Moralitas, Agama, dan Eksistensi Tuhan dari Perspektif Ateis

profile picture riyadh_arasyi
Humaniora - Other

Sampai abad ke 21 ini jika kita menyinggung eksistensi Tuhan secara filosofis, niscaya selalu hadir klausa legendaris dari Nietzsche yang berbunyi “Tuhan telah mati". Agaknya, orang awam pun pernah sesekali mendengar perkataan yang sangat humanis itu. Terlebih, buah pikirnya yang berhaluan eksistensialisme sukses mendapatkan atensi fantastis dari para khalayak di seantero dunia. Bahkan, kajian-kajian tentang aforisme Nietzsche pun selalu eksis sampai sekarang.

Meski ayahnya adalah seorang pendeta, tapi Nietzsche bermetamorfosis menjadi ateis yang radikal. Nihilis berkumis tebal itu justru menciptakan paradoks yang berhasil menempeleng keras para hamba-hamba Tuhan. Ia meluluhlantakkan konsep termasyhur tentang Tuhan yang dipercaya para orang beragama. Bagaimana tidak, di satu sisi, Tuhan diyakini sebagai entitas yang azali, namun di sisi lain, Tuhan mengalami kematian.

Agama, moralitas, dan eksistensi Tuhan adalah hal yang ditelanjangi habis-habisan oleh Nietzsche. Bahkan, moralis sekaliber Plato, Jesus, Kant, dan Buddha pun diserang secara brutal oleh maestro Zarathustra itu.

Sebagai informasi saja agar tidak salah paham, saya telah melalui proses interpretasi—baik secara tekstual maupun kontekstual—sebelum mendukung pernyataan dari Nietzsche, Freud, Sartre, dan siapapun yang saya jadikan referensi. Alias tidak menelan mentah-mentah secara harfiah. Bahkan, bukan hanya meninjau secara historis dan filosofis, namun saya kaji juga menggunakan studi linguistik (semantik, semiotik, dan pragmatik) guna memperoleh kesimpulan yang valid. Karena untuk menjawab pertanyaan pelik tentang eksistensi dan realitas Tuhan, tentu saja harus melalui proses analisis serta kontemplasi yang cukup panjang. 

Saya pribadi sepakat dengan Nietzsche bahwa dunia ini nihil, dan Tuhan hanyalah hasil persepsi dan imajinasi manusia. Saya pikir, segala konsensus tentang moralitas, hukum, serta barometer baik dan buruk bukanlah datang dari Tuhan, melainkan tercipta karena insting bertahan hidup manusia.

Kita sebagai Homo sapiens memiliki insting bertahan hidup yang sangat besar. Buktinya, kita akan seolah dianugerahi kekuatan super ketika berada dalam situasi terdesak. Namun ironinya, ketika suatu entitas ingin bertahan hidup, mau tidak mau ia harus mengeliminasi entitas lain untuk memenuhi kebutuhannya. Apalagi hukum rimba akan selalu berlaku di dunia ini. Yang kuat selalu menguasai yang lemah; yang borjuis selalu menindas yang proletar. Maka dari itu, konflik dan konfrontasi adalah suatu keniscayaan di dunia ini. 

Mengutip dari buku Sapiens karya Yuval Noah Harari, dikatakan bahwa seiring berjalannya evolusi, perkembangan kognitif manusia pun semakin bagus. Mereka mulai meninggalkan kebiasaan primitif untuk bertahan hidup. Akhirnya, lambat laun manusia menciptakan peradaban baru dan membentuk nilai-nilai moral yang bertujuan untuk melindungi kehidupan mereka. Nilai moral berguna untuk meminimalkan hukum rimba. Dalam arti lain, nilai moral yang sangat fundamental itu selalu memiliki kausalitas dengan kebutuhan manusia dalam dinamika kehidupan.

Contohnya, kita semua sepakat bahwa memerkosa itu adalah perbuatan yang mencederai moralitas, dan orang yang melakukan tindakan keji itu wajib dihukum. Konsensus tersebut kan pada intinya diciptakan untuk tujuan kebaikan. Bayangkan saja jika memerkosa itu diperbolehkan. Berapa banyak bayi yang terlahir tanpa ayah? Berapa banyak orang-orang yang mengalami depresi? Berapa banyak orang yang mati akibat penyakit kelamin? Tentu saja sangat mengerikan. 

Nilai moral juga adalah sesuatu yang sangat dinamis. Padahal, jika memang nilai moral datang dari Tuhan, seharusnya bersifat statis agar Tuhan tidak terkesan merevisi pikirannya sendiri. Namun dalam realitanya, nilai moral akan selalu adaptif dengan kebutuhan hidup manusia di tiap zaman. Beberapa orang konservatif mungkin memandang hal demikian sebagai degradasi moral manusia (bukan salah Tuhan). Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan itu merupakan keniscayaan pada sesuatu yang sifatnya tidak konstan.

Contohnya, dahulu perempuan hanya boleh beraktivitas secara domestik. Namun, seiring banyaknya feminis yang menggaungkan gerakan emansipasi, kebutuhan perempuan pun kian berubah. Sekarang, perempuan lazim untuk keluar malam, bekerja, dan memimpin laki-laki. Bahkan, Saudi yang terkenal konservatif pun kini telah memperbolehkan perempuan untuk menyetir mobil. 

Memang betul kitab suci sebagai pedoman moral umat beragama tidaklah berubah. Tetapi, nilai moral dalam kitab suci itu akan selalu ditafsirkan sesuai dengan hasrat dan kebutuhan manusia itu sendiri. Tafsir kitab suci itu sangat variatif. Makanya tidak heran jika ada orang yang memiliki agama yang sama pun masih sering berselisih karena perbedaan interpretasi.

Namun, lagi-lagi, dalam arena agama yang bersifat dogmatis, tetap saja banyak orang fanatik yang bersikeras menganggap bahwa agama mempunyai dasar yang sama dengan moralitas. Padahal, agama dan moralitas itu bisa dipecah menjadi suatu dikotomi karena keduanya memiliki distingsi signifikan serta berasal dari ide yang berbeda. Toh di dunia ini ada ribuan agama atau aliran kepercayaan tetapi memiliki standar moral berbeda-beda. 

Di pedalaman Meksiko, misalnya. Di sana, banyak anak-anak dibunuh sebagai pengorbanan untuk Tuhan. Itu kan masalah agama, bukan moralitas. Selanjutnya, jika ada orang dermawan dan berbudi luhur tetapi tidak percaya dengan agama, apakah ia bisa dikatakan tidak bermoral? Tentu saja tidak. Dari sini sangat kontras bahwa agama dan moralitas adalah dua hal yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan. 

Selanjutnya, jika Tuhan sangat superior, apa susahnya tinggal membuat seluruh agama dan nilai moral di dunia ini menjadi seragam supaya tenteram tanpa konflik dan perdebatan. Jika Tuhan maha penyayang, seharusnya Ia juga tidak akan mengizinkan banyak pertumpahan darah di dunia ini dengan motif agama.

Para religius sebetulnya punya alasan tentang mengapa Tuhan tidak menciptakan satu agama saja. Namun sayangnya, alasan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan empiris. Dan, yang paling buruk adalah sebagian besar religius sering kali mengeluarkan argumentum ad hominem dibanding melakukan dialektika kritis untuk menentang orang yang tidak sepaham.

Sekarang, saya akan menjawab pertanyaan pada sub topik nomor 3. Jika Tuhan memang ada, mengapa masih ada kejahatan atau tindakan tidak bermoral di muka Bumi? Dan mengapa Tuhan tidak memusnahkan semua orang jahat agar manusia bisa hidup damai sejahtera? 

Pertama, karena Tuhan sebetulnya tidaklah eksis. Tuhan hanyalah entitas niskala hasil imajinasi manusia karena pada zaman dahulu mereka gagal untuk menjelaskan fenomena-fenomena secara logis. Sehingga, cara paling mudahnya adalah dengan mengaitkan kepada hal transendental. Atau istilah kasarnya menganggap segala fenomena itu sebagai hal superior di luar nalar manusia. 

Contohnya, orang zaman dulu gagal menjelaskan matahari secara saintifik. Pada akhirnya, mereka menuhankan dan menyembah matahari karena dianggap sebagai hal superior di luar nalar mereka. 

Faktor geografis dan antropologis juga ikut memengaruhi pikiran manusia dalam mengimajinasikan dan mempersepsikan Tuhan. Maka dari itu, konsep Tuhan atau Dewa selalu berbeda dalam agama atau aliran kepercayaan di setiap sudut Bumi. Intinya, manifestasi Tuhan akan selalu terpengaruh oleh pengalaman kehidupan. 

Sigmund Freud bahkan lebih frontal lagi. Dalam buku Ateisme Sigmund Freud yang ditulis oleh Hans Kung, ahli psikoanalisis asal Austria itu berpendapat bahwa Tuhan hanyalah suatu objek hasil konstruksi manusia untuk memenuhi hasratnya. Dalam kata lain, sebetulnya manusia lah yang menciptakan Tuhan, sebab manusia adalah subjek sedangkan Tuhan adalah objek. Pernyataan Freud tersebut bisa dipertanggungjawabkan validitas-nya karena ia berbicara dari sudut pandang psikologi, yang mana itu adalah bidang keahliannya. 

Kedua, karena Tuhan merupakan ciptaan manusia, otomatis agama pun bukan datang dari Tuhan, melainkan hanya doktrin dari manusia yang memaksa kita untuk mengedepankan nurani dibanding akal. Agama menawarkan konsep bahwa setelah mengalami kematian, orang yang berbuat baik maka akan mendapatkan balasan surga, dan orang yang berbuat buruk akan mendapatkan balasan neraka. Padahal sejauh ini tidak pernah ada manusia yang membagikan foto langsung dari surga dan neraka. “Kita hanya bisa membuktikan surga dan neraka ketika sudah mengalami kematian,” katanya. Namun tetap saja alasan itu terlalu utopis dan tidak bisa diterima oleh akal sehat karena tidak ada bukti empiris.

Saya pikir, betul apa kata Nietzsche bahwa agama diciptakan oleh para ubermensch agar manusia taat dan patuh terhadap nilai-nilai moral konservatif supaya tidak merugikan manusia lainnya. Para moralis itu berusaha merepresi kehendak bebas manusia demi terciptanya keharmonisan dalam kehidupan. Tentu saja itu adalah tujuan yang adiluhung.

Namun ironinya, agama juga terkadang menjelma menjadi hal mengerikan jika berada di tangan orang yang tenggelam dalam keimanan buta. Karena dalam sistem agama yang kaku dan konservatif, perkembangan individu dan komunal akan mengalami stagnasi. Sejarah sudah membuktikan itu. Salah satu contoh fenomenal adalah Eropa. Dahulu, sebelum era Renaisans, Eropa sangatlah suram akibat perlakukan otoriter pemerintah yang fanatik dengan agama. Namun, ketika pasca Renaisans, Eropa sangat maju bahkan bisa melakukan banyak ekspansi ke setiap sudut Bumi. Atau contoh yang lebih konkret, lihat saja negara-negara sekular, mereka cenderung lebih maju dibandingkan negara religius.

“Ada agama saja masih banyak yang berbuat jahat, apalagi tidak ada agama.” Alasan tersebut sangat klasik. Karena pada kenyataannya, negara-negara sekular di Skandinavia memiliki tingkat kriminalitas yang cenderung rendah dibandingkan negara-negara religius. Pada faktanya, jutaan manusia di penjara yang punya rekam jejak kejahatan sebagian besar adalah orang beragama dan mempercayai Tuhan.

Lalu, apakah orang yang tidak mempercayai agama dan Tuhan akan berlaku sesuka hati mengikuti keinginan tanpa takut dosa? Tentu saja tidak. Karena, kembali lagi, tidak beragama belum tentu tidak bermoral. Lagi pula, suatu keinginan dalam diri manusia selalu bertentangan dengan keinginan lain agar hidupnya stabil. Misalnya, keinginan membunuh orang akan selalu bertentangan dengan keinginan hidup tenteram tanpa masuk penjara. Hanya orang-orang tidak waras lah yang selalu mengikuti hasrat primitif.

Hal tersebut juga berkaitan dengan teori psikoanalisis Freud tentang tiga struktur kepribadian manusia yaitu id, ego, dan superego. Sederhananya, id adalah hasrat primitif manusia yang sangat bersifat hewani; superego adalah nilai-nilai moral yang membatasi id; ego adalah wasit dalam pertarungan antara id dan superego. Jadi, jika di dunia ini tetap ada orang jahat, itu karena superego dalam diri mereka kalah oleh hasrat id yang primitif. Faktor utama yang membuat superego-nya kalah adalah karena lingkungan sosial dan pengalaman kehidupan, sama sekali bukan karena Tuhan. 

Ketiga, karena Tuhan dan agama merupakan ciptaan manusia, otomatis segala nilai moral yang ada dan berlaku bukanlah datang dari Tuhan, melainkan konstruksi manusia untuk menunjang kebutuhannya. Maka dari itu, kejahatan akan selalu ada karena pada dasarnya manusia memiliki kehendak bebas. Manusia bisa membuat nilai moral sekaligus merusaknya. Analoginya sama seperti koruptor yang merancang Undang-Undang tetapi dia sendiri yang melanggarnya. Itu semua murni karena insting dan hasrat alamiah dari manusia. 

Mungkin para religius bisa saja berdalih bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam setiap kejahatan yang ada di muka bumi. Tetapi itu hanyalah sebuah paradoks yang kontradiktif. Bagaimana tidak, Tuhan yang katanya Mahakuasa serta memiliki otoritas penuh terhadap manusia tidak ikut campur untuk menangani kejahatan. Kalau begitu, artinya Tuhan membenci kejahatan namun di sisi lain merestui adanya kejahatan. 

Keempat, jika semuanya buatan manusia, otomatis kitab suci pun buatan manusia pula. Jika ingin lebih ekstrem, kitab suci bisa dipandang seperti karya sastra yang berisikan realitas dunia namun dibumbui dengan hal-hal fiksional. Layaknya karya sastra pada umumnya, kitab suci juga menggunakan bahasa yang mengedepankan estetika sehingga menimbulkan multitafsir dan ambiguitas. Akan tetapi, sampai saat ini kitab suci masih eksis dijadikan pedoman hidup oleh umat beragama karena dipercaya murni datang dari Tuhan melalui perantara para nabi, atau kita familier dengan istilah ‘wahyu’. 

Namun, timbul suatu pertanyaan penuh keraguan yang berkutat di kepala saya. Apakah kita juga sebagai manusia biasa—tidak memiliki gelar nabi—jika mendapatkan inspirasi atau ide secara spontan itu datang dari Tuhan? Apakah itu juga bisa disebut wahyu? Apakah ada perbedaan antara wahyu dengan inspirasi atau ide? Apakah wahyu turun melalui suara dari langit, bisikan gaib, atau imajinasi layaknya manusia pada umumnya? Saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang logis dan empiris tentang itu.

Sejauh ini, saya berpikir bahwa nabi sama saja seperti cendikiawan atau filsuf, hanya saja nabi disakralkan oleh para domba-dombanya. Karena pada faktanya, hampir semua nabi mendapatkan gelar kenabian bukan sebab diafirmasi oleh orang lain. Namun mereka mengklaim bahwa dirinya adalah seorang nabi yang mendapatkan wahyu dari Tuhan sehingga lambat laun banyak orang yang percaya. Kalau memang betul utusan Tuhan, pasti mereka tidak akan mengklaim diri sendiri sampai-sampai mendapatkan perlawanan yang hebat dari masyarakat, dong?

Lagi pula, jika memang segala fenomena-fenomena dalam kitab suci bukanlah hal fiksional, mengapa hal-hal fantastis dalam kitab suci tidak terjadi di masa sekarang? Kita semua pasti sepakat bahwa kisah penciptaan manusia dari tanah, banjir besar di seluruh dunia, ibu hamil tanpa ayah, hidup dalam perut ikan paus, kebal terhadap api, dan terbang ke langit dalam waktu satu malam hanya terjadi di masa lampau yang tidak bisa divalidasi kebenarannya. Wajar saja ketika ilmu pengetahuan rasional semakin berkembang, maka semakin banyak pula orang yang skeptis terhadap agama.

Konklusinya, saya berpendapat bahwa Tuhan tidak eksis, agama hanya produksi manusia, dan nilai moral hanya konstruksi sosio kultural. Jadi, yang eksis hanyalah manusia. Tidak salah jika Sartre selalu menegaskan bahwa eksistensi itu mendahului esensi. Segala perilaku manusia murni karena kehendak bebas manusia itu sendiri. Maka dari itu, Tuhan tidak pernah bisa menumpas kejahatan di dunia ini. Toh Tuhan sendiri merupakan hasil imajinasi manusia.

Para theis selalu mengatakan bahwa ateis itu dangkal, bodoh, terlalu positivistik, dan sebagainya. Padahal mereka pun hanya berkutat dalam keyakinan dan argumentasi penuh kiasan yang tidak bisa dibuktikan. Karena setelah saya melakukan repetisi pembacaan, pembahasan yang mendukung eksistensi Tuhan selalu saja spekulatif. 

Saya pribadi bukan tidak mempercayai hal metafisika. Saya percaya metafisika sebagai hal yang tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan. Oksigen dan listrik, misalnya. Kedua hal tersebut tidak bisa dilihat tapi bisa dirasakan. Tetapi Tuhan dan entitas gaib lainnya apakah bisa dirasakan secara nyata? Apa rumus kimianya? Tentu tidak pernah bisa dibuktikan. 

“Kita akan menemukan Tuhan di saat dalam kesulitan,” kata para teis. Itu sebetulnya adalah argumen yang sangat-sangat lemah. Sederhana saja. Mereka bisa bertemu Tuhan dalam kesulitan karena sedari kecil dijejali konsep Tuhan, dan sudah mengakar dalam kepalanya. Kalau kata Freud ini adalah pelarian dan pencarian keamanan yang diciptakan manusia.

Coba saja ada seorang manusia yang dari kecil hidup sendirian di tengah hutan. Tidak pernah ada yang mengenalkannya konsep Tuhan. Ketika satu saat ia mengalami kesulitan dalam hidupnya, saya yakin betul bahwa orang itu tidak akan bertemu Tuhan, sebab sejak kecil tidak ditanamkan keyakinan tentang Tuhan. 

“Jika nanti kita mati dan ternyata Tuhan itu tidak ada, toh tidak ada ruginya. Tapi kalau Tuhan itu ada, tentu saja sangat rugi karena masuk neraka. Apa ateis tidak takut jikalau Tuhan betul ada? Jadi lebih baik percaya agar tidak rugi.” 

Pernyataan sekaligus pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para teis seperti di atas adalah jenis Pascal’s wagers. Hal tersebut sebetulnya sudah banyak dibahas. Namun saya akan coba mengelaborasikan lagi dalam artikel ini. Meski di lain sisi, saya malas karena pembicaraan untung rugi itu sangat terkesan murahan sebab berusaha mempercayai Tuhan dengan alasan perjudian. 

Baik. Sebelum beranjak ke jawabannya, kita harus mengetahui terlebih dulu bahwa di dunia ini ada lebih dari 2700 hal konseptual mengenai Tuhan atau Dewa yang tercatat secara historis. Bahkan menurut World Population Review, ada lebih dari 4000 agama serta kepercayaan, dan sebagian besar mengajarkan konsep surga dan neraka. Memang sekarang hanya ada beberapa agama yang popular di dunia. Tetapi, sistem kepercayaan kuno—seperti Yunani dan Mesir—telah eksis selama berabad-abad sebelum disingkirkan dan digantikan oleh agama besar yang ada saat ini. 

Karena agama dan konsep Tuhan terlalu variatif, maka kita coba reduksi saja agar tidak terlalu rumit. Taruhlah hanya ada 100 agama atau aliran kepercayaan yang mengajarkan konsep surga dan neraka. Jika hanya ada satu agama yang benar, maka perbandingannya 1:100. Tentu saja itu probabilitas kemenangan yang sangat kecil untuk bermain judi. Gambler handal pun tidak akan mau mengambil risiko konyol semacam itu. 

Jika kita berbicara persentase. Anggaplah Kristen adalah agama yang benar, maka hanya akan ada 31.11% orang di dunia ini yang masuk surga, sedangkan 68.89% sisanya masuk neraka karena memiliki agama yang salah. Jika Islam adalah agama yang benar, maka hanya ada 22.90% orang yang kelak masuk surga, sedangkan 77.1% sisanya adalah penghuni neraka. Begitu pun seterusnya jika hanya ada satu agama saja yang benar. Data tersebut didapatkan dari Pew Research Centre: Religion & Public Life. 

Kalau pun ada salah satu agama yang benar, tetap saja miliaran manusia—termasuk yang sudah wafat—lebih banyak yang masuk neraka. Dosen di kampusmu, guru di sekolahmu, musisi favoritmu yang ada di daftar teratas pemutar musik, aktor yang selalu kamu pasang wajahnya di status WhatsApp, atau bahkan keluargamu sendiri berpotensi besar untuk masuk neraka.

Dengan probabilitas yang sangat kecil itu, artinya teis dan ateis pun memiliki potensi salah yang sama. Hanya saja, saya sebagai non believier—mungkin sama seperti ateis lainnya—tidak ingin berjudi untuk hal yang konyol. Karena waktu yang harusnya dihabiskan untuk beribadah bisa saya gunakan untuk kegiatan produktif lain yang bisa menghasilkan benefit maupun profit. Saya tidak takut dengan neraka, seperti halnya saya tidak takut untuk menduduki bantal meski mitos berkata bahwa itu bisa membuat pantat kita bisulan.

Selain itu, berdasarkan pola yang saya lihat, sebagian besar orang memilih salah satu agama bukan karena pengalaman atau hasil riset yang objektif. Tetapi, mereka memilih karena pengaruh dari faktor keturunan dan lingkungan sosial di mana mereka dibesarkan. Ini fakta yang tidak bisa disangkal.

Namun, terlepas dari semua itu, saya tidak pernah ada masalah dengan agama maupun umatnya selagi itu tidak merugikan diri saya. Saya juga selalu menerapkan sikap ilmiah dalam diri saya. Sikap ilmiah di sini adalah mampu menerima kebenaran baru jika ada yang lebih valid dan objektif dari keyakinan saat ini. Sikap tersebut seperti halnya saya mengingkari teori gravitasi Newton ketika Einstein telah berhasil menemukan konsep yang lebih valid. Artinya, jika suatu saat ada tesis tentang agama dan Tuhan yang lebih masuk akal, maka saya akan mengakui kesalahan saya, lalu kemudian mempercayainya.

Setelah membaca tulisan ini, mungkin ada beberapa orang yang akan semakin yakin bahwa filsafat dapat menghancurkan keimanan serta keyakinan akan agama dan Tuhan. Tapi saya berani mengatakan bahwa pemikiran tersebut salah besar. 

Russell dalam bukunya yang berjudul Sejarah Filsafat Barat pernah mengatakan bahwa “filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah ranah sains dan agama”. Artinya, filsafat bisa juga digunakan sebagai senjata untuk memperkuat keimanan terhadap agama seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina atau Thomas Aquinas. Jadi, jangan pandang filsafat sebagai sesuatu yang mengerikan. Filsafat justru mengajarkan kita caranya berpikir sistematis, logis, komprehensif, dan radikal. 

Referensi:

Harari, Yuval. N. (2021). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: Penerbit KPG.

Kung, Hans. (2016). Ateisme Sigmund Freud: Ketegangan Radikal Psikologi dan Spiritual. Yogyakarta: Basa Basi.

Lika, Zahma. (2021) Nietzsche Membunuh Tuhan. Yogyakarta: Narasi.

Russell, Bertrand. (2020). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

https://worldpopulationreview.com/

https://web.archive.org/web/20200615053333/https://www.pewforum.org/2015/04/02/religious-projection-table/2010/number/all/

19 Agree 9 opinions
10 Disagree 6 opinions
19
10
profile picture

Written By riyadh_arasyi

Hanya seorang mahasiswa kupu-kupu pecinta ilmu Humaniora.

This statement referred from