PEMBUKTIAN EKSISTENSI TUHAN MELALUI IMAN
PEMBUKTIAN EKSISTENSI TUHAN MELALUI IMAN
Frasa di atas selalu membangkitkan gairah berpikir kita untuk sekedar berhalusinasi atau bertanya-tanya tentang eksistensi Tuhan. Namun, bagi negara non komunis seperti Indonesia, meragukan eksistensi Tuhan adalah hal yang haram. Kendati demikian, dalam situasi pelik tertentu dalam kehidupan kita, mempertanyakan eksistensi Tuhan adalah hal yang wajar. Saya sendiri meyakini Tuhan itu ada. Di pihak lain, saya juga menyalahkan Tuhan atas kuasaNya memberikan kehendak bebas kepada manusia. Kehendak bebas inilah yang melahirkan keraguan eksistensi Tuhan bagi para penganut komunis dan mereka yang kecewa kepada Tuhan. Untuk memutlakkan eksistensi Tuhan, ada sebuah adagium yang berbunyi “Jangan membatasi Allah dengan keterbatasanmu”. Ungkapan tersebut bermula dari kisah seorang anak kecil yang sedang menggali pasir di pantai. Saat ia sedang menggali, datanglah seorang pemuda dengan iseng bertanya, “Mengapa kamu menggali lubang tersebut?” Secara spontan anak itu menjawab, “Saya ingin mengisi seluruh air laut ke dalam lubang ini”. Dengan nada tawa dan sindir pemuda itu berujar, “Mana mungkin lubang sekecil itu dapat mengisi seluruh air laut?” Sejenak anak itu terdiam, lalu menjawab, “Ya, begitu juga dengan dirimu. Mana mungkin otakmu yang kecil dapat menampung Tuhan yang begitu Mahabesar dan Mahakuasa”. Kisah ini mau mengingatkan kita bahwa, rasio manusia tidak cukup mendeskripsikan eksistensi Tuhan, kecuali iman. Sebagai manusia yang diberi kehendak bebas oleh Tuhan, terkadang rasio kita lebih dominan dari iman. Rasio ini menghasut manusia untuk bertanya dan terus bertanya. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah, sebelumnya Anda di mana dan setelahnya Anda akan ke mana? Pertanyaan ini secara tidak langsung menggugat diri sendiri dan eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan manusia. Eksistensi Tuhan itu tentang keabadian, tidak berada dalam dimensi ruang dan waktu. Keabadian itu misteri bagi manusia, karena manusia memiliki keterbatasan alias tidak abadi dan pasti mati. Atas dasar ini, para ilmuwan berjuang mencari keabadian melalui berbagai cara, mulai dari modifikasi bioteknologi dan beragama. Modifikasi bioteknologi toh hanya untuk memperpanjang usia, tetapi tidak untuk hidup abadi. Maka, jalan satu-satunya mencari keabadian adalah mengakui eksistensi Tuhan dengan beragama/beriman. Agama mengajarkan orang untuk menerima bahwa, dalam kehidupan manusia terdapat tubuh dan roh/jiwa. Tubuh itu akan mati, sedangkan roh akan tetap hidup. Kendati setiap penganut agama meyakini demikian, tetaplah pikiran yang rasional akan terus mengiang dan bertanya. Pertanyaan lain adalah, ke manakah kehidupan setelah kematian? Bukankah kehidupan diakhiri dengan kematian? Gugatan semacam ini sebenarnya tidak mempan bagi mereka yang hidup kerohaniannya baik (beragama/beriman). Pengakuan eksistensi Tuhan itu benar-benar ada dan tak tergoyahkan oleh gangguan pikiran dan perasaan apapun ketika kita memperkuat diri dengan latihan rohani. Sebagaimana senam, berjalan, berlari, melompat, kita sebut sebagai latihan fisik/jasmani, maka latihan rohani adalah cara untuk mempersiapkan jiwa/roh untuk kehidupan yang abadi. Latihan rohani bertentangan dengan keinginan jasmani. Latihan rohani mengajak manusia untuk melepaskan diri dari ikatan dunia/jasmani, seperti harta-kekayaan, kehormatan, dan prestise. Itu bukan berarti mengajak manusia untuk tidak boleh kaya, mengejar kehormatan dan prestise di dunia ini. Sekali lagi, bukan. Sebab, kekayaan, kehormatan, dan prestise merupakan bukti bahwa ada intervensi Tuhan dalam setiap perjuangan kita sebagai orang beriman. Hal yang ditekankan dalam latihan rohani tersebut ialah, berusaha mengenal kehendak Tuhan agar setiap perjuangan kita di dunia ini tidak diperoleh berdasarkan hasil yang instan, seperti memiliki mobil dengan cara korupsi, mau mendapatkan pekerjaan dengan cara kolusi dan nepotisme, atau memperoleh sesuatu tidak melewati prosedur yang wajar dan konvensional. Mengenal kehendak Tuhan juga dengan cara mengasah suara hati dan super ego kita, tau membedakan mana yang baik dan benar. Hal lain yang turut melatih kehidupan rohani kita ialah perihal beragama. Jika kita beragama untuk menghakimi keyakinan agama orang lain dan menginterpretasi secara harafiah ajaran keagamaan kita yang bertentangan dengan keyakinan agama orang lain, itu tandanya kerohanian kita belum baik, perlu diintrospeksi. Mereka yang kerohaniannya baik tidak terusik oleh kehormatan agamanya yang sedang dilecehkan. Mereka yang kerohaniannya baik, tidak merasa terganggu dengan kehadiran agama lain di sekitarnya. Mereka yang kerohaniannya baik pasti hidup rukun di tengah kemajemukan ajaran beragama. Mereka yang hidup kerohaniannya baik, selalu menyadari bahwa, semakin berjuang untuk mengasah hidup rohaninya, semakin kuat pula tantangan hidupnya. Mereka yang hidup dalam kepenuhan roh, sekuat apapun badai kehidupan melanda mereka, mereka tetap mengakui eksistensi Tuhan tanpa menggugat. Mereka yang hidup kerohaniannya baik otomatis hidup keagaamaannya baik pula. Kehidupan rohani yang baik memberi kita ketenangan untuk mempersiapkan kematian yang baik dan meningkatkan keyakinan akan keselematan abadi bagi jiwa kita kelak. Kehidupan jiwa yang baka akan menemukan eksistensi Tuhan dalam misteri keIlahianNya yang abadi.