UPAYA MENELISIK EKSISTENSI TUHAN LEWAT FILSAFAT KETUHANAN

profile picture ekyzupaldry
Humaniora - Other

PENDAHULUAN

Eksistensi Tuhan adalah salah satu ranah penyelidikan filsafat. Mungkin terdengar seperti ungkapan sombong, tetapi kenyataannya ini justru ingin menunjukkan bahwa iman belum utuh jika tidak disertai dengan nalar (Magnis-Suseno, 2006, p. 12). Filsafat melakukan pendekatan rasional terhadap Sacred Theology (Teologi Suci) yang dewasa ini disebut “Teologi” saja. Hal ini membuat filsafat tersebut atau istilah lengkapnya “Filsafat Ketuhanan” (Phylosophy of God) disebut juga sebagai Natural Theology (Teologi Natural) (Bertens et al., 2022, p. 79). Mengapa harus ada filsafat untuk menjelaskan eksistensi Tuhan? Tidak cukupkah hanya teologi saja? 

Filsafat diperlukan untuk mempertanggungjawabkan iman secara rasional, kritis, sistematis, dan komprehensif. Sebagai orang beragama, keimanan diri sendiri atau orang lain perlu dipertanyakan agar kita betul-betul menghayatinya, tidak hanya sekadar teori, tetapi juga praktik. Hal ini juga akan membuat kita tidak bersikap fanatik terhadap ajaran dari kepercayaan atau agama tertentu dan menyampingkan ajaran dari kepercayaan atau agama lainnya. Selain itu, kita juga harus berusaha untuk menjelaskan keimanan kepada orang lain yang tidak percaya Tuhan (ateis) serta yang menganggap ada atau tidaknya Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui (agnostik). Teologi bersumber dari iman dan wahyu, sehingga tentu saja mereka tidak akan menerima pernyataan berdasarkan kitab suci. Orang-orang yang beragamalah yang bisa memahaminya, sementara mereka butuh jawaban yang rasional. Hal ini tidak menonjolkan kita seolah-olah lebih hebat dari mereka, melainkan mencoba menyampaikan bahwa kita berada di posisi yang berbeda dengan mereka. Oleh karena itu, tanggung jawab kita adalah mencoba menjawabnya dan dengan demikan mengungkapkan bahwa eksistensi Tuhan sangat masuk akal.

PEMBAHASAN

Keheranan dan Kesangsian yang Menimbulkan Pertanyaan

Manusia adalah makhluk yang memiliki rasional. Hal ini membuat manusia menjadi makhluk yang bisa heran terhadap fenomena-fenomena di sekitarnya, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sejak dahulu, keheranan tersebut membuat kita berpikir dan menghasilkan pertanyaan. Keberadaan manusia itu sendiri, keteraturan alam semesta, keunikan masing-masing makhluk hidup, dan banyak hal lainnya membuat manusia heran dan bertanya: bagaimana semua ini bisa ada? Adakah yang menciptakannya? Jika ada, siapakah pencipta tersebut? Pencarian akan jawaban ini mengantar manusia kepada pemahaman bahwa ada sosok Ilahi yang menciptakan semuanya. Pemahaman ini telah ada jauh sebelum “agama-agama besar” sekarang ini berkembang. Kini dalam bahasa agama, kita menyebut sosok Ilahi tersebut dengan kata “Tuhan”.

Seiring berkembangnya zaman, banyak hal yang awalnya tidak masuk akal atau supranatural menjadi sesuatu yang biasa. Terdapat begitu banyak penemuan-penemuan teori dan alat-alat canggih yang menjawab persoalan-persoalan manusia yang dulunya dianggap “hanya Tuhan yang tahu”. Ada pula beragam pertanyaan yang sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan: jika Tuhan itu ada, mengapa masih ada kejahatan di dunia? Di mana Tuhan saat banyak orang menderita? Penemuan-penemuan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan kesangsian di antara kita: benarkah Tuhan itu ada? Dalam cara yang lebih radikal, terdapat filsuf-filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Misalnya, Ludwig Feurbach yang menyebutkan agama adalah hasil proyeksi manusia, Friedrich Nietzsche yang dikenal sebagai “sang pembunuh Tuhan”. Lalu, ada pula Karl Marx yang menyebutkan bahwa agama bagi banyak orang kebanyakan sekadar “menjadi candu”, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Namun, perlu dipahami juga bahwa mereka bukan hanya sekadar tidak percaya Tuhan dan mempersalahkan orang yang percaya-Nya. Mereka ingin mengkritik sikap yang salah dari orang-orang yang beragama. Kehidupan yang tidak sesuai dengan isi kitab suci yang dipercayai orang-orang beragama. Alasan-alasan ini membuat manusia sangsi akan eksistensi Tuhan yang ditandai dengan ungkapan “jangan-jangan Tuhan itu…”.

Jalan-Jalan Menuju Tuhan

Kesangsian manusia menuntut adanya bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. Manusia bertanya: adakah jalan-jalan menuju Tuhan dalam artian pembuktian ilimiah bahwa Dia bereksistensi? Manusia ingin mengerti Tuhan dengan rasional, tidak hanya menerima-Nya secara iman.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Thomas Aquinas menjadi tokoh yang berperan besar. Dia mengemukakan argumen kosmologis. Argumen yang paling mudah dipahami adalah prinsip sebab-akibat. Umpamanya, seorang anak ada akibat ayah-ibunya, ayah-ibunya ada akibat kakek-neneknya, dst. Akan tetapi, tidak mungkin terjadi rangkaian sebab-akibat yang tak terhingga. Pasti ada penyebab mutlak yang tidak disebabkan oleh penyebab lainnya. Itulah yang kita sebut Tuhan. Lalu, ada pula argumen teleologis. Pertama-tama, dapat dipastikan bahwa alam semesta diciptakan dengan keteraturan yang sedemikian rupa, bahkan sains juga mengafirmasi hal ini. Kesimpulannya, alam semesta diciptakan dengan suatu tujuan. Jika demikian, maka pastilah ada yang menciptakannya. Sosok yang menciptakan tersebut mestilah memiliki akal budi yang tak tebatas, mengingat kompleksitas dari alam semesta ini. Pencipta tersebut kita kenal sebagai Tuhan. Terdapat pula argumen suara hati oleh J. H. Newman. Dia berkata bahwa tiap-tiap orang mempunyai suara hati yang mendiktekan baik atau buruknya suatu perbuatan. Lalu, dari mana asalnya suara hati tersebut? Mestilah dari kebenaran mutlak yang tidak pernah salah, yaitu Tuhan. (Huijbers, 1992, pp. 115–134).

Ada banyak lagi bukti-bukti yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada. Namun, bila dipaparkan semuanya di sini, maka agaknya tulisan ini akan menjadi sangat panjang. Daftar pustaka dari artikel ini dapat dijadikan pembaca sebagai referensi untuk mengetahuinya lebih lanjut.

Transendensi dan Imanensi

“Allah adalah suatu wujud yang demikian luhur, sehingga tak dapat dipikirkan suatu wujud yang lebih luhur”. Argumen ini adalah argumen ontologis dari Anselmus. Kalimatnya terdengar sederhana, tetapi mempreteli logika berpikir. Kita dapat mengetahui bahwa Tuhan itu transenden (berada di luar kemampuan manusia). Dapat dikatakan pula bahwa “Manusia hanya dapat memikirkan apa yang ‘ada’, bukan apa yang ‘tidak ada’. Bila demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Tuhan itu ada, sebab manusia bisa memikirkannya”. Namun, kedua ungkapan ini dapat dikritik sebagai argumen yang enigmatik (teka-teki, misterius) atau argumen yang bermain dengan retorika belaka. Lagi pula, argumen Anselmus juga dapat dipertanyakan: jika Tuhan Transenden, bagaimana mungkin manusia bisa mengenal Tuhan yang seperti itu? David Hume berpendapat kalau pembuktian akan eksistensi Tuhan tidak dapat dilakukan secara apriori. Lalu, Bertrand Russell menyatakan kalau esensi seseorang (Tuhan) bisa saja dideskripsikan, tetapi eksistensinya (eksistensi Tuhan) tentu masih bisa dipertanyakan. Thomas Aquinas yang juga beragama Katolik pun tidak membuatnya serta merta langsung setuju dengan pendapat Anselmus. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa dalam berfilsafat pun tidak mesti setuju dengan pendapat orang yang seagama. Inilah yang disebutkan di awal bahwa filsafat membantu umat beragama untuk mengungkapkan keimanannya dengan rasional. Diungkapkan dengan rasional, tetapi juga ada unsur keimanan yang bersifat personal di dalamnya. Aquinas menolak argumen Anselmus tersebut, sebab menurutnya manusia tidak dapat mengetahui bagaimana sifat Tuhan. Aquinas juga mengemukakan argumen ontologis yang berbeda dari Anselmus.

 Pada tahap ini, kritik-kritik tersebut dapat kita jawab dengan pernyataan bahwa Tuhan tidak hanya transenden, tetapi juga sekaligus Tuhan yang imanen (berada dalam kesadaran manusia). Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, manusia sudah bertanya tentang eksistensi Tuhan sejak dahulu, bukan baru-baru ini saja. Itulah mengapa, kita dapat mengajukan proposisi bahwa Tuhan memang betul ada dalam kesadaran manusia. Meskipun demikian, manusia tidak akan pernah memahami Tuhan sepenuhnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan kalau transendensi dan imanensi saling melengkapi dan mengisi celah pikiran manusia dalam menghayati eksistensi Tuhan.

PENUTUP

Eksistensi Tuhan adalah sebuah diskursus yang tidak akan pernah berujung. Memuat semua perspektif dalam satu artikel saja adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Oleh karena itu, para pembaca disarankan untuk mencari literatur-literatur terkait lainnya. Bisa juga melihat rujukan (daftar pustaka) dari artikel ini.

Kita tidak bisa melihat Tuhan secara kasatmata, tetapi kita bisa menalar-Nya. Inilah yang juga dicoba diungkapkan oleh Magnis Suseno dalam karangannya (Magnis-Suseno, 2006). Iman mestilah diwacanakan dengan bahasa yang umum, tidak hanya terkait oleh satu kepercayaan atau agama saja. Baik adanya jika kita mampu menjelaskan keimanan dengan Teologi. Namun, ambil juga penawaran dari filsafat untuk tetap berpikir waras dan rasional, sebab apa pun ilmunya, pasti fundamentalnya adalah filsafat. Perkataan dari Anselmus: Fides Quaerens Intellectum (iman mencari pengertian) mengingatkan kita agar menghayati keimanan dengan mencari pengertian-pengertian yang memperluas cakrawala pemahaman akan eksistensi Tuhan. Dengan demikian, Tuhan tidaklah hasil proyeksi manusia. Dia benar-benar bereksistensi.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., Ohoitimur, J., & Dua, M. (2022). Pengantar Filsafat (5th ed.). Penerbit PT Kanisius.

Huijbers, T. (1992). Mencari Allah: Pengantar ke dalam filsafat ketuhanan (Cet. 1). Penerbit Kanisius.

Magnis-Suseno, F. (2006). Menalar Tuhan. Penerbit Kanisius.

2 Agree 1 opinion
1 Disagree 0 opinions
2
1
profile picture

Written By ekyzupaldry

Saya senang membaca, menulis, bermain alat musik, dan membuat program-program web sederhana.

This statement referred from