Pantas Tingkat SDM Indonesia Nilainya Rendah
Masyarakat merupakan komponen terpenting penyumbang majunya sebuah Negara. Sebaik apapun fasilitas yang diberikan, seberapa banyak uang yang dimiliki, sebagus apapun sumber daya alam yang ada, tidak akan bisa membuat suatu Negara maju apabila tidak di dukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni.
Indonesia, Negara yang dari dulu terkenal dengan SDA melimpah, hingga berhasil membuat banyak Negara lain iri dan berusaha merebut paksa, berhasil membuat WTO (organisasi perdagangan dunia) memberikan predikat “Negara Maju”. Namun sayangnya, tidak diimbangi dengan SDMnya. Menurut HDI (Human Development Index) yang disusun oleh PBB, Indonesia masih masuk Negara Berkembang.
Hasil itu menunjukan, bahwa Bumi Pertiwi sudah mengerahkan seluruh yang Ia punya untuk membuat Indonesia mampu bersaing di kancah Internasional dan tidak dipandang sebelah mata. Tetapi sebagian besar manusia-manusia yang tinggal di dalamnya justru tidak memiliki visi misi yang sama. Hal ini sangat disayangkan, dan memang tidak mudah mengubah “kualitas” SDM sendiri. Apa saja yang menunjukan bahwa rata-rata SDM Indonesia belum setara untuk menjadi masyarakat dari Negara Maju?
1. Minim literasi tapi banyak bac*t
Cukup buka sosmed, dan ciri ini akan banyak ditemukan di kolom komentar. Masih banyak masyarakat Indonesia yang malas membaca dan mencari tau. Mereka hanya mengandalkan apa yang mereka pernah dengar, dan hanya mau mendengar apa yang mereka yakini sebelumnya. Bahkan seorang ahli yang mengedukasi berdasarkan penelitian dan jurnal bisa ditentang habis-habisan, hanya karena hasilnya tidak sesuai keinginan mereka.
Contoh kasus, kemarin sempat viral bahaya minuman serbuk kolagen yang tersebar di Indonesia. Viralnya kasus ini sempat membuat netizen dari Negara maju memberikan respon. Mereka heran, kenapa masyarakat Indonesia tidak terlebih dahulu membaca komposisi yang tertera dalam kemasan?
Banyak tenaga kesehatan dan influencer yang sudah mengedukasi bahaya konsumsi serbuk kolagen, salah satunya dikarenakan banyaknya kandungan gula. Tetapi respon mereka bukannya waspada, justru membela minuman kolagen itu dengan alasan, “saya sudah konsumsi sekian bulan aman-aman saja”. Lucunya, bahkan kesaksian seseorang yang terdiagnosa gagal ginjal dikarenakan konsumsi harian minuman tersebut pun dibantah dengan, “mungkin kurang minum air putih, kan di kemasannya udah ditulis harus banyak minum air putih”
Dari kasus kecil itu bisa disimpulkan bahwa peribahasa tong kosong nyaring bunyinya cocok disematkan untuk mereka. Mirisnya lagi, setelah mengetahui bahaya konsumsi rutin minuman kolagen ini, beberapa influencer yang bekerja di bidang medis pun masih menjualnya dengan over klaim hanya demi keuntungan.
Tidak hanya kasus kolagen saja, tapi jika diperhatikan, banyak lagi kasus lainnya yang dengan mudahnya bisa ditemukan adanya orang-orang minim literasi banyak bicara bukan berdasarkan bukti konkret, tapi hanya berdasarkan uji coba pada dirinya sendiri.
2. Terlalu percaya mitos
Mitos dan Indonesia memang sangat melekat. Mitos sendiri konon tercipta dari nenek moyang kita zaman dahulu, dan dipercaya telah terbukti. Sebenarnya, hal ini kembali lagi ke kepercayaan masing-masing. Namun sangat disayangkan, mitos sendiri juga menjadi penyebab rendahnya SDM di Indonesia.
Mari kita bedah salah satu mitos yang sedang terkenal saat ini, “Setia banget jadi pasangan, pasti zodiaknya Leo nih”, atau “Capri emang gitu, kalau marah pasti silent treatment”. Apa hubungannya zodiak dengan sifat dasar yang hampir dimiliki jutaan manusia lain sih?
Kenapa mitos seperti itu bisa menghalangi kemajuan SDM Indonesia? Karena sebagian dari mereka akan menganggap sesuatu yang buruk di dalamnya adalah sifat bawaan zodiak yang tidak bisa dirubah, sehingga mereka tidak akan mau berusaha mengubahnya. Dan apabila mengalami konflik, mereka cenderung tidak akan menyelesaikan masalah karena berpikir “ah dia pasti setia” atau “yang emang cara penyelesaian zodiak ku kayak gini”.
Mitos sebenarnya diciptakan untuk tujuan baik, misalkan nih mitos “jangan duduk di depan pintu, nanti sulit dapat jodoh”, tujuannya untuk mengajarkan adab, agar duduk di kursi atau di tempat yang disediakan. Bisa juga agar melindungi supaya tidak tertabrak pintu saat ada yang membuka pintu.
Tapi sayangnya, makin kesini mitos yang beredar makin tidak masuk akal dan tidak ada dampak positif sama sekali.
3. Denial
Ya, beberapa dari masyarakat Indonesia masih memiliki sifat denial. Sifat dimana tidak mau mendengarkan hal lain yang mungkin tidak menyenangkan hati mereka, dan menyangkal sebisa mungkin. Padahal sesekali kita perlu menerima kenyataan yang mungkin pahit, demi menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya.
Contoh kasus, anak-anak merupakan generasi penerus bangsa dan pada merekalah nasib Indonesia kedepannya bergantung. Salah satu yang menyebabkan pertumbuhan anak terhambat, termasuk mempengaruhi IQ dan EQ mereka adalah masalah stunting. Disaat sebagian orang tua berusaha track TB dan BB anak agar sesuai anjuran, masih ada sebagian orang tua lain yang dengan santainya tidak mempermasalahkan anaknya stunting dengan alasan “yang penting sehat, emang anaknya aktif, makanya kecil”.
Mau diberikan edukasi gimanapun mereka tetap denial. Tujuan utamanya adalah “pokok anak ku hidup”. Stunting juga merupakan sebagian alasan kenapa manusia tidak bisa mencerna ilmu yang masuk, dan susah berpikir. Kadang walau sudah diberikan edukasi seperti ini, masih ada yang denial dengan alasan, “si x stunting tapi dia udah jadi manajer di perusahaan A”. Padahal masalah stunting bukan dia tidak bisa hidup layak, tapi mempengaruhi cara berpikir dan memecahkan masalah.
4. Terjebak di masa lalu
Siapa yang pernah denger omongan, “ah zamanku dulu..” atau “perasaan dulu…”. Benar, banyak sekali kita jumpai di masyarakat sekitar template omongan seperti ini. Manusia yang terjebak di masa lalu cenderung tidak mau menerima perubahan. Inilah yang kemudian membuat kualitas SDM Indonesia “mogok”.
Mari bahas kasus vaksin pada anak. Para kelompok anti vaksin akan mengatakan, “zaman dulu gak ada tuh vaksin-vaksinan, anak-anaknya sehat semua”. Padahal zaman dahulu juga tidak ada gadget baik-baik aja, kenapa mereka tetap pakai gadget? Oke, kembali ke kasus awal. Zaman dahulu banyak faktor yang berbeda dari sekarang, baik dari evolusi penyakit, penelitian vaksin, hingga kualitas makanan dan udara.
Bahkan penyakit flu yang merupakan penyakit biasa, dahulu adalah penyakit mematikan. Namun karena adanya vaksin, flu menjadi penyakit ringan. Tingkat kematian karena penyakit pada anak dahulu juga tinggi, tidak seperti saat ini. Sering kita jumpai anak-anak yang meninggal karena difteri, dan sebagian besar anak-anak itu tidak mendapatkan vaksin.
Dengan terjebaknya pemikiran mereka dimasa lalu, maka secara tidak langsung, mereka tidak mau menerima perubahan yang bisa mempengaruhi kemajuan masyarakat Indonesia. Mereka masih mengaggungkan praktek orang tua mereka di masa lalu, daripada perkataan para ahli yang sudah menempuh pendidikan dibidangnya.
5. Punya mental si paling susah dan pasrah
“Iyalah dia sukses, masuk kesana pakai orang dalam”, “Gak usah di dengerin seminar bisnis dia, orang tuanya kaya, gak relate”, “sukses gara-gara warisan aja, bukan perintis”, “masih lebih kaya mereka yang beribadah di sepertiga malam”. Pernah dengar omongan kayak gini?
Iya, mereka yang punya mental susah dan pasrah menyumbang rendahnya SDM di Indonesia. Kenapa? Karena mereka tidak mau mendengar nasehat dari orang yang sudah berhasil dan melakukan perubahan besar di hidupnya bahkan di Indonesia sendiri. Mereka selalu mencari alasan kenapa orang-orang tersebut sukses, kemudian dijadikan alasan untuk tidak mengambil hikmahnya.
Katakanlah nasehat dari para pewaris, memang benar pewaris tidak merintis dari nol, tapi mempertahankan usaha itu bukan suatu hal yang mudah. Jika tim pewaris berhasil mempertahankannya, maka nasehat dan motivasinya penting untuk di dengarkan.
Kelompok masyarakat bermental malas ini merasa dirinya lebih hebat hanya karena bukan pewaris, dan menutup telinga akan ilmu yang dibagikan. Padahal simpel, jika bagus dengarkan, jika tidak relate lepaskan. Namun sebelum mendengarkan, mereka keburu mencemooh.
6. Malas membaca
Harus diakui membaca adalah hal yang dianggap paling membosankan oleh saudara setanah air kita. Bahkan untuk membaca narasi pendek sudah malas. Di zaman sekarang untuk mendapatkan informasi tidak perlu repot memiliki buku secara fisik. Semudah membuka google, mengetik informasi yang diinginkan, semua akan keluar. Kita bisa membacanya dengan santai dimana saja dan kapan saja.
Berbeda dari sebelum adanya teknologi yang harus membeli buku, bahkan jauh-jauh ke perpusatakaan untuk membaca. Ingat tagline “membaca adalah jendela dunia”? Dengan tingkat kemalasan tinggi untuk membaca, harus bagaimana lagi kita mendapatkan informasi yang bisa menunjang kemajuan Indonesia?
7. SARA
Terakhir, masalah diskriminasi. Benar, harus diakui di Indonesia masih ada diskriminasi terhadap suku, kelompok, golongan, ras dan agama. Masyarakat akan dibuat sibuk dengan permasalahan yang tidak ada gunanya ini hingga melupakan kepentingan hidup mereka sendiri.
Pelaku diskriminasi cenderung sibuk mencari celah dan masalah, hingga yang dipupuk dalam dirinya adalah kebencian dan amarah. Tindakan tersebut justru akan menurunkan kualitas Negara Indonesia di mata internasional juga. Orang dari luar akan memandang Indonesia sebelah mata, dan bisa berimbas ke investasi.
Memang benar, semua manusia tidak ada yang sempurna. Namun belajar mengurangi 7 hal diatas sangat bisa dilakukan demi memperbaiki kualitas diri sendiri. Jika kualitas diri kita meningkat, maka percayalah kualitas hidup juga akan meningkat, entah pada diri sendiri, atau pada keturunan kelak, yang bisa membawa tingkat SDM Indonesia naik. Pergunakan teknologi yang ada dengan bijak, jauhi pergaulan yang buruk, dan fokus pada diri sendiri.