Optimalisasi Pajak Wujudkan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus
“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan” - Tan Malaka.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan secara implisit bahwa pendidikan merupakan sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan yang berkualitas merupakan kunci generasi emas 2045 yang sedari dulu telah digaungkan oleh tokoh-tokoh ternama di Indonesia, upaya pemerataan pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah guna mencapai tujuan tersebut.
Setiap anak memiliki hak yang sama dalam mengenyam bangku pendidikan tak terkecuali anak dengan kebutuhan khusus (ABK), Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Itu artinya setiap anak, baik mereka normal maupun berkebutuhan khusus mempunyai akses pendidikan yang sama. Sayangnya, tak semua anak berkebutuhan khusus mendapatkannya secara adil. Data statistik yang disajikan Kemenko PMK Juni 2022 silam menyatakan sekitar 3,3% atau 2.197.833 anak berusia 5-19 tahun merupakan berkebutuhan khusus/penyandang disabilitas, namun hanya 269.398 anak yang mendapat pendidikan jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif dilansir dari Kemendikbud Ristek per Agustus 2021, itu artinya baru 12.26% anak yang mengenyam pendidikan formal padahal jumlah ABK di Indonesia tiap tahunnya terus meningkat.
Berbagai tantangan dihadapi oleh pemerintah Indonesia khususnya dalam mengatasi pemerataan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), diantaranya kurangnya tenaga pengajar/guru profesional yang dapat memahami pola pengajaran pada anak berkebutuhan khusus sehingga hal ini menyebabkan mereka mengalami kesulitan ketika beradaptasi dengan lingkungan sekolah formal pada umumnya. Lalu, kurangnya fasilitas berupa sarana dan prasarana yang menunjang mobilitas mereka dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan kondisi yang mereka alami seperti alat bantu dengar, buku timbul dengan huruf braille, serta masih banyak lagi. Selain itu, kurangnya kemampuan ekonomi keluarga juga menjadi penyebab mengapa tidak semua ABK mendapat pendidikan inklusif secara menyeluruh sehingga mereka hanya pasrah dan mengandalkan pendidikan dari rumah melalui orang tua saja, padahal jika ABK diberikan dukungan dan wadah yang tepat ini sangat memungkinkan bagi mereka untuk mencapai potensi maksimalnya. Terakhir, permasalahan ini bukan hanya milik pemerintah atau keluarga ABK yang bersangkutan, namun diperlukan juga dukungan dan kontribusi dari masyarakat secara menyeluruh guna mengatasinya.
Salah satu kontribusi tepat yang bisa dilakukan masyarakat adalah melalui pajak, merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung serta digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pendapatan pajak memiliki peranan penting dalam mendongkrak kualitas pendidikan inklusif bagi ABK di Indonesia. Terutama anggaran pendidikan sendiri merupakan salah satu kategori mandatory spending atau pengeluaran yang telah diatur undang-undang yaitu Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003. Peraturan ini menetapkan alokasi anggaran pendidikan setidaknya 20 persen dari APBN dan APBD, pada tahun 2024 ini APBN sektor pendidikan menempati urutan pertama dalam 7 sektor prioritas yakni sebesar Rp 665 triliun, angka ini terbilang cukup besar untuk menopang kualitas pendidikan. Sebagian besar dana APBN berasal dari penerimaan pajak, dilansir laman DJKN Kemenkeu, pendapatan negara tahun 2024 diestimasi sebesar Rp2.802,3 triliun dengan penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun.
Besarnya pembiayaan pendidikan dari pajak ini bermanfaat dalam hal menyediakan tenaga pengajar ABK berkualitas melalui workshop maupun pelatihan pengajaran ABK sehingga mereka dibekali pemahaman mengenai pola pengajaran ABK itu sendiri, penyediaan fasilitas berupa sarana prasarana penunjang juga dapat terjamin dengan anggaran yang terstruktur, hal tersebut akan memudahkan siswa dengan kebutuhan khusus mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik, tidak hanya itu pembiayaan dari pajak juga dapat digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan melalui pembangunan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus yang berada di daerah 3T (Terdalam, Terluar, Tertinggal). Terakhir, pajak juga membantu dalam penyelenggaraan beasiswa bagi ABK, seperti beasiswa bantuan pendidikan maupun bantuan hidup layaknya KIP/PIP yang diberikan oleh pemerintah kepada mahasiswa sehingga tidak ada lagi anak berkebutuhan khusus kurang mampu yang tidak bisa mengenyam bangku pendidikan karena keterbatasan pendidikan. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan perpajakan bagi sektor swasta yang turut berkontribusi bagi sistem pendidikan inklusif, kebijakan seperti pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020, dimana pemerintah memberi kesempatan pada badan/lembaga agar menginvestasikan kembali sisa lebih yang diterimanya paling lama empat tahun sejak diterima/diperoleh. Oleh karena itu, dengan peranan pajak melalui regulasi pemerintah, bantuan masyarakat, serta sektor swasta pasti akan membawa pendidikan Indonesia ke arah inklusi berkualitas, terarah, berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.