Realisasi Eksistensi Tuhan dengan Imajinasi

profile picture EarthPeople
Humaniora - Other

Lebih dari lima ratus tahun dari abad kedelapan hingga abad ketiga belas, kontradiksi religi konvensional dengan kaum intelek menghasilkan ledakan krisis intelektual global. Penurunan tidak wajar kualitas kecerdasan spesies homo sapiens terbukti disebabkan oleh kekangan religi. Tahun-tahun abad kegelapan itu menguak manusia-manusia saleh yang menjunjung konsep ketuhanan, secara kejam mematahkan pengembangan kemampuan berpikir.

Perihal pelarangan mengembangkan konsep berpikir di luar ajaran agama wilayah Eropa pada saat itu, memicu kontroversi yang semakin hebat antara sains dan agama, membawanya pada pembalasan keras dari sains. Hingga abad ini, banyak pemikiran sains yang memberikan pertentangan besar pada agama, khususnya pada konsep ketuhanan.

Agama, kaum saleh, religi, menyatakan dengan kesungguhan akan eksistensi; ada, hal berada, keberadaan: Tuhan. Sains sedapat-dapatnya membuktikan bahwa tanpa Tuhan pun, sesungguhnya, semua perihal di alam semesta mampu terjadi.

Sains, kaum intelek, cendekiawan yang menolak konsep ketuhanan memiliki pola pikir logis dan fisik, sehingga hanya menerima suatu konsep eksistensi yang berwujud, atau memiliki pembuktian secara saintifik. Konsep berwujud dengan pembuktian saintifik itu mencakup ruang lingkup indra manusia. Eksistensi yang nyata, bagi pemikir logika dan fisik, artinya wujud yang mampu memenuhi pemuasan penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Atau setidaknya mampu terbukti secara saintifik dengan tanda kepemilikan energi.

Pelemparan bola dari sains kaum intelek tidak mampu dipukul balik oleh manusia-manusia saleh, secara yang mampu diterima kaum intelek. Manusia-manusia saleh itu, hanya mampu membuktikan eksistensi kekuatan adikodrati yang dipercayai keberadaan-Nya menggunakan perasaan batin. Namun, ketidakmampuan kaum religius membuktikan eksistensi Tuhan, berbanding lurus dengan ketidakmampuan kaum intelek dengan sains mereka untuk membuktikan ketidakberadaan Tuhan.

Proses merasakan keberadaan Tuhan dengan batin oleh kaum saleh, serta proses meyakini ketidakberadaan Tuhan dengan pemikiran logika dan fisik oleh kaum sains, berujung pada kebuntuan penerimaan jawaban yang mesti diterima oleh kedua kaum.

Namun, sesungguhnya, terdapat satu peleraian konsep berpikir untuk memahami dan meluruskan pertentangan akan eksistensi Tuhan. Konsep berpikir yang tidak memerlukan bukti saintifik serta menghindari melebihkan kedekatan batin dan spiritual. Konsep berpikir ini adalah pola pikir yang mendasari banyak penemuan manusia, yakni, imajinasi.

Imajinasi pada dasarnya adalah sebuah ide yang didapatkan dari pengalaman nyata seseorang, sehingga membuahkan intuisi untuk mendapatkan penemuan baru. Dengan ide yang berdasar dari pengalaman nyata manusia ini, ada peluang meredakan ledakan kontroversi antara agama dan sains terkait perdebatan eksistensi Tuhan.

  • Kehidupan sebagai bentuk imajinasi penulis skenario kisah misteri.

Penggunaan imajinasi sebagai bentuk pelerai yang pertama adalah dengan menggunakan imajinasi untuk membuktikan eksistensi Tuhan, lewat pengibaratan kehidupan manusia ke dalam sebuah kisah misteri.

Kendalikan daya pikir Anda untuk membentuk sebuah imajinasi, yang membuahkan skenario sebagai bentuk pengibaratan dari kehidupan nyata. Imajinasikan seolah Anda adalah seorang penulis novel misteri yang menggunakan sudut pandang orang pertama sang detektif sendiri.

Dalam novel yang Anda tulis, detektif menangani sebuah perkara di mana hampir keseluruhan bukti mengarah pada seseorang—anggap saja Anda menuliskan seseorang ini berinisial A. Lalu, Anda menciptakan karakter berinisial B, di mana merupakan kawan dekat detektif yang membantu penyelidikan.

Anda lalu berpikir; tambahan kejutan dalam cerita adalah pilihan terbaik yang perlu diambil. Sehingga Anda menempatkan kejutan untuk pembaca, bahwa pelaku merupakan B. Pilihan Anda ini memperbaiki cerita dan memperbagusnya, tetapi tidak menyenangkan dan menggerakkan hati detektif ke dalam duka; setidaknya itu yang akan Anda harap para pembaca pikirkan, di mana artinya Anda berhasil menjadikan detektif seolah manusia hidup.

Interpretasi dari skenario di mana Anda sebagai penulis kisah itu, mampu menghasilkan peluang yang melerai perdebatan terkait eksistensi Tuhan; tanpa memberatkan titik batin atau saintifik.

Karena seperti apa yang diketahui, spesies homo sapiens, adalah spesies berakal yang dengan pola pikirnya itu, berkemampuan memecahkan keseluruhan misteri dalam kehidupan masing-masing, yang merupakan interpretasi dari tokoh pemilik sudut pandang orang pertama dari sebuah cerita misteri.

Kita, homo sapiens, makhluk berakal; merupakan pemilik sudut pandang orang pertama dari kisah misteri kehidupan. Misteri-misteri itu dipecahkan, memberikan jawaban. Kejutan-kejutan akan jawaban yang didapat, merupakan bentuk interpretasi dari kejutan di dalam novel yang sesungguhnya merupakan jawaban terbaik, walaupun kita tidak menyukainya.

Skenario itu digambarkan dan menggambarkan secara serupa, dengan kehidupan nyata dalam banyak aspek. Dengan demikian, misteri dalam kehidupan nyata—bahkan terkait konsep ketuhanan—mampu ditemukan jawabannya dengan memeriksa lebih dalam skenario tersebut.

Para karakter; detektif, A, B, atau karakter yang mungkin Anda ciptakan dalam novel misteri itu, berpikir bahwa sesungguhnya pelaku utama penyebab konflik terjadi adalah B. Namun, kebenaran yang sesungguhnya, bahwa tanpa mereka ketahu; adalah Anda, pelaku utama dari keseluruhan cerita. Anda yang menciptakan karakter B, menciptakan apa yang dia lakukan, menciptakan kejutan bagi detektif dengan pengungkapannya. Namun, karakter Anda sama sekali tidak tahu terkait Anda.

Karena mereka, merasa tidak terpuaskan dalam segi pembuktian eksistensi Anda secara fisik, yakni indra. Karakter Anda tidak mampu melihat Anda. Tidak mampu mendengar suara Anda. Tidak mampu menghirup aroma Anda. Tidak mampu mengecap Anda. Bahkan tidak mampu menyentuh Anda.

Walaupun demikian, keberadaan Anda adalah benar. Eksistensi Anda adalah benar. Anda ada. Anda, sang penulis.

Lalu, kita; makhluk berakal yang mendapati misteri eksistensi Pencipta. Kita tidak mampu memuaskan indra untuk membuktikan keberadaan-Nya. Kita tidak atau belum mampu membuktikan hal berada Tuhan dengan bukti saintifik.

Namun, bukan berarti Tuhan tidak ada. Tuhan ada, hanya saja kita dan sains, masih belum mampu menemukan bukti pemuas akal tentang eksistensi-Nya. Sains kita hanya belum mampu menemukan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh seorang penulis novel thriller, Dan Brown, dalam bukunya yang berjudul Angel and Demon;

Sains dan agama tidak berselisih. Sains hanya terlalu muda untuk memahami.

  • Imajinasi sebagai pencipta intuisi secara turun-temurun.

Seorang filsuf asal Yunani, Parmenides, pernah menyampaikan,

Tidak ada yang tidak bisa ada. Karena berbicara tentang sesuatu berarti berbicara tentang sesuatu yang ada.

Ada, dalam beberapa penerapan, memiliki persamaan arti dengan hadir atau benar. Sementara keberadaan merupakan ruang lingkup dari ada, yang berarti berada, telah ada atau telah sedia.

Dalam penerapannya terhadap teknologi, contohnya, keberadaan mampu diterapkan dalam teknologi yang telah terwujud. Sebagai contoh, teknologi komputer. Keberadaan komputer mampu di sebut ada karena telah mencangkup ruang lingkup keberadaan yakni telah sedia.

Sementara konsep teknologi yang masih berupa hasil dari intuisi, ambil contoh teknologi yang mampu mengirim manusia ke galaksi lain, adalah tidak ada, karena tidak mencangkup ruang lingkup keberadaan yakni telah sedia.

Diperhatikan lebih dalam, konsep teknologi itu merupakan buah dari intuisi, yang bekerja dari sebuah imajinasi seseorang. Sementara itu, imajinasi sendiri adalah hasil dari proses pengamatan dari kejadian berdasarkan kenyataan, keberadaan, atau pengalaman nyata dari seseorang sehingga menghasilkan sebuah ilham. Dan pengalaman seseorang ini merupakan kejadian nyata yang benar-benar menimpanya.

Kejadian nyata ini adalah kejadian yang benar, berhasil, dan sukses disediakan dalam pengalaman nyata yang membuahkan imajinasi itu.

Sebagai pemisalan, intuisi mendaratkan manusia ke galaksi lain, merupakan sebuah ide dari imajinasi manusia yang menilik pengalaman kesuksesan proyek Apollo, sebagai penjelajah bulan, di mana para penjelajah itu merupakan sekelompok manusia yang benar, berhasil dan sukses menyediakan sebuah pengalaman yang benar-benar terjadi.

Ini artinya, semua penemuan akan suatu hal yang bersumber dari intuisi, mesti merupakan buah dari imajinasi, yang merupakan hasil dari pengamatan terhadap pengalaman yang benar terjadi. Contoh lain, adalah yang terjadi pada ilmuwan-ilmuwan sains. Galileo Galilei yang mendapatkan intuisi dari imajinasinya, setelah pengamatannya dengan heliosentris Nicholaus Copernicus.

Lalu, pola intuisi yang merupakan buah dari imajinasi ini, mampu diterapkan pada konsep ketuhanan yang mana mampu menjadi peluang peleraian antara sains dan agama terkait kepercayaan akan eksistensi Tuhan.

Percobaan menerapkan konsep itu pada perdebatan terkait eksistensi Tuhan, mampu dihasilkan runtutan kemunculan agama dan kepercayaan yang meyakini Sang Pencipta itu sendiri. Contoh saja, kaum paganisme; pemuja alam, feminitas—Venus dan banyak dewa-dewa. Kepercayaan ini disebut muncul sebab orang-orang Yunani kuno atau yang lebih terdahulu lagi, melihat alam sebagai tempat manusia bergantung. Dan alam pun memberikan keajaiban-keajaiban, sehingga mereka, kaum paganisme, yang telah mendapatkan intuisi hasil imajinasi dari proses pengamatan mereka terhadap orang-orang yang telah mengenal Tuhan sebelumnya, berpikir bahwa alam adalah Tuhan itu sendiri.

Ide yang di dapat oleh kaum paganisme ini, tentu terjadi setelah menilik kaum-kaum sebelum mereka, yang telah dengan percaya diri memberikan pendapat mereka masing-masing terkait konsep ketuhanan. Dan kaum yang menginspirasi konsep ketuhanan untuk kaum paganisme, juga mesti terinspirasi akan pembahasan tentang adanya kekuatan yang berkuasa atas seluruh alam semesta, dari kaum-kaum sebelum mereka.

Hingga mundur ke titik paling awal, ke titik pertama, ke titik di mana inspirasi tidak lagi di dapat untuk berpendapat, melainkan adanya sebuah pengalaman nyata yang paling utama dan mendasari segala pemikiran tentang konsep ketuhanan. Pengalaman nyata seseorang ini, disebut sebagai pemicu, awal mula, yang benar, nyata, dan sukses hingga menjalankan pemikiran kaum-kaum berikutnya untuk berpendapat mengenai ketuhanan. Pemicu ini, memiliki pengalaman nyata, benar, dan sukses akan keberadaan Tuhan. Keyakinan yang mampu benar-benar bulat, karena tentu, pemicu ini mengalaminya secara langsung. 

Secara langsung mengalami, menyelami pertemuannya dengan Tuhan.

Pembicaraan terkait konsep ketuhanan dimulai dari pemicu yang pernah bertemu langsung dengan Tuhan, yang dari itu mampu memengaruhi keseluruhan pemikiran manusia bahwa ada kekuatan Pencipta alam semesta. Pembicaraan konsep ketuhanan dari awal manusia ada, hingga saat ini, dua dasawarsa lebih abad dua puluh satu, merupakan pembuktian dari ucapan filsuf Yunani, Parmenides, “Karena berbicara tentang sesuatu berarti berbicara tentang sesuatu yang ada.”

Dan manusia, mampu membicarakan tentang Tuhan, yang artinya Tuhan itu ada, nyata, dan benar keberadaan-Nya.

Dan bahkan, kenyataannya, kita saat ini, tengah membicarakan-Nya. Kita mampu membicarakan-Nya karena pemicu konsep ketuhanan ini, benar-benar bertemu dengan Tuhan sesungguhnya dan menyebarkannya pada kita. Kita mampu membicarakan-Nya, karena Tuhan benar-benar ada.

Konsep ketuhanan tidak semata-mata mampu dibicarakan dengan pembuktian saintifik, tidak pula cukup dirasakan dengan batin. Imajinasi, yang merupakan wakil pemikiran setelah sebuah pengalaman nyata terjadi, mampu menjawab secara logis terkait kesungguhan eksistensi Tuhan.

Dan pada nyatanya, tanpa bukti saintifik, tanpa pemuasan indra, tanpa menitik beratkan pada kebatinan kedekatan dengan Tuhan, sesungguhnya, keberadaan Tuhan adalah nyata. Tuhan benar-benar ada

Realisasi terbaik terkait eksistensi Tuhan adalah dengan imajinasi.

Sumber kutipan:

https://www.goodreads.com/author/show/630.Dan_Brown

https://www.azquotes.com/author/40279-Parmenides

2 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
2
0
profile picture

Written By EarthPeople

This statement referred from