang diandaikan pasti dan maha kokoh, tanpa menyisakan ruang falsifikasi. Sekonyong-konyong, sains menyisihkan dunia-yang-entah sebagai ketiadaan. Seolah alam bekerja laksana mesin jam.
Barangkali, “penghamba” sains lupa, bahwa sejatinya sains adalah proses yang terus menerus mencari. Lantas, apa beda sains dan dogma, jika semua memaksa orang lain untuk percaya, bahwa ia adalah sumber kebenaran satu-satunya?
Para pembunuh Tuhan sebenarnya hanya mengubah bentuk Tuhan, dari yang awalnya psikis-metafisik, menjadi mekanis-deterministik. Jadi, eksistensi Tuhan dengan T besar belum juga sirna, hanya penafsirannya saja yang berbeda. Namun, hal itu mampu membuat para pembunuh Tuhan berani berkata, bahwa Ia lantas tiada. Tanpa menyadari, bahwa sebenarnya mereka hanya meloncat dari Tuhan yang satu, ke Tuhan yang baru.
Para humanis pembunuh Tuhan yang mencoba mengembalikan esensi manusia yang tercerabut dari ‘dunia alamiah’, barangkali juga luput, bahwa Tuhan tidak hanya lahir dari kebudayaan—seperti sinisme Xenophanes tentang masyarakat Ethiopia yang menyembah dewa berkulit hitam, atau bangsa Trakia yang menyembah dewa berambut pirang.⁶ Lebih dari itu, Tuhan juga telah ‘membudaya’. Dengan kata lain, bertuhan adalah sikap yang manusiawi. Menghapus Tuhan tanpa mencari pengganti di posisinya, sama saja dengan mencerabut kemanusiawian itu sendiri.
Namun, bukan berarti para pembunuh Tuhan sepenuhnya salah. Gott ist tot (tuhan telah mati) milik Nietzsche sangat mungkin benar, jika yang terbunuh adalah tuhan-tuhan statis dengan t kecil: tuhan yang terkerangkeng oleh dogma, dan diperbudak oleh hamba-Nya. Sedangkan Tuhan dengan T besar yang dinamis, masih, dan tak akan pernah selesai, untuk diurai.
Sejarah telah membuktikan, bahwa Tuhan (dengan segala bentuknya) telah terjangkar kuat dalam benak masyarakat. Baik di masyarakat metropolitan, maupun suku kecil yang tersembunyi di lebat hutan.
Tuhan adalah hadir yang tak pernah kehabisan harap. Keberadaannya membawa janji dan imaji. Tak lain, demi mereka yang tertindas mampu sejenak lupa dengan derita; Demi mengikat berjuta manusia dalam satu ragam yang menjaga; Demi menghadirkan cita bagi mereka yang sedang dirundung nestapa. Dan demi-demi yang lain. Maka ada atau pun tidak, Tuhan menjalankan fungsi-Nya.
Karena memang, mau bagaimana pun, manusia membutuhkan Tuhan. Butuh entitas maha segala sebagai pegangan. Sebab ‘bumi manusia’ adalah samudera yang tak tenang. Tak satu pun insan sanggup hidup dalam bimbang tak berkesudahan. Maka kita mengandai Tuhan sebagai tempat untuk berpegang.
Tapi, Tuhan kadang kala berganti rupa. Dari wajah yang welas, jadi paras yang beringas. Cobalah lihat berapa banyak kekerasan yang berangkat dari iman. Seolah Tuhan menyuruh, “bunuh! Bunuh! Bunuh!". Tuhan seolah memilik dua wajah sekaligus, contradictio in terminis, dan akan selalu begitu.
- Jadi, Tidak Akan Selesai
Perdebatan tentang Tuhan, memang tak akan pernah lekang dan usang. Menangkap-Nya dalam tataran konsep, selalu seperti belut di tangan: senantiasa luput dari genggaman. Dan akan selalu lahir pihak-pihak yang saling bertentangan. Namun, keadaan sekarang memaksa kita berdekatan dan saling berbagi ruang. Toh, percaya maupun menyangkal Tuhan, semua dibangun atas dasar iman.
Saya yakin, pembahasan akan Tuhan butuh uraian yang lebih panjang. Tulisan ini pun masih mengandung begitu banyak retak untuk ditambal dan disulam. Tapi yang pasti, Tuhan itu ada. Setidaknya dalam tiga hal:
Pertama, Tuhan hidup di ‘dunia-mungkin’. Garis tipis, pembatas antara ada dan tiada. Menerkanya, sama saja meniti buih untuk selamat, sampai ke seberang jurang yang entah-berantah. Segala pertanyaan yang dilayangkan tentang-Nya, akan selalu berakhir dengan jawaban “tidak tahu”.
Kedua, Tuhan ada dan melebur dalam bahasa, sebagai ungkapan yang mengandung ketidak-terhinggaan. Dan;
Ketiga, Tuhan hidup di dalam pikiran kita, sebagai entitas imajiner yang terbentuk dari naluri unik milik manusia.
Setidaknya, Tuhan itu “ada” sebagai konsep abstrak. Meskipun perumusannya tak akan pernah selesai. Dan yang terselesaikan hanyalah tuhan-tuhan. Sedangkan Tuhan tidak!
___________________________________
1) Diambil dari penggalan puisi berjudul Kwatrin Pada Sebuah Poci. Poci penulis artikan sebagai kepercayaan; ia begitu rapuh, tapi tetap digenggam atas dasar iman. Selengkapnya, lihat: Mohamad, Goenawan. 2011. Tujuh Puluh Puisi. Tempo: Jakarta.
2) Konsep prima causa muncul dalam Metafisika Aristoteles, dan disempurnakan oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae. Lihat: Russell, Betrand. 1946. Sejarah Filsafat Barat, Terj. Jatmiko, Sigit, dkk. 2021. Pustaka Pelajar: Yogjakarta.
3) Istilah penanda dan petanda muncul dalam ilmu linguistik untuk membelah bahasa, yang dipopulerkan oleh Ferdinand D. Sausure. “penanda” bisa berarti simbol, atau apa pun yang bisa dimaknai. Sedangkan “petanda” adalah makna itu sendiri. Selengkapnya, lihat: Sausure, Ferdinand D. 1915. Kuliah Linguistik Umum, Terj. Hidayat, Rahayu S. 1988. Gadjah Mada University Press: Yogjakarta.
4) Lihat: Kant, Immanuel. 1781. Kritik Atas Akal Budi Murni, Terj. Abdullah, Supriyanto. 2017. Indoliterasi: Yogjakarta.
5) Nietzsche menulis The Gay Science, tempat ungkapan “tuhan telah mati”, dengan gaya puitik: penuh majas dan metafora. Barangkali, ia seolah membuka ruang interpretasi tak terbatas, lihat uraian H.B Jassin: Nietzsche, Frederich. 1977. Zarathustra, Terj. Jassin, Hans Bague, dkk. 2015. Narasi: Yogjakarta.
6) Xenophanes, sejak Yunani Kuno, sudah skeptis dengan para sesembahan yang personanya pasti mirip dengan masyarakat penyembahnya. Dari sini, gagasan tentang Tuhan adalah produk kebudayaan telah muncul. Lihat: Hardiman, Francisco Budi. 2012. Humanisme Dan Sesudahnya. Kepustaan Populer Gramedia: Yogjakarta.