Memilih Untuk Percaya, Memutuskan Untuk Berterimakasih
Udara yang kita hirup setiap harinya, alam semsta raya yang kita lihat sejauh mata memandang, saya rasa sudah cukup menjawab bagaimana ketidakteraturan dan keteraturan dipadupadankan menjadi satu kesatuan yang indah. Itu adalah karya Tuhan, Sang Pencipta. Saya adalah seorang kristiani yang tinggal di asrama dengan berbagai macam teman dengan latar belakang yang sangat beragam. Bahkan, saya memiliki teman yang atheis dan mengatakan bahwa Tuhan dan agama hanya buatan manusia semata. Awalnya, saya sempat berpikir demikian karena pandemi Covid-19 yang membuat keimanan saya menurun. Dahulu, saya aktif di gereja 24/7, akhirnya berhenti karena ada pergantian "tren" dan dominasi di gereja. Pada akhirnya, saya sadar bahwa gereja merupakan tempat beribadah yang di sana umat Tuhan berkumpul dan beribadah bersama. Akan tetapi, belum tentu kesatuan iman jemaat dapat merepresentasikan Tuhan.
Berbicara tentang kata "percaya" berarti sebuah "pilihan". Ketika kita telah yakin akan suatu hal, tentu kita akan memercayainya. Sebagai contoh, ketika kita memilih untuk percaya kepada alat elektronik A dan B, kita akan mencoba untuk menggunakannya saat pertama kali tanpa kita tahu barang itu berkualitas baik atau buruk sampai kita merasakan penggunaan dan kualitas alat tersebut. Setelah sebulan sampai dua bulan pemakaian, barulah kita bisa mengambil kesimpulan tentang alat tersebut. Sama halnya dengan keTuhanan. Orang yang selalu mempertanyakan dan mempelajari agama di dalam hidupnya sampai berhak memilih agama mereka masing-masing, adalah orang yang dikatakan bijaksana. Mereka selalu mempertanyakan. Akan tetapi, manusia dan Tuhan (Sang Pencipta) memiliki ruang dan dimensi yang berbeda. Bagi saya, atheis, agnostik, beragama Yahudi, Kristen, Islam, merupakan pilihan masing-masing orang. Hal tersebut tidak dibatasi oleh apapun. Tidak ada standar kebenaran dalam suatu agama; yang ada hanya bagaimana umat beragama tersebut hidup tidak merugikan manusia lain dan bisa berdamai dengan alam, dirinya, dan Tuhannya.
Eksistensi Tuhan terbatas tidak dapat dirasakan oleh indra manusia secara langsung, tetapi bagi saya eksistensi Tuhan tercermin dan terasa dari hati dan ketenangan. Ketika saya pergi ke Wakatobi, Sulawesi Selatan, saya melihat vegetasi bawah laut yang indah, lumba-lumba yang bermain dengan lucunya di Laut Banda, matahari yang bisa seindah itu menampakkan dirinya. Rasanya sangat indah. Di situlah saya percaya, Tuhan menunjukkan diri-Nya; lewat seberapa indahnya kasih Sang Khalik bagi hidup saya.
Akan terdapat banyak sekali pro-kontra terkait pernyataan saya. Bisa saja semua orang berkata bahwa reaksi alam dan sebagainya membentuk komoditas bawah laut sedemikian rupa. Akan tetapi, bagaimana ketidakteraturan dalam keteraturan tercipta dengan sangat presisi dan sistematis? Pasti ada yang mengontrol, dan yang mengontrol adalah Sang Pencipta.
Itulah yang menjadi alasan saya mencintai Tuhan saya pada akhirnya. Saya sadar bahwa diperlukan alasan jelas dalam setiap pengambilan keputusan, terutama keputusan beragama. Akan tetapi, apa esensi agama? Agama seakan dianggap sebagai sistem sosial yang menata masyarakat untuk beribadah. Apakah hal tersebut salah? Tidak. Apakah hal tersebut dianggap odoh? Juga Tidak. Teman-teman saya harus berusaha salat tepat waktu di tengah kegiatan kampus yang merajalela. Keluarga saya harus mempersiapkan dupa dan berbagai atribut lainnya untuk acara di Klenteng. Teman-teman sepelayanan saya harus berlatih ketika hendak pelayanan. Semuanya terasa sebagai organisasi. Jujur saya pasti akan memasukkan di CV atas prestasi atau kedudukan saya sebagai pengurus gereja. Ketika saya melihat dari sisi lain, inilah bentuk rasa cinta saya menyeimbangkan antara keinginan duniawi dengan surgawi. Apa yang bisa saya lakukan ketika saya mecintai Tuhan saya, saya akan melakukan segenap pelayanan saya dengan tulus dan ikhlas karena Tuhan sudah sangat baik bagi saya. Dengan semua pencapaian dan berkat yang Tuhan berikan, rasanya sangat tidak manusiawi saya hitung-hitungan dengan Tuhan.
Untuk apapun agamanya, kita tidak bisa melihat Tuhan secara langsung karena perbedaan dimensi yang ada. Akan tetapi, bukan berarti Tuhan tidak ada. Merasakan Tuhan adalah pilihan, memikirkan seberapa tingginya akal manusia bukan menjadi sebuah alasan.Hal terpenting adlaah hidup baik sebagai manusia dan berusaha maksimal melakukan yang terbaik bagi diri kita, sesama, dan Tuhan yang kita percayai.