Tuhan, Harapan dan Manusia Sebagai “Atlas yang Bahagia”
Berbicara tentang eksistensi Tuhan tidak akan lepas pada bagaimana perspektif manusia dalam memahaminya. “Existence precedes essence"[1], eksistensi Tuhan hanya akan dapat ditangkap melalui eksistensi manusia. Karena eksistensi yang dimaksud Sartre adalah pure manusiawi, dan hanya manusialah yang dapat memahami Tuhan. Walaupun pada akhirnya Tuhan itu sendiri tidak dapat ditangkap melalui indera manusia dan segala upaya manusia untuk membuktikan keberadaannya. Satu hal yang pasti manusia tahu, bahwa mereka masih membutuhkan Tuhan. Hal tersebut menjadikan kita patut mempertimbangkan perkataan berani Nietzsche bahwa Tuhan telah mati dan kitalah yang membunuhnya.[2]
Pernyataan berani Nietzsche tidak harus serta-merta kita hakimi. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa manusia menjadi makhluk pemberi makna di dunia ini. Manusia terlempar ke dunia, dalam antah berantah duniawi yang absurd.[3] Kebutuhan akan pemaknaan hidup atau yang biasa disebut sebagai esensi menjadikan manusia membutuhkan Tuhan. Tetapi dewasa ini, justru membuktikan bahwa pemaknaan Nietzsche tentang terbunuhnya Tuhan itu adalah benar. Manusia lupa bahwa secara eksistensi ia lemah, dan membutuhkan semacam matahari-matahari baru pengganti Tuhan untuk menggantikan tempatnya bersandar, di dunia yang penuh derita, penuh ketidakpastian dan penuh kenestapaan.
Sebenci apapun kaum intelektual terhadap Tuhan, mereka tetap berharap terhadap matahari-matahari baru. Matahari-matahari baru yang menjadi tempat bersandar manusia dewasa ini seringkali pada akhirnya patut untuk disebut agama baru, agama humanisme. Manusia dan keegoisannya menjadi sebuah pohon rimbun, tempat berteduh bagi manusia-manusia tak bertuhan. Kegelisahan yang mereka rasakan sama, bahkan lebih. Bahwa kematian, setidaknya untuk saat ini belumlah dapat dihindarkan. Dan pengalaman yang sangat pribadi itu menjadi bukti nyata ketidakmampuan manusia lepas dari idea fixes, atau ide permanen tentang yang Maha. Sehingga Tuhan bukan hanya dapat dipahami sebagai sebuah eksistensi maha kuasa yang mengatur dunia beserta isinya, yang harus disembah dan tidak disekutukan. Tetapi Tuhan juga menjadi semacam harapan satu-satunya bagi tatanan sosial saat ini, dan kemanusiaan itu sendiri untuk tidak roboh, runtuh dan hancur tak bersisa.
Seperti yang diceritakan Graves dalam The Greek Myths bahwa Atlas, seorang anak dari titan bernama Lapetus dan dewi laut bernama Clymene. Atlas sebagai keturunan Titan pun membela ayah dan keluarganya dalam peperangan Titan melawan Olympians. Kekalahan Titan sangat jelas di depan mata, dan singkat cerita Olympians yang dipimpin oleh Zeus memenangkan perang. Atlas sebagai tahanan Zeus pada akhirnya dihukum untuk menahan langit selama-lamanya. Namanya disematkan pada deretan pegunungan di daratan Afrika Utara. Masyarakat yunani kuno percaya bahwa langit tidak jatuh akibat Atlas yang menahan langit di pundaknya[4]
Mitos tentang Atlas bagaikan sebuah ciri kehidupan manusia yang begitu absurd. Atlas dilahirkan dan dibesarkan di keluarga Titan, menjadikan secara sepihak ia harus ikut dalam peperangan dan membela Titan. Manusia pun demikian, tanpa kemauan dan kesadaran ia dilahirkan di dunia. Sartre mengatakan bahwa manusia terlempar ke dunia tanpa alasan, dan manusia terkutuk bebas.[5] Manusia pada akhirnya memberikan makna kepada dunia, hal itu akibat kekosongan makna yang ia dapatkan setelah lahir ke dunia. Kembali lagi, Atlas pada akhirnya tertangkap dan dihukum oleh Zeus. Diibaratkan manusia yang pada akhirnya harus mengalah terhadap kematian, dan menyadari di detik-detik terakhirnya, bahwa hidup ini sungguhlah absurd, nihil dan hampa. Atlas yang terus menahan langit, harus digambarkan bahwa ia tersenyum bahagia dan tidak murung. Seperti itulah kehidupan manusia saat ini, yang senantiasa membutuhkan idea fixes sebagai dasar makna untuk mengisi dunia yang nihil makna.
Atlas yang tersenyum dan bahagia menggambarkan bahwa sekalipun kehidupan dunia ini absurd, penuh nestapa dan ketidakpastian. Walaupun ketidakpastian akan Tuhan begitu mengganggu dan membuat hati gelisah. Hanya harapan itulah yang dapat terus menggerakan manusia. Menjadi sebuah harapan vital manusia bahwa keberadaan Tuhan ada, segala kasih sayang Tuhan itu ada, dan pertolongan Tuhan ada. Menjadikan pemaknaan manusia terhadap realitas yang begitu menyayat hati, menyakitkan dan seringkali mengecewakan tidak sia-sia. Harapan akan keberadaan Tuhan itu yang dijadikan oleh penulis sebuah analogi, bahwa Atlas, yang memikul langit dengan pundaknya, tersenyum bahagia.
Referensi
[1]Jean Sartre, Being and Nothingness, 2nd ed. (Trans: Routledge, 2003).
[2]Friedrich Nietzsche, The Gay Science, 2nd ed. (New York : Vintage Books, 1974).
[3]Albert Camus, The Myth of Sisyphus, 1st ed. (New York : Alfred A. Knopf, Inc, 1955).
[4]Robert Graves, The Greek Myths, Complete (New York: Penguin Books, 1990).
[5]Jean-Paul Sartre, Eksistensialisme Adalah Humanisme, 1st ed. (Yogyakarta: CV Jalan Baru, 2021).