Fandom dalam "Terawang"
We are the hollow men
We are the stuffed men
(T.S Elliot)¹
.
Dua kawan lama, duduk berdekat-dekatan—begitu Nursjamsu mengawali ceritanya: Terawang.² Tulisan yang terbit jelang setahun kemerdekaan itu, memang seperti sebuah ramalan. Lihatlah kedua orang di dalam cerita, yang duduk pada lengang malam itu. Mereka hanya diam, membisu. Tenggelam pada mangu yang cukup lama. Sampai suatu saat, terdengar suara entah dari mana:
“Sudah lama kita tak berjumpa.” Siapa yang mengeluarkan perkataan itu? Aku atau dia?
Kita lalu dihadapkan pada suasana kebingungan yang begitu ganjil. Pertanyaan “Aku atau dia?” secara alegoris, seperti mencerminkan laku hidup manusia sekarang, yang terasing dari identitasnya sendiri. Toh, mana mungkin si empunya jiwa tak sadar jika ia telah berucap. Kecuali, dalam cakap itu, Aku dan Dia adalah sosok tanpa beda. Sepotong manusia tunggal yang sedang mengalami perjumpaan diri sendiri. Seperti melihat menembus cermin, namun yang muncul justru bayang yang lain: wajah asing yang tidak kita kenali.
Seperti itulah yang sedang dikerjakan oleh bahasa dan teknologi saat ini. Mereka membelah realitas menjadi nyata dan maya. Lalu memaksa kita menjejak keduanya dengan wajah yang berbeda. Kemudian, kita dihadapkan pada problem keberadaan: Siapa yang sesungguhnya autentik? Mana aku yang asli? “Aku atau dia?”
Kita, pada akhirnya, terjerembap pada sebuah ‘hiperealitas’, seperti yang disampaikan Jean Baudrillard.³ Karena manusia adalah spesies yang hendak mengatasi kematian dengan menduplikasi keabadian. Suatu ikhtiar maha dahsyat untuk membangun tiruan alam semesta yang mampu kita genggam: sebuah dunia virtual.
Kita saat ini tak perlu lagi berjabat tangan untuk bisa saling mengenal. Semua digantikan oleh tombol-tombol di layar genggam. Kita tak perlu lagi datang bersambang untuk bisa sekedar bercakap. Pesan-pesan, seperti anak panah yang tepat sasaran, mampu dipancarkan bagai seberkas sinar di lampu taman.
Kita mencipta dan bergantung pada dunia maya laksana cermin maha raksasa. Ia memenuhi kita dengan setumpuk simbol, seperangkat simulasi, dan hamparan imitasi, yang pada titik tertentu, “melebihi” dunia nyata yang kita tinggali. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah kematian. Bukan kematian tubuh fisik yang meninggalkan bangkai, akan tetapi kematian-simbolik. Kematian-yang-riil, kata Baudrillard: proses mati dan luruhnya yang-asli, sekaligus, lahir dan bertakhtanya yang-palsu.
~~
Dunia virtual, adalah bukti paling jelas, bahwa kita memang hendak mengubah dunia nyata seperti apa kita yang reka. Tapi masalahnya, bumi adalah bumi. Ia bukan surga. Dalam Terawang, Nursjamsu menulis:
..., kau tentu ‘kan mengerti bagaimana perasaanku melihat sisa taman bahagia yang dikoyak-koyak taufan. Menjerit dalam kalbuku: “Bunga, mana kelopakmu, mana sari, mana madumu...?” Di dalamnya tampak pula dua merpati yang tadinya berkasih-kasihan sedang bertengkar bercakar-cakaran.
Dunia, mau bagaimana pun, hanyalah rekahan-rekahan distopia. Di sana, setiap angan “taman bahagia” yang dibangun manusia, harus runtuh “dikoyak-koyak taufan” oleh kenyataan hidup yang tak kenal ampun. Hidup damai antar manusia bak “merpati yang bermesra-mesraan”, juga harus berakhir dengan perang berdarah dan selisih “bercakar-cakaran”. Namun kita, seperti kata Epicurus lebih dari dua ribu tahun yang lalu, selalu haus kenikmatan yang abadi; sebuah kelopak, sari, dan madu yang utuh. Hidup yang sesempurna mungkin. Tapi di bumi, kita selalu menjumpai apa yang senantiasa kita hindari: rasa sakit.
Maka tak sedikit, manusia berlari kabur, menghindar dari tempat awal mereka berpijak. Dan dengan lantang mereka berkata, “Ini bukan kenyataan sesungguhnya!” Lalu terjatuh ke bumi lain, kenyataan palsu yang mereka anggap sempurna: dalam alun cerita novel, dalam haru-bahagia film, dan dalam hal ini, juga pada imajinasi para penggemar terhadap idola mereka, dalam citra kehidupan yang dicerap dari dunia maya.
Karena memang, kita tak pernah penuh. Tak pernah utuh. Selalu ada lubang menganga lebar yang tak akan habis untuk ditutup. Dari sana, Jacquess Lacan, dengan psikoanalisisnya membangun gagasan. Bahwa manusia selalu kurang (lack), dan karenanya kita ‘menghasrati’ sesuatu.⁴ Andai, kita tak punya bergunung-gunung harta dan perhatian dari berjuta pasang mata. Ke-"tidak punya"-an itu, membuat diri kita berlubang. Seperti ada sekeping puzzle yang luput dan hilang. Tapi, ‘keping puzzle’ itu kita jumpai ada pada diri orang lain: pada selebriti. Karenanya, kita mengidolakannya. Begitu pun dengan cerita indah di dalam novel. Begitu pun pada karakter tokoh-tokoh film. Begitu pun di hal-hal yang lain.
Hasrat kita, menegasikan apa yang tidak kita punya. Maka dalam pengidolaan para fandom, ada sisi lain yang tersembunyi, lebih dari sekedar penikmatan estetis, lewat lirik lagu atau ritmis gerak tubuh. Tetapi, juga ada ‘keping-keping puzzle’ lain yang barangkali luput untuk disadari, sehingga mereka ‘menghasrati’ sang idola, lebih dari sekedar menyukai karyanya. Namun, hal itu hanya bisa dijawab oleh ‘alam bawah sadar’ sang penggemar sendiri.
~~
Tentu, tidak ada yang rela, istana pasir yang dibangun megah harus hancur diterjang gelombang. Siapa pula yang sudi terbangun dari mimpi indah di tengah malam untuk terjerembap ke dalam banalitas kehidupan. Dalam Terawang, Nursjamsu jeli menulis:
Patung puteri jelita telah jatuh tertelungkup. Hancur luluh badan dan paras yang elok! Seniman muda kehilangan akal melompat merenggutkan cemeti dari dinding, menyerbu keluar mencari musuh yang menjatuhkan patung angan-angannya itu.
Tiba-tiba kedengaran suara nenek petapa dekatku; “Salahmu sendiri seniman muda. Tak ada yang menjatuhkan patungmu. Buatannya yang salah, ciptaannya berat ke atas! Sekarang kau mengembara mencari musuh? Akan kau dera, akan kau lecut? Kau sendiri yang merasai sakitnya dera, kau sendiri yang merasai pedihnya lecut. Memang kau sendiri musuh yang dicari...”
Sang Patung sejatinya adalah hasrat. Sebuah angan kemustahilan yang tak pernah kehabisan harap. Dan tanpa kita sadari, kita adalah seniman yang memahat patung angan-angan itu.
Jika Sang Patung mewujud dalam “persona”, maka kita akan menambatkan identitas diri kita kepada apa yang kita puja. Dengan kata lain, kita menemui diri-yang-tak-terengkuh ada pada diri orang/benda/identitas yang kita idolai/hasrati. Maka, jika ada yang melukai “sang patung”, sehingga membuatnya ”hancur luluh badan dan parasnya yang elok", maka kita pun turut terluka karenanya. Oleh sebab itu, kita turut terhina jika instansi tempat kita ikut di dalamnya sedang dihina. Kita tersulut murka jika klub sepak bola kesayangan kita dikalahkan lawan tandingnya. Kita turut kecewa jika sang idola melakukan apa yang tidak kita suka. Kita turut, seolah yang diturut, adalah diri sendiri.
Namun, jika Sang Patung mewujud dalam “suasana”, sebuah adegan indah dalam teater kehidupan yang kita tak sekali pun sanggup menjadi pemerannya, maka kita seperti membentangkan peta maha raksasa yang sangat detail, dalam pengandaian Jorge Luis Borges. Peta yang menutup keseluruhan permukaan dunia. Lalu dengan yakin, kita menganggap peta itulah dunia asli kita.
Maka lihatlah para penggemar berat. Idola mereka hadir begitu nyata bak jatuh dari ketinggian surga. Lalu mereka menjemputnya dalam batas angan, mencipta dunia sendiri yang dikarang dalam mimpi, dengan menanggalkan segala kehidupan nyata yang hanya berisi kekecewaan tiada henti. Seperti mereka yang menganggap bersuamikan sang idola. Lalu bertengkar, hanya karena punya klaim yang sama.
Kita bisa sedikit mengetahui, bahwa para penggemar berat, dan mereka yang terjebak pada angan-angan khayali dengan sang idola, adalah mereka yang kecewa dengan dunia. Ada jeda yang terbentang panjang antara yang-sebenarnya (das sein) dan yang-seharusnya (das sollen) yang tumbuh dalam benak mereka. Sehingga mereka menciptakan swa-nirwana yang indah dengan berangan. Karena hanya dengan angan-angan saja, manusia mampu merengkuh yang mustahil ada.
Namun, disitu letak masalahnya. Kesempurnaan angan-angan yang dibangun selalu mengandung keretakan yang niscaya: ia tidak pernah nyata. Dan mau tidak mau, kita semua harus menenggak pil pahit tersebut.
~~~
Apakah ada jalan keluar yang ditawarkan dalam Terawang?
Di akhir cerita, dalam bingung luar biasa setelah tahu keadaan asli dunia, sang nenek petapa memberi petuah kepada tokoh utama yang tanpa nama:
“Anakku bertanya mengapa? Mengapa dunia sekejam itu? Mengapa tak ada yang kekal, mengapa tak ada yang tetap? Sekarang anakku mengutuk, enggan pulang kembali?
Ketahuilah anakku, ada yang tetap, ada yang kekal. Yang tetap ialah yang tak tetap, yang kekal ialah yang tak kekal. Di taman bahagiamu tumbuh-tumbuhan akan bertunas menghijau pula kembali. Percayalah anakku, sesudah gelap akan datang terang. Janganlah mengutuk meratap bila sesudah terang datang gelap.”
Si Nenek Petapa, seolah ingin berkata, bahwa kekecewaan akan terkikis, ketika kita menjadi realistis, dalam memandang realitas.
Karena dunia memang kacau. Saling silang sengkarut. Saling bunuh untuk sekedar hidup, atau lumat dimakan maut. Bellum omnium contra omnes, kata Thomas Hobes. Senantiasa penuh dengan peluh dan weluh⁵. Tanpa tujuan dan akhir yang pasti. Pada akhirnya, kita terjebak pada banalitas kehidupan seperti yang dialami oleh Sysiphus: terkutuk mendorong batu ke puncak gunung, hanya demi melihatnya menggelinding kembali. Dan diulangi lagi. Dan menggelinding lagi. Begitu terus.
Kita adalah Sysiphus itu, dan begitulah kita terlempar pada dunia. Tetapi, kita dituntut untuk menikmati proses itu tiada henti. Seperti kata Albert Camus, “One must imagine Sysiphus happy”.⁶
__________________________
1) Diambil dari dua larik pertama sajak T.S. Elliot yang terkenal, The Hollow Men. Puisi ini seperti menggambarkan kehampaan manusia yang meraba-raba makna hidup yang terkesan tidak ada. Kebingungan dan putus asa yang ganjil; “This is the dead land/ This is cactus land/ Here the stone images”. Penuh dengan paradox; “Shape without form, shade without colour,/ Paralysed force, gesture without motion”. Kelam, gelap, sunyi yang pekat; “This is the way the world ends/ This is the way the world ends/ This is the way the world ends/ Not with a bang but with a whimper”.
2) Naskah Terawang ditulis oleh Nursjamsu pada 14 September 1943, dan diterbitkan oleh majalah Noesantara pada 20 Maret 1946. Lihat: Jassin, Hans Baggue. 1969. Gema Tanah Air. Pustaka Jaya; Bandung.
3) Lihat: Baudrillard, Jean. 2000. Ilusi Vital. Terj. Nur, Sushela M. 2021. BASABASI; Jogjakarta.
4) Pada tahapan simbolik, Lacan menjelaskan bagaimana rantai bahasa mampu menjahit subjek melalui point de capiton, dan membangun hasrat yang tak pernah bisa terpenuhi; $ ∆ objet etit “a”. Lihat: Lukman, Lisa. 2011. Proses Pembentukan Subjek. Kanisius; Jogjakarta.
5) “weluh” dalam bahasa Jawa adalah tangis air mata.
6) Lihat: Camus, Albert. 1942. Mitos Sisifus. Terj. Setiawan, David. 2020. Circa; Jogjakarta