Tuhan dan Nalar manusia

profile picture arief_al_khairi
Humaniora - Other

Dengan seiring perkembangan zaman, maka semakin banyak perspektif yang timbul mengenai berbagai hal, salah satunya mengenai eksistensi tuhan itu sendiri. Keberadaan tuhan juga masih sering diperdebatkan oleh berbagai kalangan baik yang beragama maupun para atheis. Seperti lirik lagu “Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepadanya?”. Lirik lagu ini mempertanyakan kembali kepada setiap orang, mengapa kita mempercayai eksistensi Tuhan tersebut.  Sebab tak ada bukti pasti akan keberadaannya dan kekurangan pengetahuan yang dimiliki peradaban manusia. Tetapi hal ini cukup menarik untuk kita ulik bersama dalam proses menemukan kebenaran yang sesungguhnya.
Mungkin perlu ditegaskan kembali bahwa tulisan ini bukan ditujukan untuk menghakimi golongan tertentu dan tulisan ini  dibuat untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas lagi. Seperti yang kita ketahui bersama ada berbagai alasan yang mempengaruhi kita dalam menghilhami zat tuhan tersebut, baik itu pengaruh internal maupun eksternal. Tapi dalam menemukan kebenaran diawali dari ketidaktahuan. Dari ketidaktahuan mulai muncul sebuah keraguan dan keraguan ini yang menimbulkan keinginan untuk mencari tahu kebenaran dari ketidaktahuan kita. Jika diibaratkan, ini seperti newton menemukan teori gravitasi sebab dipantik rasa ingin tahunya akan mengapa apel bisa jatuh kebawah? Kemudian timbul sebuah proses pencarian kebenaran. 
Dan timbulnya keraguan akan keberadaan tuhan itu hal yang mungkin akan terjadi pada diri setiap manusia. Sebab banyak hal yang tidak ada jawaban yang logis dalam nalar manusia. Kemudian manusia mulai bereksplorasi dalam memaknai sesuatu, ada sebuah eksistensi yang berada diatas mereka. Yang mana eksistensi inilah yang menciptakan, mengatur dan berkuasa atas kita tanpa kita sadari. Kemudian berkembanglah sebuah kepercayaan yang menjadi sebuah agama.
Tapi dewasa ini, kita dapat memperhatikan bahwa masih banyak dari kita yang membabi buta terhadap suatu agama dan eksistensi yang disebut tuhan tersebut. Berbagai konflik identitas dan penyalahgunaan agama sebagai alat politik dalam mencapai tujuan kelompok tertentu dapat kita perhatikan disekitar kita. Ini menandakan adanya kefanatikan kita dalam mempercayai “tuhan” tersebut.
Pernahkah kita mencari kebenaran hal-hal tersebut dengan nalar kita? Maka dari sini kita harus berangkat dari zona nyaman kita dan mulai memahami ketidaktahuan kita tersebut. Seperti kata Alber Einstein “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Dapat dimaknai kedua hal tersebut tidak dapat kita lepaskan dari proses mencari kebenaran. Mungkin bukan dalam bentuk final, tetapi hal ini dalam upaya untuk membentuk kerangka berpikir yang baik. 
Kita kesampingkan bagaimana kita mengenal kata “tuhan” dan agama apa yang kita anut. Tapi kita menggunakan perspektif sebagai orang yang dilahirkan tanpa kepercayaan yang kita anut saat ini. Disini mari kita kita pertanyakan kepada diri kita sendiri siapa aku sebenarnya? Bagaimana aku ada? Untuk apa aku ada? Mengapa harus aku?. Dan dari sinilah baru kita masuk ke tataran yang lebih jauh lagi dengan pertanyaan lebih kompleks lagi. Maka ini yang disebut sebuah proses berfilsafat.
Dalam membuktikan eksistensi tuhan tadi kita memang memerlukan akal dan nalar yang menuntun kita menuju kebenaran. Siapa yang berkuasa atas segalanya? Siapa yang mengatur segalanya yang ada di dunia ini dengan sistematis dan memiliki tujuan tersendiri dari keberadaannya? Ya mungkin disini adalah batas kita dapat menalari eksistensi yang disebut tuhan.
Pernyataan menarik dari Jalaluddin Rumi  (dikutip dalam buku “The Meaningful Life With Rumi”) yang mana dia mengatakan “Aku mencari tuhan dan hanya menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan tuhan.” Disini dapat ditemukan bahwa dalam proses mencari tuhan tersebut tentu tidak akan ada habisnya, dan perlu kita rasanya selalu menggali diri sendiri dalam proses menemukan eksistensi tuhan tersebut. Sebab, terlalu sempit perspektif manusia yang mencari kebenaran, maka niscaya makin sulit jalannya sampai menuju kebenaran.
Eksistensi tuhan tadi memang tidak dapat kita simpulkan sebab, jika keberadaan tuhan dapat kita ketahui, jika kita dapat mengetahui bentuk dari tuhan, jika kita dapat menggambarkan tuhan tersebut, maka itu tidak pantas disebut tuhan. Sebab jika kita analogikan,  gambar yang digambar oleh seniman, tidak mungkin mengenali siapa yang menciptakan mereka. Jadi bagaimana kita mempercayai sesuatu yang tidak ketahui? Sebab kita tahu semua ini terjadi bukan tanpa sebab, bukan tanpa alasan melainkan pasti ada yang berkuasa atas setiap hal yang ada di dunia ini. 
Ada eksistensi yang mengatur semuanya dengan kompleks. Dunia ini tempatnya memenuhi peran kita tersebut. Dan kitalah yang mencari tahu peran apa yang kita mainkan. Kitalah yang menentukan arah seperti apa yang kita ingin. Tetapi kita tak dapat kita tentukan sampai kapan kita akan tetap ada. Eksistensi tuhan ini sesuatu yang menguasai segalanya. Jadi siapa tuhan itu? Ya kita takkan pernah tahu, dan kita  yang menentukan apakah akan percaya keberadaannya ada atau tidak. Sebab jika tuhan memang diatas segalanya, tuhan memamg berkuasa atas segalanya maka percaya atau tidaknya kita tidak akan menghancurkan eksistensi tuhan itu. Ia akan selalu ada baik percaya atau tidak percaya akan keberadaannya.
 

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By arief_al_khairi

This statement referred from