Ketika Kaum Ateis Mengaku Beragama
Ribuan tahun yang lalu, manusia dihadapkan dengan kesadaran tentang alam semesta. Mereka mulai meninggalkan dongeng-dongeng atau mitos yang menurutnya tidak memuaskan alam pikirannya. Kekaguman yang membersamainya, terselip rasa penasaran tentang mengapa dan bagaimana apa yang ‘ada’ sekarang ini bisa ‘ada’. Mereka berakrobat logika, berupaya membongkar dasar dari apapun di balik yang ‘ada’, tanpa terkecuali apa yang disebut dengan “keberadaan Tuhan”.
Sekelumit ikhtisar dari sebuah sejarah itu, sepertinya wajar jika paham filsafat selalu identik dengan ateisme. Seakan-akan, orang yang belajar filsafat, maka otomatis akan jadi ateis. Sebagai salah satu pembelajar filsafat, tidak satu atau dua kali saya mendapati anggapan itu. Meski di beberapa situasi terasa menganggu, tapi sejauh ini saya tidak pernah jengkel dengan anggapan tersebut. Selain karena saya sekarang tidak sebagai pembelajar filsafat yang ateis, juga saya menyadari bahwa mereka sedang dalam posisi tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.
Secara umum anggapan semacam itu berakar dari keyakinan mereka bahwa, Tuhan tidak bisa digapai atau dipahami dengan akal. Sebagian kalangan juga ada yang menganggap kalau Tuhan adalah ihwal transendental yang hanya bisa dipahami lewat spiritualitas dan mengamalkan tuntunan-tuntunan dari Agama tertentu. Oleh karenanya, tak heran jika kajian filsafat yang notabene bertumpu pada akal, disimpulkan sebagai ajaran yang menuntun seseorang menjadi ateis.
Bertolak dari latar belakang di atas; berdasarkan pengalaman pribadi dan beberapa pemikiran para ahli yang pernah saya pahami, tulisan ini akan memaparkan beberapa hal yang sekiranya bisa sebagai bukti bahwa, ‘orang yang beragama, belum tentu tidak mengalami ateisme’. Demikian juga dengan ‘paham ateis, sekalipun kesannya eksplisit, ia selalu kembali dan/atau bermuara pada pengakuan terhadap keberadaan Tuhan’.
Miskonsepsi antara Agama dengan Tuhan
Pembahasan ada atau tiadanya eksistensi Tuhan, kadang kala mengalami debat kusir karena miskonsepsi tentang dua poin, yakni “Agama” dan “Tuhan. Seolah-olah, siapapun yang sudah beragama, maka ia pasti tidak ateis. Begitu pula siapapun yang ateis, maka ia pasti tidak beragama.
Padahal, antara Agama dengan Tuhan tidak sama secara konseptual. Sebagaimana beberapa ahli mengatakan, bahwa Agama merupakan sebuah tuntunan agar hubungan manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkunganya, dan manusia dengan Tuhannya bisa terjadi. Keberadaan Agama dimungkinkan karena manusia belum mampu secara mandiri untuk mencapai hubungannya dengan Tuhan. Dengan begitu, maka konsep Tuhan itu sendiri tidak selau bergantung pada: Apakah seseorang sudah beragama atau tidak. Melainkan bagaimana seseorang mampu menuju Tuhan itu sendiri.
Dalam konteks yang lebih luas lagi, Agama juga tidak hanya terkonseptualisasi dalam bentuk tekstual saja (kitab suci). Sebab, jika Agama secara esensi adalah tuntunan, maka di dalam diri manusia itu sendiri pun selalu ada yang menuntun. Seperti halnya yang disebut oleh Rene Descartes sebagai innate ideas, yaitu bahwa manusia dengan kodratnya sebagai makhluk rasional, selalu memiliki kuriositas yang menuntunnya menuju kesempurnaan. Kendati manusia adalah makhluk yang terbatas, tetapi kesadaran menuju kesempurnaan itulah yang dalam Agama diandaikan sebagai hubungan manusia dengan Tuhan.
Ateisme Modern: Kenaifan atau Kemalasan?
Sepanjang perdebatan mengenai eksistensi Tuhan, aliran ateisme kiranya sudah menjadi materi pokok yang tak dapat dilepaskan. Membicarakan keberadaan Tuhan, maka juga sekaligus membicarakan bagaimana seseorang bisa sampai pada pemahaman tidak mengakui keberadaan Tuhan. Dan pernyataan itu yang hingga hari ini kebanyakan dipahami sebagai konsep dari ateisme.
Memang tidak ada yang salah dengan pemahaman tersebut. Mau melansir dari berbagai macam referensi pun pasti intinya sama, yaitu ateisme adalah paham yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Namun, jika di kontekstualisasikan di era modern sekarang, sepertinya ateisme tidak sebatas penegasian terhadap keberadaan Tuhan. Lebih dari itu, sebagaimana perkataan Friedrich Nietzsche, “Tuhan telah mati dan kita pembunuhnya”. Perkataan seorang filsuf martir itu bukan berarti mendukung paham ateisme. Kalau mau memahaminya lebih teliti, sebenarnya kala itu Nietzsche menyindir manusia-manusia modern, tidak terkecuali yang mengaku beragama, tapi justru kehilangan kesadaran untuk merasakan kehadiran Tuhan di setiap tindak-tanduknya.
Dalam konteks saat ini, sosial media bisa menjadi titik tolak untuk membedah sindiran dari Nietzsche. Data yang dikemukakan Kompas Tekno dari We Are Social secara jelas menyatakan bahwa 8 jam 52 menit adalah waktu yang cukup bombastis bagi manusia modern yang mayoritas mengaku beragama. Segala tindakan hidupnya, termasuk juga beribadah dan berdoa, tidak lepas dari postingan yang berharap bisa menarik like, komen, dan share. Demikian juga dengan aktivitas dakwah, kini nilai kemuliannya seakan hilang karena keberadaannya yang beriringan dengan niat komersial. Di manakah sisi otentik dari spiritualitas ketika yang diagung-agungkan adalah sensasionalitas dan popularitas?
Di titik ini, agaknya tepat perkataan seorang ahli filsafat, Fahruddin Faiz, yang menyatakan bahwa ateisme modern adalah orang yang menjalani kehidupan tanpa menyadari keberadaan Tuhan. Atau mungkin, dengan adanya kecanggihan teknologi, secara lebih spesifik bisa juga dikatakan bahwa paham ateisme melahirkan jenis baru lewat kenaifan dan/atau kemalasan mereka menjalani hidup sebagai manusia modern yang mengaku beragama.
Manusia Itu Selalu Kembali Menjadi Hamba
Dari uraian di atas, pembahasan eksistensi Tuhan dan ateisme tampak sangat kompleks jika dipahami secara denotatif. Tak bisa dipungkiri, topik antara eksistensi Tuhan dengan ateisme ini memang terkenal dengan sifatnya yang abstrak. Meskipun demikian, setidaknya ada dua hal yang bisa kita ambil sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual.
Pertama, sekalipun manusia beragama, ia pasti tidak bisa lepas dengan dunia materiel yang selalu menggiring pada pengistimewahan atas sesuatu yang dianggap sebagai sumber hidupnya. Itu adalah hal yang tidak bisa dihilangkan dengan adanya ‘nafsu’ sebagai kodratnya. Justru dengan adanya kelalaian tersebut, keyakinan atas keberadaan Tuhan akan semakin kuat jika kaum beragama sadar atas hal itu.
Kedua, sekalipun manusia ateis menolak pengakuan tentang keberadaan Tuhan, tapi sebagai makhluk yang terbatas, di beberapa situasi pasti ia akan bersandar pada Tuhan. Entah Tuhan yang dianggap adalah akal, handphone, buku, uang, ataupun Syurga, semuanya tetap berada pada yang disebut kesempurnaan. Manusia tidak akan pernah benar-benar tahu bagaimana sejatinya konsepsi Tuhan atau Tuhan itu sendiri. Yang diketahuinya selama ini hanyalah sesuatu yang dianggap sempurna dan dapat membuat dirinya bangkit menjalani kehidupan.