QUEEN BEE SYNDROME: Perempuan VS Perempuan

profile picture Mutiara Tyas Kingkin
Humaniora - Sosial

Di era modern saat ini, sudah banyak perempuan yang melek akan pendidikan dan jenjang karir mereka. Kesetaraan gender juga kerap digaungkan pada setiap kesempatan, agar para perempuan mendapatkan hak-hak mereka-meraih pendidikan, berkarir, dan menentukan pilihan hidup sendiri. Namun, dalam perwujudanya tentu tidak berjalan mulus seperti yang kita kira. Bias-bias gender masih seperti momok yang melekat, seperti momok patriarki yang masih menjadi perdebatan di masyarakat kita. 

Namun, ternyata ‘momok-momok’ yang dihadapi perempuan tidak hanya datang dari kaum laki-laki saja-yang selama ini selalu dituding menjadi akar dalam kesetaraan gender. Bias gender rupanya bisa datang dari kaum perempuan itu sendiri. Mereka justru dapat mempersulit perempuan lain untuk meraih suara yang sama-khususnya dalam karir. Kok Bisa? Yap, hal ini dikenal dengan istilah Queen Bee Syndrome atau sindrom ratu lebah. Di mana, seorang perempuan dengan pendidikan dan karir yang tinggi dalam jabatannya-seperti menjadi seorang leader, tidak mau ada perempuan lain yang setara dengan mereka.

Apa Itu Queen Bee Syndrome?

Istilah Queen Bee Syndrome pertama kali dipopulerkan tahun 1973 oleh G. Staines, C. Tavris, dan T.E Jayaratne psikolog dari Universitas Michigan, merupakan sebuah fenomena di mana seorang perempuan yang sukses dalam karirnya dan bisa menempati kedudukan yang biasanya didominasi oleh laki-laki, mencegah perempuan lain untuk mengembangkan dan mempromosikan dirinya. Sebab, Queen Bee merasa untuk mendapatkan posisi kuat dalam karirnya memerlukan perjuangan yang tidak mudah. Sehingga, mereka akan memandang bawahannya yang perempuan bukan untuk women support women, melainkan adanya seksisme untuk menjauhkan diri dari perempuan lain.

Perempuan Queen Bee biasanya memiliki karakteristik, suka memerintah dengan masculinity. Sehingga, para Queen Bee cenderung minindas rekan kerja wanitanya dan bersikap bossy. Selain itu, mereka memiliki pandangan bahwa rekan wanita bawahannya tidak setara dan lemah-sehingga tidak cocok menjadi pemimpin seperti dirinya. Mereka juga menganggap, bila ada kebijakan-kebijakan yang selalu berpihak untuk perempuan, maka akan membuat pemimpin Queen Bee merasa prestasinya dikecilkan. 

Dampak Queen Bee Syndrome ini tentu akan merugikan para perempuan. Hal ini juga diungkapkan Profesor Universitas Utrecht di Belanda, Naomi Ellemers, munculnya sindrom ini justru menunjukkan sisi bermasalah dari perempuan. Itu juga merupakan konsekuensi dari adanya gender inequality yang dialami perempuan. Sehingga, ketika perempuan sudah bisa membuktikan eksistensinya, perempuan Queen Bee tidak mau ada perempuan lain yang menonjol. 

Di dunia kerja, adanya sosok Queen Bee akan membuat perempuan yang menjadi bawahannya merasa terintimidasi, bahkan mengalami penuruan kinerja. Diskriminasi gender yang seharusnya dapat terasi, semakin meningkat-ironisnya datang dari sesama perempuan sendiri. Kemudian, saling menghambat bagi perempuan yang juga ingin mengembangkan potensi mereka di tempat kerja. Meski, kita sebagai perempuan memang harus terus mengembangkan diri sendiri. Tidak lantas berarti menjatuhkan sesama perempuan, bukan? 

Illustration by: fineartamerica.com

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0

This statement referred from