Tuhan adalah Ketiadaan Yang Esensial
Beberapa waktu lalu saya merenung ketika membaca sebuah cuitan di Twitter dari seorang netizen yang bernama @7Figureauthors, pada tanggal 19 Februari 2022. Dirinya menulis seperti ini;
“Agama itu gak ada. Konfisius gak ngajarin agama, Budha juga gitu, Yesus pun enggak. Tokoh-tokoh ini memberikan ajaran, bukan agama, kenapa? Sebab agama itu banyak simbol dan gak universal.”
Lalu kemudian saya langsung merenungkan atas pernyataan yang di tweet oleh salah satu netizen tersebut. Dan sekilas cukup menarik perhatian saya terlepas dari tendensi keyakinan yang saya anut, saya mencoba memikirkan ini secara serius. Tanpa harus menghakimi. Alhasil, statement itu menimbulkan beberapa pertanyaan baru dibenak saya yaitu, Apakah keberadaan Tuhan merupakan keberadaan Yang Esensial? Atau sebaliknya?
Berangkat dari situ saya memikirkan beberapa bacaan dari pemikir-pemikir yang punya konsen kontra terhadap agama dan ketuhanan. Dan tentunya mayoritas dari mereka adalah dari barat.
Ada dua versi unsur pokok yang menceritakan tentang asal-usul konsep ketuhanan dan agama yaitu, versi pertama adalah tinjauan dari berdasarkan segi antropologis, historis, dan sosiologis yang berevolusi dari bentuk primitif hingga natural, seperti saat ini. Dan versi kedua, ditinjau dari segi Agamawan. Contoh dari versi pertama ini ialah secara umum juga menjelaskan bahwa agama merupakan bagian dari suatu fenomena sosial, kultural, dan spiritual yang mengalami evolusi seiring berjalannya waktu. Sebab, sebelum adanya keyakinan monoteisme natural kepercayaan umat manusia pada waktu itu belum sampai memikirkan tentang konsep yang tunggal yang menciptakan serta mengatur alam semesta ini. Dan sebelum adanya kepercayaan tersebut manusia percaya pada konsep mitologi seperti dewa-dewi, yang meyakini bahwa merekalah merupakan entitas supranatural serta memiliki unsur-unsur alam atau aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia. Lalu versi yang kedua, didalam versi ini menurut teori yang dikemukakan oleh Andrew Lang dan Wilhelm Schmidt seorang antropolog asal Inggris dan Jerman yaitu, bahwa pada bangsa primitif, manusia sudah mengenal atas kepercayaan adanya dewa tertinggi dan paling berkuasa sebagai pencipta alam semesta, dengan demikian keyakinan manusia terhadap dewa tertinggi merupakan bentuk religi yang paling tua dan pertama. Hal ini juga yang menandakan bahwa adanya bentuk evolusi kepercayaan serta menjadi cikal-bakal agama monoteisme (teis).
Memang benar adanya jika kita mengacu pada unsur pokok historis, bahwa agama adalah fenomena sosial kultural masyarakat zaman dulu yang sengaja diciptakan dimana ia hanyalah sebuah produk kesadaran manusia. Misalkan, dunia suci para dewa seperti yang sering diceritakan didalam mitos-mitos adalah sebuah ideal, yang ke arah itu manusia harus menuju. Rasa tentang gaib adalah dasar dari agama, prasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib ini dirasakan oleh manusia dirasakan dengan cara berbeda-beda; terkadang ia menginspirasikan kegirangan liar, dan terkadang ia memabukkan, menentramkan, dan merasa kalut dan hina1.Rudolf Otto 1912
Ada satu teori yang dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt seorang etnologi kebangsaan Jerman. Yaitu, pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan penyebab pertama dari segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi. Ia tidak terwakilkan oleh gambaran apapun, dan tidak memiliki kuil serta pendeta yang mengabdi kepadanya. Menurut Wilhelm, telah ada monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia Dari kejauhan. Kepercayaan terhadap satu Tuhan tertinggi (kadang-kadang disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan dengan Ketinggian) masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika. Mereka mengungkapkan kerinduan kepada Tuhan melalui doa; Percaya bahwa dia mengawasi mereka dan akan menghukum setiap Dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir dalam kehidupan Keseharian mereka; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia tidak Pernah tampil dalam penggambaran.
Adanya proses sakralisasi kepada suatu kepercayaan merupakan bentuk kehidupan ciri khas manusia pada waktu itu dan bahkan hingga sekarang. Manusia dapat menguasai dunia dan mengalahkan mahkluk-mahkluk lain sebab hanya kita yang mampu dapat menjalin hubungan jejaring makna intersubjektif. Dan peran agama menjadi begitu sentral disini, dikarenakan agama bukan hanya menawarkan keuntungan makna atas subjek yang mengabdi kepadanya tetapi juga memberikan suatu otoritas dan ketetapan etis yang didalamnya mengatur sistem dan perlindungan untuk umat.
Artinya agama yang memiliki dogma suci, memberikan jejaring kerja sama yang kuat antar sesama manusia tergantung pada perimbangan rumit antara kebenaran dan fiksi. Jika kita mendistorsi realitas terlalu banyak maka ia akan melemahkan kita dan jika berlaku sebaliknya maka hal tersebut akan menjadi sesuatu yang relevan dan efektif.
Disisi lain kita tidak dapat bisa mengorganisasi masa secara efektif tanpa bergantung pada suatu mitos fiksional. Jadi jika kita bersikukuh pada realitas murni tanpa mencampurkan fiksi kedalamnya, pasti hanya sedikit orang yang akan mengikuti kita. Dan menurut saya, agama melakukan bagian ini dengan sangat jelas dan juga efektif disamping kekuatan-kekuatan fiksi lainnya seperti uang dan negara.
Akan tetapi jika hari ini banyak orang yang percaya kepada Tuhan, jika uang membuat dunia menyatu, dan jika hal-hal ini bukan hanya keyakinan subjektif, karena itu Tuhan, uang dan negara pastilah realitas objektif. Namun, jika kita mengacu pada rasio sebagaimana adanya yaitu berdasarkan fakta. Tiga hal tersebut tidak lain tidak bukan hanyalah: perjanjian, ketetapan, dan transaksi. Tetapi pada level intersubjektif tentang bagaimana agama berhasil menyatukan banyak orang yaitu entitas intersubjektif tadi bergantung pada komunikasi diantara banyak manusia, bukan karena keyakinan dan prasaan individual manusia.
Kembali ke cuitan diatas tadi, saya mencoba memahami dari segi unsur historis, yaitu jika kita berangkat dari suatu monoteisme primitif merupakan warta yang cukup masuk akal. Sebab jika seandainya hari ini kita sepakat bahwa sebetulnya dunia ini ada yang menciptakan dan kita adalah bagian dari ciptaannya, mungkin terlalu eksklusif untuk memproklamirkan bahwa Tuhan dari agama tertentu telah bertanggungjawab atas semua ini. Dan tuhan-tuhan yang lain kita tidak menghiraukannya. Begitupun sama halnya dengan agama-agama yang lain. Dan setiap kelompok dari kalangan tertentu masih bersikukuh penuh yakin sampai akhir hayatnya atau yang mereka kira hari pertanggungjawaban. Dan tentu ini tidaklah universal. Sebab Tuhan dalam pandangan kosmos harusnya demikian. Atau kita berangkat dari Deisme, yaitu suatu kepercayaan filosofis yang menyatakan bahwa Tuhan ada sebagai penyebab pertama yang tidak bersebab yang bertanggung jawab atas penciptaan alam semesta tetapi, kemudian ia tidak ikut campur dengan dunia yang diciptakanNya.
Jadi, apabila hal ini benar, barangkali manusia sengaja menciptakan agama dengan tujuan untuk memberikan makna kehidupan, juga menjadikan produk untuk pradaban. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penyebarannya, andil agama mampu menginvasi banyak wilayah yang ada didunia serta melahirkan perang-perang baru bagi agama lain. Namun pada dasarnya, agama juga secara sosiologis mampu memberikan kritik terhadap perilaku buruk manusia serta menawarkan tuntunan dan ketetapan etis. Di Indonesia sendiri, moralitas agama sudah menjadi bahasa baku untuk melihat dan menilai sesuatu yang buruk dan baik.
Namun, semenjak berabad-abad lalu sejak lahirnya agama monoteis hingga sekarang, pertanyaan yang sering muncul dan meragukan adalah ‘Apakah Tuhan eksis?’
Ketika kita mengalami abad pencerahan, sumbangsih manusia terhadap ilmu pengetahuan sangatlah masif, namun juga terlihat naif untuk agama. Bagaimana tidak, era inilah yang juga melahirkan suatu kepercayaan atas kausalitas atau sebab akibat yang ada dibumi serta berwujud. Ilmu pengetahuan percaya bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini dapat dijelaskan tanpa harus mencampurkan suatu roh atau gaib didalamnya sebagai jawaban.
Salah satu tokoh ketermuka abad pencerahan ini adalah seorang filsuf yang bernama Rene Descartes yang mengutarakan Co gito ergo sum ‘aku berpikir maka aku ada’ Menurut Descartes, keliru jika kebenaran dapat dicapai dengan sesuatu yang sudah pasti dan tidak dapat diganggu gugat, sekalipun itu kepercayaan. Menurutnya, untuk mencapai kebenaran seseorang harus melepaskan diri dari segala macam prasangka, termasuk prasangka yang berupa keyakinan dan dogma-dogma. Sebagai gantinya ia harus menggunakan rasio dan pengetahuan berdasarkan fakta.
Dan di era ini juga yang menjadi cikal-bakal atas Dogma tuhan dan eksistensialisme yang bahkan sampai pada afirmasi atas apakah Tuhan benar-benar ada. Serta bagaimana dengan agama?
Misalkan dimulai dari seorang Karl Marx, pemikir materialisme dan sosialis, ia mendeteksi adanya hubungan praktis antara manusia dan agama, yang ia mulai melalui ungkapan terkenalnya yaitu, agama adalah keluh kesah masyarakat yang tertindas, hati dari dunia tak berhati dan juga jiwa dari keadaan tak berjiwa. Agama adalah opium bagi masyarakat. Pernyataan Karl Marx ini dinilai sudah mengintervensi ranah ideologis sebab ia memotret keadaan pada waktu itu dimana para kaum elit menggunakan agama untuk mengontrol dan mobilisasi masyarakat untuk kepentingan dan keuntungan mereka sendiri. Dan tentu, secara vokal Marx mengkritik agama berangkat dari keresahan masyarakat sosial yang tertindas dan agama dijadikan suatu fasilitas atas itu.
Marx meyakini bahwa agama memiliki fungsi praktis tertentu dalam masyarakat yang mirip pada fungsi opium pada orang yang sakit atau orang yang terluka.Opium mengurangi penderitaan pada orang yang sakit dan memberi mereka semacam ilusi yang menyenangkan dan membahagiakan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Marx juga melihat bahwa agama juga dapat mencegah orang untuk menyadari adanya penindasan atas diri mereka, terutama ketika agama berbicara tentang takdir dan nasib yang sudah kodratnya, sehingga agama dalam artian tertentu dapat mencegah suatu revolusi atau perlawanan untuk mengubah takdir orang-orang yang tertindas tersebut.
Menurutnya agama merupakan konsep INVERSIFEURBACHIAN2The essence of Christianity yaitu, agama adalah suatu produk dari realitas material. Konsep dan gagasan ini dipopulerkan oleh Ludwig Feurbach juga yang menginspirasi seorang Karl Marx.
Kemudian selanjutnya ialah Ludwig Feurbach yang berpendapat bahwa Tuhan bukanlah mahkluk yang eksis sebelum kita dan menentukan eksistensi manusia. Namun sebaliknya, keberadaan manusialah yang menentukan Tuhan. Dirinya menyatakan, Tuhan dalam agama adalah produk kesadaran manusia. Agama beresensikan kesadaran tuhan. Dalam agama itu tak lain tak bukan merupakan kesadaran manusia akan kodratnya sendiri yang direfleksikan dengan kata lain tidak lain dari kodratnya manusia sendiri.
Ketika seseorang berelasi terhadap Tuhan dalam agama sebetulnya ia berelasi dengan suatu objek yang tak lain ialah dirinya sendiri.
Namun yang lebih menarik disini ialah tentang pemikiran dari Goerge Wilhelm Friedrich Hegel 1770-1831 tentang dialektika Roh (manusia terhadap Tuhan). Hegel membangun pemikirannya dengan melukiskan kenyataan sebagai dialektika Roh. Hegel mengabstraksikan segala sesuatu menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan manusia konkret atau individu.
Dan juga yang merupakan kenyataannya adalah ide abstrak dan bukan pengalaman individual. Dalam sistem abstrak itu bahkan kesadaran manusia yang konkret hanyalah sebuah momen dalam dialektika Roh, bukan manusia yang sadar diri, melainkan Roh yang menyadari dirinya dalam manusia konkret itu atau individu. Karena itu juga Hegel memandang tinggi ide-ide kolektif. Sebab semakin objektif semakin benar dan semakin real lah ide-ide tersebut.
Dengan demikian yang makin benar adalah “kita” “ras” “zaman kita” “abad kita” “roh dunia” dan bukan “aku” atau “pikiranku” sedangkan motif pokok yang disebut eksistensi adalah cara manusia berada hanya manusialah yang bereksistensi. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif.
Menurut saya, pemikiran atau keyakinan yang memiliki condong antipati terhadap agama, juga tuhan, bukanlah sesuatu yang ditimbulkan secara atas dasar kebencian sejak lahir. Tetapi, faktor pengalaman lah yang membuatnya demikian. Dan perenungan saya juga kembali memikirkan tentang konsep ateisme serta acnostik juga mengkorelasikannya dengan cuitan diatas tadi yaitu. Semuanya merupakan awal mula dari reaksi pengalaman yang dia lihat. Ia berani memberontak terhadap dirinya juga terhadap orang lain. Tetapi, dengan sadar atas konsekuensi. Proses historis agama dan Tuhan memang terkadang memabukkan, juga terkadang menentramkan, tapi yang pasti itu merupakan perjalanan yang dinamis. Sebab perjalanan menuju Tuhan bukanlah balapan, melainkan suatu proses yang harus dinikmati.
Tetapi jika saya menyimpulkan dan mempersonifikasi gagasan-gagasan diatas adalah bahwa saya percaya selama ini hubungan Tuhan dan manusia adalah ada secara roh dalam bentuk ide abstrak, tetapi Tuhan itu sendiri sejatinya dalah suatu ketiadaan Yang Esensial. Sebab sejauh pengalaman saya, bahwa Tuhan ini adalah suatu esensi mendahului eksistensi atas proyeksi dan dialektika Roh manusia.