JIKA TUHAN MEMANG ADA, MENGAPA TUHAN TIDAK PERNAH MENAMPAKKAN DIRINYA?
Perdebatan keberadaan Tuhan telah menjadi pertanyaan filosofis dan religius yang telah diperdebatkan selama berabad-abad. Beragam jawaban dilontarkan baik dari agamawan, akademisi dan filsuf. Beberapa orang percaya bahwa Tuhan telah mengungkapkan dirinya melalui teks-teks agama, mukjizat, dan alam, sementara yang lain percaya bahwa Tuhan memilih untuk tidak mengungkapkan dirinya karena akan mengganggu kehendak bebas manusia. Namun, yang lain percaya bahwa Tuhan tidak ada.
Ketidakpercayaan pada Tuhan inilah yang nantinya akan memunculkan aliran ateis. Mereka mengaku tidak memercayai keberadaan Tuhan dan menolak keberadaan Tuhan. Padahal dalam kesehariannya manusia tidak bisa terlepas dari campur tangan Sang pencipta. Contoh kecilnya dapat kita rasakkan ketika kita dalam kesendirian. Ketika dalam ruang hampa yang kosong, ketika dalam masa tekanan kerjaan, pencarian diri, permasalahan hidup, lantas kepada siapa lagi kita berharap? kalau tidak kepada Sang pencipta.
Begitulah gambaran dari kehidupan manusia. Ketika kita berusaha mencari, menemukan jawaban, bekerja mati-matian, hasilnya selalu berujung pada ketidakpuasan dan hampa kekosongan. Disitulah manusia sadar bahwa sesungguhnya yang dicari adalah lebih dari sekadar materi. Disitulah seharusnya manusia sadar ternyata Tuhan sebegitu dekatnya dengan kita.
Keberadaan Tuhan memang menjadi persoalan fundamental bagi setiap orang. Keyakinan terhadap Tuhan menjadi fitrah yang sudah tertanam dalam otak manusia. Walaupun masih kita temui di beberapa kelompok orang yang melabeli dirinya sebagai ateis. Padahal di moment tertentu keberadaan Tuhan bisa dinalar dengan argument argumen kosmologis (penciptaan alam), ontologis (keberadaan, al-mawjudat), dan teleogis (tujuan penciptaan dan keteraraturan alam).
Kemudian mengapa Tuhan tidak pernah menunjukkan dirinya? Pertanyaan ini sebenarnya sudah pernah dijawab oleh khalifah sayyidina Ali karramallahu wajhahu ketika ada seorang lelaki bernama Dzi’lib al-Yamani bertanya kepada beliau. "Apakah engkau melihat tuhanmu?” Kemudian dijawab oleh sayyidina Ali, Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak aku lihat,"
Lalu, lelaki itu bertanya lagi bagaimana Anda melihatnya? Dijawab oleh sayyidina Ali “Dia takkan tercapai oleh penglihatan mata, tetapi oleh mata hati yang sarat hakikat keimanan. Dia dekat dari segalanya tanpa sentuhah. Dia yang Manunggal, telah melukiskan Diri-Nya Sendiri. Dia ada sebelum segala sesuatu tanpa permulaan. Dia tetap ada setelah segala sesuatu, dan selalu berada tanpa akhir. Dia terlampau amat Besar untuk membiarkan keilahian-Nya dibuktikan dengan hati atau mata”.
Hal ini kemudian di perkuat dalam buku Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa perbincangan tentang eksistensi Tuhan memang tidaklah mudah. Tidak ada bukti yang empiris dan faktual mengenai Tuhan. Ada pepatah mengatakan fides quaerens intellectum, iman membutuhkan pemahaman. Artinya adalah perdebatan eksistensi Tuhan akan terus diperbincangkan. Iman yang tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah iman yang rapuh.
Lalu, bagaimanakah dengan concern kita mengenai pertanyaan sulit ini? Apa makna dibalik ini semua? Trus, kalau misalnya Tuhan menunjukkan dirinya kemudian berbicara kepada Anda, apakah Anda akan langsung percaya? Memangnya seluruh manusia pasti beriman kepada Tuhan? Pasti percaya, gitu? Jawabannya tidak. Hal ini dapat kita lihat pada perjalanan hidup era Nabi Musa, Ya, raja fir’aun. Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan karena kekuasaan, kekuatan dan bisa sewenang-wenang saja kita tidak mengakui dia sebagai Tuhan.
Kemudian dalam panorama lain, ada patung yang gak bisa ngomong apa-apa sama manusia, bahkan kalau dipenggal lehernya dia tidak akan mampu menolong dirinya sendiripun kita tidak percaya dia itu Tuhan. Jadi asumsi pertanyaan di atas sering banget dijadikan dalih atas golongan ateis yang ingin menguji eksistensi Tuhan.
Dalam nash Al Quran surat al a’raf ayat 143 dijelaskan bagaimana proses Nabi Musa ketika bermunajat kepada Allah. “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau".
Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan”. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" (Q.S. Al A’raf ayat 143.
Bagaimanakah dengan pendapat Anda? Apa yang terlintas dipikiran Anda mengenai eksistensi Tuhan? Tuliskan jawaban Anda di kolom ya, Mari berdiskusi!