Metafisika : Jawaban Alternatif Atas Krisis Eksistensi Ketuhanan Dalam Masyarakat Postmodern.

profile picture oni_saputra
Humaniora - Other

Perdebatan teologi masyarakat postmodern membawa sebuah pertanyaan mengenai relevansi Tuhan dalam kehidupan manusia. Hal ini menjadi lebih penting dibandingkan dengan pendapat mengenai bukti keberadaan Tuhan yang dapat dijelaskan secara rasional atau tidak. Sebagian besar masyarakat postmodern memandang Tuhan sebagai hal yang tidak ada, namun ada juga yang masih percaya eksistensi-Nya sehingga menjadikan perdebatan mengenai relasi Tuhan dan manusia tidak berkesudahan. Nilai dan arti Tuhan dalam masyarakat postmodern telah merangkai bentuk-bentuk Tuhan baru. Setiap orang kemudian memiliki kapasitas untuk ditransformasi dan mentransformasi Tuhan, seolah mereka mempercayai bahwa Tuhan adalah hasil ciptaan dan kreasi dari pikiran manusia itu sendiri.

Persoalan butuh dan tidaknya akan Tuhan, bagi masyarakat postmodern, mengandaikan adanya pengharapan akan kebebasan secara eksistensial. Manusia yang bebas memang tidak perlu akan superioritas. Ia berambisi berjalan sendiri, menelusuri kemungkinan-kemungkinan dalam hidupnya sendiri. Dalam kaitan ini agama tradisional terasa mengekang kebebasan eksistensial tersebut. Manusia, oleh doktrin agama tradisional, dikehendaki untuk melakukan ritual-ritual religi tanpa kuasa yang melampaui kesadaran. Dengan begitu, kuasa akan eksistensi diri manusia terhambat oleh “kepentingan” kaku agama.

Peran agama tradisional juga tidak sepenuhnya menjawab atas masalah yang telah menumbuhkan krisis kepercayaan sehingga berakibat pada tidak tersalurkannya perhatian yang begitu besar dari sebagian kita. Banyak yang terlihat tekun menjaga ritual-ritual agama, akan tetapi tidak ada Tuhan dalam hatinya. Entah karena berpikir bahwa Tuhan ada atau tidak, sebab menurutnya Tuhan yang transenden berada pada suatu tempat yang jauh sekali hingga di luar dari jangkauan dunia manusia, atau telah mewarisi sebuah agama tanpa diberitahu esensi di balik itu semua. keimanan atas Tuhan menjadi tidak lagi murni.

Diskursus ini kemudian berdampak cukup berarti dalam tradisi teologi dunia postmodern. Manusia secara bertahap mulai meninggalkan kehidupan beragama, karena problem kehidupan sehari-hari telah terpenuhi dan terselesaikan oleh jawaban-jawaban melalui kecanggihan sains dan teknologi. Sehingga akibat ekstremnya adalah sebuah kewajaran atas kehidupan manusia yang mulai meninggalkan kehidupan ber-Tuhan (dalam pengertian agama tradisional). Karena Tuhan yang irrasional, transenden, dan spiritual itu sudah “mati” dalam tradisi pemikiran sains dan kehidupan postmodern.

Sekalipun ada usaha sebagian ilmuwan untuk menelusuri jejak Tuhan, dari sini sains sudah mulai bergeser keluar dari jalurnya yang positivistik dan rasional. Namun hal itu tidak menegaskan adanya penemuan Tuhan baru yang lalu disembah sebagaimana agama tradisional, tidak. Sains terlalu lemah dan bahkan tidak dapat memberi artikulasi spiritual terhadap definisi Tuhan barunya sebagaimana terdapat dalam agama tradisional. Pemikiran postmodern dan derasnya kemudahan teknologi telah mengasingkan manusia dari kehidupan spiritual, kehidupan batiniah, yang kenikmatannya tidak pernah mereka temukan dalam tradisi pemikiran masyarakat postmodern.

Bagi yang masih mempercayainya, Tuhan didekati sebagai yang mungkin, yang terlibat dengan hidup kita. Juga akan dapat disimpulkan pada penjelasan-penjelasan metafisika, epistemologi, dan etika. Kemudian akan terlihat kaitannya dengan cara pandang dekonstruktifisme terhadap konsep tentang Tuhan.

Dari Religius ke Pencarian Moralitas.

Dalam kadar tertentu, setiap manusia memiliki pengalaman religius masing-masing, meski tanpa bantuan ritual-ritual religi. Artinya, secara batin, ia memiliki pandangan sendiri terhadap bagaimana eksistensi diri, moralitas dan relasinya dengan Otoritas Tertinggi dalam kehidupan religiusnya. Karena itu, setiap manusia sebetulnya tidak berkuasa untuk menghindar dari hadirnya Tuhan dalam pemahaman masing-masing, termasuk Tuhan yang berbentuk “Moralitas”. Moralitas dalam Kamus Filsafat diartikan sebagai adat, kebiasaan, cara, tingkah 
laku, kelakuan, cara hidup, tabiat (moralis/mores).

Diartikan juga sebagai sebuah kegiatan manusia yang dapat dipandang baik atau buruk sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, semua hal yang baik harus dilakukan, dan yang jahat dihindari. Oleh sebab itu argumen wujud Tuhan tidak hanya dibuktikan oleh penciptaan alam semesta saja. Namun manusia juga dapat membuktikan wujud dari Tuhan itu melalui pengalaman dan pengetahuan yang ada dalam diri manusia itu sendiri.

Jika dipisahkan dari kerangka pemikiran dan persepsi kitab suci, Tuhan bukan lagi menjadi otoritas kitab suci, Tuhan bukan lagi milik agama dan manusia yang memeluk agama. Tuhan tidak tidak lagi dikaitkan dengan urusan ada dan pengada, melainkan Tuhan berperan mengisi wilayah hampa dalam pandangan metafisika dan aliran hukum kodrat (natural law).

Menelusuri Akar Metafisika Moral.

Tuhan merupakan suatu hal yang mutlak tidak dapat ditangkap oleh indera manusia. Teologi naturalis merupakan aliran metafisika yang mengkaji tentang esensi ketuhanan ini. Filsafat ketuhanan mendasari pembuktian kebenaran adanya Tuhan melalui penalaran manusia. Filsafat ini tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, dari hal tersebut ada beberapa pembuktian filosofis yang berusaha membukakan pintu-pintu menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi, dan moral. 

Terjadilah perpaduan yang mendalam antara agama dan penalaran, antara aspirasi moral dan sikap logika yang memuliakan segala yang baka. Hal ini bersumber dari Pythagoras, filsuf Yunani Ionia kuno dan perintis aliran pythagoreanisme. Dijabarkan oleh Socrates, Plato, Aristoteles, hingga Plotinus. Semua konsepsi tentang suatu dunia yang kekal, yang menampilkan diri melalui intelektual dan bukan lewat indera, bersumber dari Pythagoras.

Plato kemudian mengemukakan pemikiran tentang sesuatu yang tidak berubah dipahami oleh kecerdasan dan akal.

"Sesuatu yang berubah dipahami oleh opini. Dunia ini, sebagai sesuatu yang kasat mata, tidak mungkin abadi, dan tentu diciptakan oleh Tuhan. Karena Tuhan bersifat baik, Ia menciptakan dunia berdasarkan contohnya yang kekal, tanpa ada rasa cemburu, Ia menghendaki segala sesuatu sedapat mungkin mirip dengan Dirinya sendiri. Tuhan menginginkan agar segala sesuatu bersifat baik, tidak ada yang buruk, sebisa-bisanya. Karena mengetahui bahwa semua kenyataan yang kasat mata tidak pernah diam, namun senantiasa bergerak dengan cara yang tidak tetap dan tidak tertib, maka dengan ketidaktertiban itu ia ciptakan ketertiban."

Plotinus kemudian melihat pandangan Plato tentang Tuhan ini sebagai pandangan yang tidak menempatkan Tuhan pada posisi sebagai yang tidak terbatas, dalam arti penuh dengan kekuatan, dan maha kuasa, tapi justru sebagai yang tidak berkekuatan (dalam artian Tuhan tidak memerlukan daya apapun atau melakukan apapun untuk menunjukkan kekuasaan-Nya). Plotinus, secara kritis memberi ulasan menarik tentang fundamental terhadap adanya Tuhan yang ia yakini. Menurut pengertian Plotinus, bahwa fundamental terhadap Tuhan Yang Esa adalah sosok yang agak kabur.

"Ia kadang disebut Tuhan, kadang Otoritas Tertinggi, ia mengatasi Ada, yang merupakan tahap pertama yang bersumber dari yang Esa. Kita hanya mengatakan Dia. Adalah keliru jika mengatakan Tuhan sebagai Segalanya, sebab Tuhan mengatasi Segalanya. Tuhan hadir dalam setiap hal. Yang Esa bisa hadir tanpa harus tiba: sementara dia tak dimana-mana, diapun bukanya tak dimana-mana. Kendati Yang Esa kadang disebut sebagai yang Baik, dikatakan juga bahwa dia mendahului yang Baik dan yang Indah. Kadang, Yang Esa tampak menyerupai tuhan. Tuhan tidak memerlukan apa yang tercipta darinya, dan mengabaikan dunia ciptaan ini. Yang Esa tak terdefinisikan, dan mengenai dia kebenaran lebih banyak terkandung dalam sikap diam daripada dalam kata-kata yang manapun."
(Russell, 1945).

Terciptanya Etnik Religius Postmodern Dengan Satu Ide Universal.

Sebelum postmodern, manusia, dalam banyak situasi, mendapatkan identitas religinya berdasarkan tempat kelahiran. Sementara pada masyarakat postmodern, setiap orang dihadapkan pada apa yang disebut oleh sosiolog Peter Berger sebagai "penyimpangan yang mendesak". Pada dunia postmodern, setiap umat beragama merupakan penyimpangan, yang berarti seseorang tidak serta-merta terlahir sebagai umat agama tertentu, melainkan harus memilih untuk memeluk suatu agama. Meskipun itu hanya untuk mempertahankan identitas yang didapat dari lingkungan religius kita. Di dunia postmodern, seluruh agama di dunia, yang masing-masing dimaksudkan untuk memberi jawaban universal bagi pertanyaan terkait identitas manusia, telah dipaksa untuk memperhitungkan keberadaan agama yang lain. Kemajuan teknologi memungkinkan masyarakat penganut keyakinan tertentu merasakan aspek positif dan negatif, baik tindakan terpuji maupun hina seseorang yang mengatasnamakan agamanya sendiri. Umat beragama dan mereka yang skeptis, saling mengadu partikularisme masing-masing tentang realitas yang tidak terbantahkan.

Para masyarakat postmodern melakukan pencarian tuhan untuk realisasi diri yang lebih tinggi melalui perubahan pengalaman pribadi yang intens. Banyak dari mereka yang tidak tertarik bergabung kedalam kultus keagamaan. Biasanya mereka menggabungkan berbagai minat kedalam praktik spiritual mereka sendiri, kebatinan, dan praktik meditasi dari semua agama. Menggabungkan "fisika baru" dengan agama. Umumnya komposisi agama dunia didasarkan gagasan besar yang universal, misalnya pengorbanan, nabi, martir, pusat sakral, "orang-orang terpilih", kelahiran kembali, milenialisme-keyakinan akan era kedamaian dan kesempurnaan di akhir zaman. Dalam konteksi ini, nyaris semua komunitas agama harus merangkul identitas yang didasarkan Inti dari agama, yaitu moralitas.

Sampai tren postmodern akhirnya tetap, agama-agama yang dianut orang lain lebih rentan untuk dihancurkan melalui stereotipe yang buruk. Alternatif yang bisa dilakukan adalah mengembangkan pemahaman baru akan relasi antara agama-agama di dunia dan masyarakat yang ada. Pemahaman yang memungkinkan manusia untuk memeluk kepercayaannya, termasuk theisme lainnya, sekaligus berbagi kebijaksanaan dan kebajikan dengan satu sama lain dalam suasana saling menghormati dan memahami. Alternatif ini mensyukuri persamaan dan memahami perbedaan yang mencolok telah sepenuhnya berhasil dilakukan oleh kedua tokoh besar religius, Mohandas K. Gandhi dan Martin Luther King, Jr. Kedua pemimpin religius ini "menyebrangi" agama dan budaya aslinya menuju agama yang dianut orang lain, lalu kembali lagi dengan diri yang diperkaya oleh agama yang baru, tanpa kehilangan agamanya sendiri.

Pembahasan tentang persoalan Tuhan sangat luas sekali, wujud Tuhan yang 
dapat dibuktikan dengan argumen-argumen filosofis pada akhirnya juga memberikan ruang kepada manusia untuk dapat menentukan dan memilih kepercayaan yang akan dipegang dan dijalankan dalam kehidupannya. Manusia memiliki potensi akal yang lebih tinggi dibandingkan dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. untuk itulah manusia hendaknya mampu melihat akan adanya tanda-tanda dari wujud Tuhan dan juga kekuasaan-Nya menggunakan akal pikirannya sendiri.

Referensi :


Russell, Berterand. (1945). A History of Western Philosophy. London: George Allen & Unwin Ltd;

Browne, Lewis. (1956). The Wisdom of Israel: An Anthology. ‎Random House;

Trueblood, David. (1986). Philosophy of Religion, Terj. H.M. Rasjidi, Filsafat, Agama. Jakarta: Bulan Bintang;

Esposito, John L. (2002). World Religions Today. London: Oxford University Press;

Hawking, Stephen W. (2007). Teori Segala Sesuatu, Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta, Terj. Ikhlasul Ardi Nugroho. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;

Siswanto. Joko. (1998).  Sistem-Sistem Metafisika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;

11 Agree 2 opinions
4 Disagree 0 opinions
11
4

This statement referred from