Makna Tuhan dalam Budaya Jawa
Orang Jawa sangat posesif terhadap Tuhannya. Ada perasaan kasih dan hormat yang sangat besar terhadap Tuhannya . Sebagian orang mengatakan itu bukan akal sehat. Menurut saya pribadi, ini adalah tanda kedalaman "iman" dan tanda keberhasilan para pemimpin agama dalam menyebarkan iman.
Saya sering merenungi hidup, sebenarnya siapa saya dan siapa Tuhan saya. Dalam proses pergumulan dalam pemikiran sering harus memisahkan antara logika dan keyakinan akan keberadaan Tuhan di alam semesta ini.
Apakah Tuhan itu Ada?
Menurut hasil perenungan pribadi, jawaban yang saya temukan adalah sebagai berikut:
“Segala sesuatu di alam semesta ini pasti ada Penciptanya.
Terlalu banyak mode kebetulan ketika Big Bang tercipta tanpa pencipta.
Sang Pencipta pasti sangat hebat. Tentu saja, Dia yang begitu agung tidak dapat dijelaskan secara logis. Karena kalau bisa dijelaskan secara logika (nalar manusia), tentu dia bukan Tuhan. Saya beralasan bahwa sosok yang saya kagumi pastilah hebat dan tidak logis untuk dideskripsikan secara empiris. Jadi karena Dia adalah Maha Pencipta, masuk akal bagi saya untuk berpikir bahwa ada Tuhan yang harus saya sembah, dan menjadi tempat saya bersandar dan berlindung disaat terjadi banyak hal yang tidak masuk akal didunia ini."
Asumsi di atas membuat saya menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada.
Meskipun ada filosof/sufi/saintis yang seenaknya melontarkan pernyataan:
"Bahwa Tuhan Tidak ada dan menantang kuasa Tuhan secara empiris atau mencipta bentuk fisik?"
Sudahlah, tidak usah bingung.
Jadi di mana saya harus menemukan Tuhan?
Ternyata kita menemukan Tuhan di saat-saat paling ekstrim dalam hidup kita. Ada dua momen.
Yang pertama adalah saat kita begitu bahagia sehingga karena alasan tertentu kita secara otomatis merasa bersyukur atas "kekuatan yang memungkinkan itu terjadi".
Yang kedua adalah saat kita sangat tertekan/putus asa, pada saat kita merasa sendirian di tengah lautan luas yang gelap, sehingga tanpa sadar hati kita berbisik minta tolong kepada “yang maha perkasa yang sanggup menolong kita, untuk mendapatkan jalan keluar dari masalah ini ".
Jadi Tuhan mana yang saya sembah dan menjadikannya pelindung terpercaya dalam kehidupan ini?
Karena Tuhan dan agama adalah hal yang tidak logis, itu adalah pengalaman dan hak asasi manusia yang sangat pribadi saat ini. Dan tidak perlu diperdebatkan.
Bagaimana budaya Jawa memaknai Tuhan dan kehidupan?
Ternyata jauh sebelum agama Hindu dan Ibrahim masuk ke tanah Jawa, kebudayaan Jawa sudah memiliki landasan hidup dan kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan sebagai pembimbing kehidupan di bumi ini.
Menurut budaya Jawa, ada tiga konsep daur / tahapan hidup.
Pertama, disebut purwan atau wiwitan, artinya awal lahirnya manusia.
Kedua, disebut madya yang berarti langkah tengah, yaitu langkah seseorang yang menjalani kehidupannya dari bayi, anak – anak, dewasa hingga tua.
Ketiga, disebut wasana yang berarti akhir, yaitu seseorang yang menua kemudian mati.
Karena orang Jawa sangat memuja Tuhan, mereka dengan hormat menyebut Tuhan sebagai "Gusti Pangeran", menunjukkan bahwa Tuhan sebenarnya "bersinggasana" sebagai Raja alam semesta. Menurut masyarakat adat, pangeran berasal dari kata “pangegeran” yang berarti “melindungi, mengayomi, tempat berlindung”.
Bahasa Jawa juga memiliki istilah yang menarik untuk Tuhan yaitu “Tan Kena Kinaya Ngapa” yang artinya “tidak bisa disepertikan” atau “tak terlukiskan”, yang esa yang tidak bisa diduakan.Menurut logika kita, kita tidak dapat melukiskannya secara duniawi.
Karena “tak terlukiskan” hakikat Tuhan dalam bahasa Jawa adalah “kosong” atau “suwung”. Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tidak dapat dilihat atau dijelaskan.
Esensi Tuhan adalah "kekosongan abadi yang padat energi" sebagai "sesuatu yang agung" yang menutupi alam semesta, berisi segala sesuatu, baik ruang maupun waktu, keduanya imanen-transenden.
Tak terduga, tetapi memiliki energi yang luar biasa. Jadi semua benda di alam semesta bergerak sesuai dengan sifatnya. Dalam hal jarak, hubungan antara manusia dengan Tuhan dikatakan seperti “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, bahwa jarak antara Tuhan dan ciptaannya jauh tak terhingga dan
sekaligus dekat namun tak terjamah. Intinya hubungan manusia dengan Tuhan terasa jauh tak terhingga dan juga sangat dekat karena kita dan alam semesta adalah bagian dari Tuhan. Tuhan dapat bergerak dengan bebas di setiap hati. Bebas untuk menghubungi Nya. Energi ada di sekitar Anda. Orang Jawa sangat paham ketika masih hidup
bahwa Gusti Pangeran membutuhkan keseimbangan untuk menjalankan sistem alam semesta.
Keseimbangan hitam dan putih. Keseimbangan baik dan jahat. Keseimbangan kosmos, bahwa ada nasib baik dan nasib buruk.
Untuk menerima keseimbangan nasib, orang Jawa menggunakan filosofi “nrimo ing pandum”. Ditafsirkan kata demi kata, nrimo artinya menerima, ing artinya dalam dan pandum artinya pemberian. Terimalah dengan ikhlas semua yang telah Dia berikan dan perintahkan. Bahwa ini semua adalah bagian dari rencana dan aturan keseimbangan kosmik.
Pada abad -abad belakangan ini, orang Jawa Muslim/Kristen menyebut tuhan "Gusti Allah".
Selain “Nrimo ing pangdum” terdapat ungkapan “Gusti Allah Mboten Sare” (Tuhan tidak pernah tidur) yang dijadikan pedoman oleh orang Jawa agar juga tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, bahwa segala sesuatu dicatat dan diperhitungkan oleh Tuhan.
Bahwa Tuhan tidak pernah tidur karena setiap saat berkontribusi pada perputaran alam semesta. Dalam konsep ruang dan waktu yang lebih dalam, Tuhan tidak mungkin tidur karena semua momen yang kita alami untuk Tuhan bersifat sementara, langsung, dimulai dan diakhiri. Bagi Tuhan, masa lalu-sekarang-masa depan adalah paralel.
Sebelum kematian, budaya Jawa memandang Tuhan sebagai asal dan titik balik dari segala peristiwa. Jadi kematian bukan hanya pemisahan ruh, tetapi proses kembali ke asalnya, yang disebut "mulih mulo mulanira". Hidup hanya sementara, “Urip neng donyo iki mung mampir ngombe” bahwa hidup di dunia ini “berakhir” sebentar saja lalu melanjutkan perjalanan yang sesungguhnya setelah kematian.
Orang Jawa mengatakan bahwa kematian sebenarnya adalah awal dari kehidupan yang abadi dan sejati serta akhir dari perjalanan dunia fana.
Pada akhirnya pikiran dunia barat memang benar, bahwa Tuhan harus menjadi urusan pribadi, bukan urusan publik. Jadi apa kepentingan kita untuk umum, berbuatlah baik, baik untuk diri sendiri dan baik untuk masyarakat umum.
Karena ajaran setiap keyakinan/agama diharapkan membawa pesan perdamaian dan kebaikan.
Jebakan belajar mendalami iman / agama penganut monoteisme yang terlalu intensif adalah terletak pada, keyakinan sebagai yang paling benar, menganggap orang berkeyakinan lain itu salah dan cenderung merendahkannya. Ini jelas bertentangan dengan asal muasal tujuan munculnya agama di muka bumi ini, yaitu sebagai nilai – nilai atau pedoman yang menata kehidupan manusia menjadi lebih teratur, lebih baik dan lebih damai.