KUHP Baru di Indonesia: Menaikkan Taraf Hidup atau Makin Menyengsarakan Rakyat ?
Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru di Indonesia telah menjadi perdebatan yang panjang. Disetujui pada tahun 2023, kode hukum ini membawa sejumlah perubahan yang mencolok, baik dalam substansi hukum maupun dalam penerapan norma sosial di masyarakat.
Namun, meski diharapkan dapat memperbarui sistem hukum Indonesia, KUHP baru malah menuai kritik keras dari dalam negeri dan luar negeri, terutama terkait dengan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan sipil.
Sejak awal, banyak pihak yang memperingatkan bahwa pengesahan KUHP baru berpotensi menekan kebebasan berpendapat dan beragama, serta memberi dampak negatif terhadap hak-hak dasar individu. Organisasi internasional seperti Human Rights Watch (HRW) bahkan menyebutkan bahwa aturan baru ini bisa jadi "petaka" bagi hak asasi manusia di Indonesia. Hal ini menjadi semakin jelas dengan adanya pasal-pasal dalam KUHP yang kontroversial, yang tidak hanya membatasi kebebasan berpendapat, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Kontroversi Pasal-Pasal KUHP Baru
Beberapa pasal dalam KUHP baru yang menjadi sorotan tajam antara lain:
1. Pasal 218-219: Penghinaan Presiden Pasal ini mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dapat dijatuhi pidana. Ini berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, terutama bagi pihak-pihak yang mengkritik pemerintah, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
2. Pasal 240-241: Penghinaan terhadap Lembaga Negara Di pasal ini, penghinaan terhadap lembaga negara, termasuk DPR dan MA, juga diancam dengan pidana. Ini mempersempit ruang bagi kritik terhadap institusi negara yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi yang sehat.
3. Pasal 412: Hidup Bersama Pasal ini mengkriminalisasi hubungan hidup bersama di luar perkawinan yang sah, mengingatkan pada aturan yang lebih konservatif dan bisa memperburuk ketegangan sosial, terutama bagi kelompok minoritas dan mereka yang memilih untuk hidup dalam hubungan non-konvensional.
4. Pasal 278: Penghinaan Proses Peradilan Kritik terhadap proses peradilan, yang seharusnya menjadi alat kontrol terhadap pemerintah, kini bisa berisiko dikenai sanksi pidana. Hal ini tentu bisa menghambat upaya reformasi hukum yang lebih adil.
5. Pasal 300: Tindak Pidana Agama Pasal ini memungkinkan pengadilan untuk menghukum seseorang yang dianggap melakukan tindakan yang menodai agama tertentu, tanpa memberi ruang bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang merupakan hak dasar setiap individu.
6. Pasal 188: Komunisme dan Ideologi Marxisme-Leninisme Dengan pengaturan tentang komunisme, marxisme, dan leninisme yang masih dipandang sebagai ancaman, pasal ini bisa menciptakan iklim ketakutan politik di kalangan masyarakat, meskipun tidak ada indikasi konkret bahwa ideologi tersebut berkembang dalam kehidupan politik Indonesia saat ini.
7. Pasal 256: Pendapat di Muka Umum Pasal ini membatasi kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum, terutama terkait dengan demonstrasi atau kritik terhadap kebijakan pemerintah, yang tentu mengurangi ruang bagi demokrasi untuk berkembang secara sehat.
8. Pasal 252: Pidana Santet Dalam masyarakat yang masih kental dengan kepercayaan terhadap ilmu hitam atau santet, pasal ini dapat membuka celah bagi penyalahgunaan hukum, dengan menindak individu yang dianggap melakukan praktik tersebut tanpa bukti yang jelas.
9. Pasal 598: Pidana Pelanggaran HAM Berat Meskipun mengatur tentang pelanggaran HAM berat, pasal ini dikhawatirkan akan digunakan untuk menyembunyikan pelanggaran-pelanggaran tertentu yang belum diselesaikan, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran masa lalu.
10. Pasal 603-604: Hukuman bagi Koruptor KUHP baru juga memasukkan pasal-pasal yang mengatur hukuman terhadap koruptor. Meski demikian, banyak yang meragukan apakah pengaturan ini akan benar-benar memberikan efek jera, mengingat ketidaktegasan dalam pemberantasan korupsi di masa lalu.
Tantangan terhadap Hak Asasi Manusia
Jika dilihat dari perspektif internasional, KUHP baru ini tampaknya bertentangan dengan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (Treaty of Rome, 1950), serta International Covenant on Civil and Political Rights (New York Convention, 1966). Konvensi-konvensi ini menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam atau merendahkan martabat manusia.
Terdapat pula Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984), yang mengharuskan negara-negara untuk menghapuskan praktik penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi. Namun, pasal-pasal dalam KUHP baru justru memperkenalkan bentuk-bentuk kriminalisasi yang lebih luas terhadap kebebasan individu, yang bisa memicu penyalahgunaan kekuasaan.
Kritik ini semakin tajam dengan penolakan dari negara-negara Uni Eropa yang memperingatkan Indonesia tentang potensi pelanggaran hak asasi manusia yang lebih luas. Investor internasional juga memperlihatkan keraguan terhadap keberlanjutan investasi di Indonesia apabila kebebasan sipil dan hak asasi manusia terancam, yang pada gilirannya bisa menurunkan taraf hidup rakyat.
Apakah KUHP Baru Meningkatkan Taraf Hidup ?
Secara teoritis, KUHP baru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap masyarakat melalui pengaturan yang lebih jelas dan terstruktur. Namun, jika dikaji lebih dalam, sejumlah pasal justru dapat menambah beban hidup masyarakat, terutama mereka yang berada dalam posisi rentan atau yang memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah.
Ketika kebebasan berekspresi dibatasi, ruang bagi masyarakat untuk mengkritik dan memperbaiki kebijakan pemerintah menjadi semakin sempit. Jika kebebasan individu tidak dihargai, dan jika negara tidak dapat memberikan keadilan yang adil dan merata, maka yang terjadi justru adalah peningkatan ketidakpuasan sosial dan kemiskinan struktural.
Pengesahan KUHP baru ini memang bertujuan untuk mereformasi sistem hukum di Indonesia, tetapi substansi yang dihadirkan justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada solusi. Alih-alih memperbaiki sistem hukum, banyak pihak yang merasa bahwa KUHP baru ini malah memperburuk keadaan, dengan semakin banyaknya pembatasan terhadap kebebasan individu dan potensi pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai negara yang telah meratifikasi berbagai instrumen internasional terkait hak asasi manusia, Indonesia perlu memastikan bahwa setiap kebijakan dan undang-undang yang dibuat tidak hanya mengutamakan kepentingan negara, tetapi juga menghargai dan melindungi hak-hak dasar setiap individu. Sebab, hanya dengan menghargai kebebasan dan hak asasi manusia, negara dapat benar-benar meningkatkan taraf hidup rakyatnya secara adil dan merata.