Tidak Selalu Absolut, Eksistensi Tuhan Itu Cenderung Relatif
Berbicara tentang eksistensi Tuhan, tentu akan mengundang berbagai argumen dari segala sudut pandang, mengingat pentingnya hal tersebut sebagai kunci dari semua pintu kajian mengenai agama secara keseluruhan.
Ketika kita memutuskan untuk menganut suatu agama, maka besar kemungkinan akan dihadapkan pada pertanyaan mutlak tentang kepercayaan mengenai keberadaan Tuhan yang seterusnya kita sembah, jika iya, maka secara sah kita dapat dinyatakan sebagai umat beragama (theism).
Pertanyaan semacam itu, sebenarnya sudah banyak dikaji oleh metodologi-metodologi yang menggaris bawahi pernyataan umum atau asasi seperti ilmu filsafat, seperti yang dijelaskan pada Jurnal Humaniora Teknologi, dalam Jurnal Filsafat Ketuhanan yang disusun oleh Muhammad Noor, pada Oktober 2017 lalu.
Dalam Jurnal tercantum bahwa, “Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan, bukan dalam bentuk usaha menemukan keberadaan Tuhan secara absolut (mutlak). Namun, mencari pertimbangan kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran akan Tuhan.”
Metodologi tersebut telah banyak dipahami, serta diaplikasikan oleh kalangan umat beragama, salah satunya adalah agama islam yang merupakan mayoritas di negeri ini. Selain islam, kristen dan yahudi juga diyakini sebagai agama yang menggunakan filsafat ketuhanan. Namun, agama-agama tersebut juga menambahkan pendekatan wahyu dalam usaha meyakini persoalan eksistensi Tuhan.
Dalam Islam sendiri, pendekatan wahyu adalah metode yang digunakan sebagai upaya menafsirkan, menggali dan menakwilkan (menjelaskan) argumen yang bersumber pada ajaran-ajaran agama, salah satu contoh pendekatan wahyu yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan bisa kita pelajari dari ajaran yang memberi tahu kita mana yang wajib dilakukan umat beragama dan mana yang dilarang, dengan keyakinan Tuhan akan selalu mengawasi setiap tindak tanduk kita selaku umat manusia di dunia ini.
Lalu bagaimana dengan kalangan yang tidak meyakini eksistensi Tuhan atau atheism? Kalangan ini menolak kepercayaan tersebut karena menurut mereka keberadaan Tuhan tidak dapat dijelaskan secara empiris maupun logis. Atheism atau ateis akan menggunakan pemikiran yang rasional seperti sains dan kepercayaan mereka berasal dari sana atau istilahnya sesuatu yang dapat mereka buktikan sendiri, baru ateis akan mempercayai keyakinan tersebut.
Sebelum artikel ini dibuat, penulis pernah mewawancarai seorang penganut ateis yang mengaku sebagai iluminati (salah satu kelompok ateis yang melakukan penentangan terhadap otoritas keagamaan yang dikuasai gereja pada abad pertengahan Eropa). Ternyata kalangan tersebut ada disekitar kita, meski jumlahnya tidak banyak dan sangat tertutup akan aktivitas mereka sebagai umat non-religius.
Tanpa mengurangi rasa hormat akan kepercayaan yang di anut, dalam wawancara kami, penganut ateis menjelaskan bahwa pemikiran mereka akan eksistensi Tuhan sangatlah sederhana, yaitu tidak ada. Jika ada kepercayaan yang mengatakan kita akan mendapatkan uang dengan berdoa dan ikhtiar bekerja keras, maka ateis hanya mempercayai tentang bekerja kerasnya saja.
“Sebanyak apapun anda menangis, meminta pada Tuhan, uang itu tidak akan muncul tiba-tiba. Jika ingin sesuatu, kita bisa langsung bekerja keras dan mendapatkannya, itu sudah hal yang paling logis bagi kalangan kami, ketimbang menunggu sesuatu yang tidak pasti.” ungkap orang yang menjadi narasumber.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai babak akhir kehidupan yaitu, jika umat beragama lain mengenal istilah surga dan neraka, lalu kemana akan perginya kalangan non-religius setelah kematian? Narasumber menjawab, tidak ada lagi kelanjutan hidup atau dimensi lain seperti yang kita yakini, karena kematian adalah akhir dari eksistensi hidup manusia.
Dari sesi tanya jawab ini jika ditelaah dengan baik, dapat kita simpulkan bahwa ateis sangat meyakini pola pikir manusia. Istilahnya kecerdasan manusia sudah cukup untuk mempelajari dunia beserta isinya, berbeda dengan kita yang menggunakan pendekatan wahyu dan filsafat ketuhanan lainnya dalam memahami kehidupan.
Mengingat Eksistensi Tuhan adalah pembahasan yang sensitif, juga kebenarannya hanya dapat diukur oleh keimanan dan kepercayaan hati kita masing-masing, maka pro-kontra akan materi ini dapat dikatakan sebagai hal yang relatif.
Sebagai kaum religius, penulis sangat meyakini akan keberadaan Tuhan, serta melibatkan segala sesuatu dengan kebesaran Sang Maha Kuasa, Allah ta’ala, dengan kata lain pro terhadap eksistensi Tuhan. Namun, penulis juga kontra jika eksistensi Tuhan ini harus dipukul sama rata pada keyakinan kalangan lain, karena setiap orang memiliki kepercayaan yang berdasar pada diri mereka sendiri alias tidak dapat dipaksakan.