Kebutuhan manusia akan adanya pegangan
Tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan manusia adalah ingin dapat menemukan hal-hal yang di luar pemahamannya. Manusia ingin mengetahui apapun dan merasa mampu untuk dapat menciptakan kondisi yang terkontrol serta tertata dengan baik menurut apa yang dipikirkannya. Manusia cenderung tidak menyukai ketidakpastian. Tidak ingin hidup dalam kebimbangan dan ketidakjelasan. Ingin agar semua berjalan dengan baik. Padahal alam yang senyatanya tidak mengenal apa itu bentuk maupun konsep. Alam tidak mengenal konsep baik dan buruk, panas dan dingin, hitam dan putih. Alam merupakan “x” yang tidak terdefinisikan dan tidak diketahui.
Untuk menghindari campur aduk yang membingungkan terhadap realitas yang senyatanya, manusia membahasakannya dengan banyak konsep. Herakleitos menyampaikan bahwa alam suka menyembunyikan dirinya. Alam tidak dapat ditangkap, tidak bisa dikonsepkan, atau kata heideger, tidak dapat dimetafisikakan. Sedangkan manusia ingin dan butuh kebenaran dan kejelasan. Manusia ingin menangkap senyatanya. Tak ingin kebingungan. Manusia menghendaki adanya kepastian jawaban atas semua hal yang tidak dapat ditemukan jawabannya. Dan di atas semua hal yang tidak dapat dijawab, manusia butuh sesuatu yang “paling” dari segalanya.
Karena kebutuhan akan suatu jawaban akhir, maka ada yang dinamakan sebagai Yang tertinggi, yang dapat dijunjung dan dijadikan pusat hidup. Kita mengenalnya dengan sebutan Tuhan. Tuhan yang kita kenal dalam agama. Dan lebih dari itu, kata Tuhan secara luas mengacu pada apa saja yang dituhankan oleh manusia. Dalam La Gaya Scienza, Nietzsche mengatakan bahwa “Manusia adalah binatang pemuja”, jika pujaannya yang satu mati (seperti pujaan dalam bentuk Tuhan), tak hilang akal, manusia akan mencari pujaan-pujaan dalam bentuk maupun konsep lain, bahkan termasuk memuja dirinya sendiri.
Manusia memerlukan pegangan. Di tengah kondisi yang membingungkan, manusia memiliki kebutuhan besar akan sesuatu di luar dirinya yang bisa dijadikan tempat bersandar. Apabila pegangan dalam bentuk Tuhan mati, maka manusia akan menghadirkan pegangan dalam bentuk lain yang bisa membuat dirinya kuat kembali. Pegangan itu bisa dihadirkan dalam bentuk sains, ideology, kepercayaan yang beragam atau bahkan dalam bentuk atheism, -percaya pada ketidakpercayaan. Ketika Tuhan pujaan telah mati, di mana tidak ada pegangan yang cukup kuat untuk dipegang, maka atheism mengimani ketiadaan Tuhan dengan sepenuh hati. Tuhan tidak ada. Jika ada orang yang membantahnya, ia akan mempertahankan kepercayaannya tersebut sedemikian rupa. Dan sebagai orang yang percaya sungguh akan pegangannya itu, ia akan berusaha merasionalkan dan mempertahankan tempat di mana ia berpijak. Ini berlaku bagi semua manusia yang memegang kepercayaan, baik theis maupun non theis. Setiap kepercayaan yang dipegang memang memiliki kelebihan serta kekurangannya. Bagi yang percaya dengan sains, tak diragukan lagi bahwa sains sangat berguna bagi peradaban manusia, namun harga yang dibutuhkan untuk kemajuan sains sangatlah tinggi. Pada agama, kita tahu bahwa agama memiliki peranan penting dalam pembentukan moralitas manusia, namun korban yang ditimbulkan oleh kekerasan yang mengatasnamakan agama juga tidak sedikit.
Manusia akan kesulitan untuk hidup tanpa pegangan. Dia akan limbung dan hidup tanpa arah. Mengapa manusia memerlukan pegangan? Ya, karena manusia lemah, bingung, sakit. Dan selayaknya orang sakit yang membutuhkan obat yang berguna untuk kesembuhannya, manusia memerlukan obat dengan dosis yang pas untuk menjaga kesehatan dan keseiimbangan dirinya. Obat harus dikonsumsi secara bijaksana berdasar takaran dan aturannya. Jangan sampai ketergantungan apalagi over dosis. Demikian juga dengan kepercayaan yang kita pegang.
Mengapa manusia menjadi lemah dan butuh pegangan? Manusia didefinisikan sebagai makhluk sosial yang akan kesulitan bila bertahan sendirian. Dan di tengah kehidupan sosial yang begitu banyak peraturan dan tuntutan, manusia seringkali lupa akan kenyataan yang sebenar-benarnya yang tak mungkin dapat didefinisikan. Ketika definisi tentang kehidupan sosial begitu dilekati, manusia akan terbeban dengan itu, lalu timbulah keinginan di mana “aku ingin bahagia, aku tidak ingin hidup yang sengsara”. Seringkali lupa bahwa tanpa adanya kesedihan, manusia tidak mungkin tahu apa itu bahagia. Manusia takut akan hidup yang tidak pasti, padahal hidup ini ya.. penuh dengan ketidakpastian. Hidup ini indah tapi juga mengerikan. Banyak kebaikan di sekitar kita, tapi juga tak sedikit hal jahat bermunculan. Nietzsche mengatakan bahwa : “Saya hanya mau mengatakan bahwa dunia itu penuh dengan hal-hal indah, tetapi juga hal-hal yang tidak kurang tidak-indahnya. Dunia ini sangat miskin, miskin saat yang indah, miskin pewahyuan yang indah seperti di atas. Tetapi mungkin justru itulah yang membuat hidup mempunyai daya tarik sangat kuat. Hidup ini ditutupi oleh selubung emas, artinya diselubungi oleh berbagai kemungkinan indah yang memberinya garis tubuh menjanjikan, penuh keraguan, sopan, ironis, membangkitkan welas asih, dan menggoda”. Hidup ini tak dapat didefinisikan dan diprediksi secara akurat. Kita memang hidup di tengah masyarakat dengan norma dan aturan yang sangat kompleks dan sebagai bagian darinya, kita perlu ambil bagian dalam tatanan tersebut. Namun kita perlu mengambil jarak dan tidak perlu melekatinya. Adakalanya kita begitu sulit untuk mengerti apa yang terjadi, dan kemungkinan pada saat ini kita memerlukan pegangan. Kita bisa berpegang pada kepercayaan kita tersebut, namun ini pun perlu kita berikan jarak agar kita tidak over dosis dan menjadi fanatik berlebih.
Pegangan yang paling banyak dikenal dan dijadikan tempat bersandar sering disebut dengan Tuhan. Istilah “Tuhan” juga sering dipinjam sebagian orang dengan mengatakan bahwa “Tuhanku itu ya ketidaktahuanku”, atau “Tuhanku ya diriku sendiri”. Begitu banyak definisi tentang Tuhan dan semua itu lahir dari pengalaman dan penghayatan akan kehidupan yang dijalani dan dimaknai secara sedemikian rupa.
Mungkin perdebatan mengenai keberaadaan Tuhan tidak akan pernah usai hingga manusia tidak menggubris lagi mengenai Tuhan. Masing-masing memiliki pendukung setia yang siap membela pegangan yang dia percayai. Di tengah perdebatan yang ada, saat ini ketika kita tengah berlayar, bagi yang telah meninggalkan dermaga -di mana dermaga itu sempat menjadi tempat bersandar, dan anda meninggalkannya secara cukup jauh dan sedang mengarungi samudra luas tanpa batas, apakah anda tidak rindu pada sandaran yang anda tinggalkan?
- A. Setyo Wibowo, dkk, Para Pembunuh Tuhan, Kanisius:Yogyakarta, 2009