Bagaimana mencari Eksistensi Tuhan Dalam Kesadaran Manusia
Barat telah menjadi acuan bagi ilmu pengetahuan di dunia. Bagi barat akal budi manusia menjadi instrumen sentral dalam menyelami realitas. Mereka mengklaim kemajuan ini adalah akibat dari paradigma positivisme yang merupakan roh dari modernitas. Positivisme adalah filsafat yang berorientasi pada pengetahuan atas pengalaman nyata. Pengetahuan yang hanya diperoleh harus melalui pendekatan ilmiah. Ciri dari positivisme antara lain teratur, terukur, kuantitatif, empiris dan rasional. Teknokrat dan ilmuwan sains senantiasa berpegang teguh pada paradigma ini.
Dalam tradisi pemikiran barat yang kental akan positivisme, kesadaran merupakan hal yang seringkali mendapat perhatian dari banyak peneliti. Namun pengertian akan kesadaran dari para tokoh pemikir dan psikolog barat amat sangat beragam. Kaum behavioralis memandang bahwa kesadaran manusia tidak lain hanyalah kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan, seperti yang sering digaungkan oleh para penganut empirisme yang menjadikan pengalaman sebagai pusat kesadaran. Berbeda dengan hal tersebut, kaum kognitivisme menekankan aspek kognitif dalam kesadarannya. Dalam aliran filsafat, aliran ini sejalan dengan pemikiran rasionalisme.
Titik tolak dari acuan kebenarannya bahwa segalanya harus terukur, empirik (terlihat jelas), logis dan menolak sesuatu yang sifatnya metafisis. Dalam psikologi misalnya, kaum psikologi modern meyakini bahwa perasaan dan emosi yang berpengaruh pada kesadaran manusia. Kesadaran manusia terjadi karena reaksi kimia dan fisika dalam jaringan saraf di otak. Kesadaran pun dapat direkayasa dengan berbagai intervensi medis. Hal ini bukan berarti tanpa masalah. Pada kenyataannya banyak obat dan bahan kimia yang sengaja dibuat untuk mengatur kondisi tertentu emosi manusia, yang berujung pada kecanduan bahkan kerusakan saraf.
Banyak manusia modern mengeluhkan bahwa dirinya seperti robot yang dipekerjakan. Mereka mendapatkan kebahagiaan tapi hanya sesaat saja. Manusia modern telah kehilangan makna dalam kehidupannya. Manusia yang pada hakikatnya makhluk yang mempunyai jiwa diperlakukan seperti mesin. Kesadaran manusia dimaknai bagaimana dia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini dikarenakan paradigma positivistis telah mencabut hal yang sifatnya esensial dalam kehidupan manusia yaitu aspek Ketuhanan yang memang tidak bisa dirasakan secara empirik dan menggunakan rasionalitas biasa.
Tuhan adalah sesuatu yang sifatnya supra-rasional sehingga perlu pemikiran yang mendalam tentangNya. Dia tidak bisa didefinisikan dengan logika manusia biasa. Kesadaran manusia untuk bertuhan adalah hal yang sifatnya alamiah. Karena tidak ada yang terjadi dengan tiba-tiba di alam semesta ini. Segala sesuatu pasti ada sebabnya, dan Tuhanlah penyebab segala sesuatu. Begitu juga bila segalanya telah terjadi, pasti keteraturan alam semesta ini ada yang mengendalikan, dan yang mengatur tidak lain adalah Tuhan.
Manusia dalam bertindak selalu dipengaruhi oleh kesadaran. Tidak hanya itu kesadaran juga akan menjadi penggerak dalam setiap aktivitas manusia. Kesadaran untuk bertuhan diklaim pangkal dari kebahagiaan seutuhnya. Inilah yang diabaikan oleh paradigma positivistis, karena Tuhan menurut mereka tidak empirik dan sifatnya metafisis oleh karena itu hal semacam ini diabaikan bahkan dihilangkan. Untuk menjawab permasalahan tentang kesadaran Bertuhan perlu instrumen lain untuk dapat mendapat kesadaran Ketuhanan, yaitu intuisi.
Tentunya intuisi pun tidak lepas dari kritik rasionalitas. Kebenaran yang diperoleh melalui proses intuisi memang tidak sistematis seperti pada kebenaran rasional. Oleh karena itu validitas intuisi masih diperdebatkan di kancah ilmu pengetahuan. Diperdebatkannya intuisi ini tidak menutup kemungkinan bahwa intuisi tetap dapat menjadi alat epistemologis untuk memperoleh kebenaran.
Banyak hal yang tidak semua terjawab menggunakan rasio, bahkan teori pun dapat lahir dari proses intuisi. Archimedes seorang pemikir Yunani pra modern tidak sengaja menemukan teorinya ketika dia sedang mandi di kamar. Rumus matematikanya digunakan sampai sekarang. Isaac Newton pun menemukan teori tentang hukum gravitasi juga tanpa sengaja ketika sedang duduk di bawah pohon apel. Intuisi membuka kebenaran selanjutnya rasionalitas mendefinisikannya.
Setidaknya dalam menerapkan intuisi ada dua macam pendekatan kesadaran untuk mencari eksistensi Tuhan. Yang pertama adalah kesadaran mistik dan yang kedua adalah kesadaran profetis. Kesadaran mistik adalah kesadaran yang melarutkan manusia dalam cakrawala kehidupan. Mistisisme berbicara tentang penghilangan diri seseorang secara total atau penafian diri secara menyeluruh. Tujuan kesadaran mistik adalah membuat kesadaran individu “bersatu” dengan Tuhan. Kesadaran ini mengasingkan diri manusia dari eksistensinya sendiri bahkan realitas di sekitarnya.
Pengalaman mistik cenderung menghilangkan manusia pada eksistensinya. Dia akan melebur pada realitas bahkan menganggap dirinya tidak ada. Di titik tertentu hal ini berbahaya untuk manusia. Karena dia akan kehilangan produktivitasnya sebagai manusia, hanya untuk pencarian terhadap Tuhan. Fungsi manusia sebagai makhluk kreatif akan tereduksi.
Oleh karena itu tahap menuju eksistensi Tuhan tidak cukup pada kesadaran mistis, melainkan harus berlanjut pada yang disebut sebagai kesadaran profetis. Kesadaran profetis adalah kesadaran manusia untuk menentukan arah sejarahnya. Kesadaran yang mampu membaca realitas sekitar dan memberikan alternatif solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada. Kesadaran profetis sebagai sebuah proses konstruksi kehidupan yang terus-menerus bergerak, di mana manusia dituntut untuk terlibat aktif dalam proses sejarah. Dengan keterlibatan manusia sebagai agen sejarah ini mengantarkannya pada penemuan pada “Eksistensi Ketuhanan” pada semesta.
Proses pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara konsisten dengan ketinggian martabat pribadi. Jiwa-jiwa tersebut senantiasa bergerak mencapai kesempurnaan pribadi. Tuhan tidak dapat diperoleh dengan meminta-minta semata. Pada saat manusia menemukan Tuhan, manusia tidak boleh “terserap” pada Tuhan, melainkan manusialah yang harus “menyerap” sifat-sifatNya kedalam pribadi tersebut. Dengan menyerap Tuhan kedalam dirinya, tumbuhlah kesadaran. Maka pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan.