Apakah Benar Jokowi Mempraktikan Hukum-hukum Dalam Buku The 48 Laws of Power?

profile picture Mardani
Ekonomi - Dalam Negeri

Bagi pecinta buku seperti saya, buku berjudul "The 48 Laws of Power" telah menjadi pedoman yang sangat berharga dalam menghadapi berbagai tantangan saat berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, baik itu di lingkungan kantor, rumah, atau dalam lingkungan keluarga. 

Bagi pecinta buku seperti saya, buku berjudul "The 48 Laws of Power" telah menjadi pedoman yang sangat berharga dalam menghadapi berbagai tantangan saat berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, baik itu di lingkungan kantor, rumah, atau dalam lingkungan keluarga. 

Buku ini memperkenalkan 48 strategi praktis yang bisa kita terapkan untuk mencapai kekuasaan atau meraih apa pun yang kita inginkan. Namun, niat saya bukan untuk mempromosikan buku ini, melainkan untuk menjelaskan bagaimana fenomena yang diuraikan dalam buku tersebut sangat relate dengan kondisi politik di Indonesia saat ini.

Apakah Benar Hukum Dalam Buku Tersebut di Praktikan Oleh Jokowi?

Ketika saya menonton siaran televisi yang memberitakan deklarasi relawan Jokowi yang beralih mendukung Prabowo. Entah mengapa saya teringat hukum kekuasaan nomor dua dalam buku ini yang berbunyi "Jangan Pernah Terlalu Mempercayai Teman, Tetapi Pelajarilah Cara Memanfaatkan Musuh" dan hukum nomor satu "Jangan Pernah Terlihat Lebih Baik Dari Atasan Anda" serta beberapa hukum kekuasaan lain. 

Hal ini menimbulkan refleksi mendalam tentang bagaimana aspek-aspek kekuasaan dan politik yang dijelaskan dalam buku tersebut secara mengejutkan sama persis dengan strategi politik yang dilakukan Prabowo dan Jokowi saat ini.

Bukti kuat Jokowi mempraktikan hukum dalam buku itu?

1. Awal Persaingan Dua Rival Politik yang Saling Berlawanan

Pertama-pertama saya akan mengajak anda kembali pada tahun 2014 dimana pada saat itu Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhadapan dengan Prabowo yang berpasangan dengan Hatta-Rajasa. Kedua kandidat orang nomor satu RI tersebut diusung oleh dua koalisi besar. Prabowo dengan koalisi Merah Putih (Gerindra, PKS, PAN, PBB) dan Jokowi dengan koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, Hanura, dan PKPI). 

Pemilihan tahun itu menjadi sangat kontroversial, terutama ketika dalam debat kandidat, pihak Jokowi menyoroti isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang melibatkan Prabowo. Prabowo telah dihadapkan pada tuduhan terkait penghilangan paksa puluhan aktivis pro-demokrasi selama periode reformasi.

Debat-debat tersebut menjadi wadah untuk mengungkapkan isu-isu sensitif seperti HAM. Pihak Jokowi dan pendukungnya memanfaatkan kesempatan ini untuk menyoroti rekam jejak Prabowo dalam kasus ini dan mencoba meyakinkan pemilih bahwa hal ini dapat berdampak buruk pada masa depan negara.

Sementara itu, pihak Prabowo berusaha membela diri dan membantah tuduhan tersebut. Mereka fokus pada pencapaian dan visi mereka untuk Indonesia yang lebih baik, sambil menyatakan bahwa Prabowo telah mengubah sikapnya dan menyesuaikan diri dengan konteks politik modern. Namun usaha pembelaan diri Prabowo terasa percuma karena pada akhirnya ia kalah oleh Jokowi dengan perolehan suara yang terpaut sangat tipis (46,85% berbanding 53,15%).

2. Dua Rival yang Kembali Bertemu 

Pada tahun 2019 Jokowi dan Prabowo kembali bersaing memperebutkan kursi kepresidenan. Namun, kali ini pasangan kedua paslon berbeda. Prabowo dengan Sandiaga Uno, pejabat terkaya di tanah air dan Jokowi dengan Maruf Amin salah satu tokoh agama Islam terkemuka di Indonesia. Strategi pilihan wakil Presiden kedua capres tampak jelas, yakni Prabowo yang menginginkan pasangan muda tajir melintir dari latar belakang bisnis dengan tujuan mengurangi beban biaya politik sedangkan Jokowi menginginkan tokoh agama terkemuka untuk merebut suara mayoritas. 

Kedua strategi politik ini membuat saya bertanya-tanya: siapakah yang akan memenangkan pilpres 2019? Akhirnya, pertanyaan saya terjawab, Jokowi sekali lagi memenangkan pilpres dengan perolehan suara yang lebih besar dari pilpres sebelumnya dengan 55,50% berbanding 44,50%.

3. Praktik Hukum Kedua yang Sangat Berhasil

Saya tidak tahu apakah Jokowi pernah membaca buku ini atau tidak, yang jelas hukum kedua dalam buku ini telah dipraktikkan. Lima bulan setelah pengumuman resmi yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Jokowi secara resmi mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.

Keputusan ini membuat saya terkejut. Bagaimana bisa dua rival yang sudah dua kali bertarung akhirnya berdamai dan memutuskan untuk bekerja sama? Persis seperti ajaran hukum kedua yang berbunyi "Jangan Pernah Terlalu Mempercayai Teman, Tetapi Pelajarilah Cara Memanfaatkan Musuh". Kalimat dalam buku ini benar-benar diaplikasikan dalam dunia nyata.

Apakah Jokowi tidak takut Prabowo akan mengkhianatinya? Kalau saya menjadi dia, saya akan merasa khawatir. Namun, setelah membeli buku ini pada tahun 2021 lalu karena penasaran setelah melihat salah satu konten TikTok, pertanyaan saya pun terjawab.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa ketika musuh menjadi teman dan diajak bekerja sama, dia akan 100 kali lebih setia daripada teman karena dia secara bawah sadar ingin membuktikan dirinya bisa sejajar dengan kita. Bisa dilihat prestasi Prabowo yang di akui sebagai salah satu dari menteri terbaik Kabinet Indonesia Maju, berbanding terbalik dengan beberapa menteri Jokowi yang berasal dari partai pengusung awal yang tersangkut dalam kasus korupsi.

4. Hubungan Jokowi dan Megawati Sesuai Hukum Pertama

Keberhasilan karier politik Jokowi tak terlepas dari bayang-bayang PDIP. Partai berjuluk banteng merah yang sudah membesarkan namanya mulai dari Pilkot Solo, Pilgub DKI, dan Pilpres 2014 dan 2019.

Terbesit satu pertanyaan besar ke benak saya saat melihat berita, anak sulung Jokowi dipilih sebagai cawapres Prabowo Subianto, yaitu apakah hubungan Jokowi dan Megawati selaku pemimpin PDIP baik-baik saja?

Saya pikir tidak, Jokowi sudah banyak sekali melanggar aturan-aturan Partai sejak dipermalukan ibu Mega yang menyebut Jokowi "Mentang-mentang", "Kalau tidak ada PDIP Kasihan!" dan sebagainya. 

Dari hinaan ibu Mega dapat saya analisa mentang-mentang yang berarti mentang-mentang presiden sudah mendapat kepercayaan masyarakat yang lebih dari partai kini sudah berani tidak patuh lagi pada saya. Begitulah aturan hukum pertama "Jangan Pernah Terlihat Lebih Baik Dari Atasan Anda"

Sebelumnya saat terpilih sebagai walikota hingga presiden, Jokowi terlihat nurut-nurut saja dengan kebijakan yang diperintahkan oleh ibu Mega. Bahkan, dia sering memuji ibu Mega dalam rapat partai sehingga ibu Mega tampak sangat brilian. 

Namun, ibu Mega salah besar menilai Jokowi. Seakan-akan ia tertipu dengan wajah Jokowi yang polos dan pujian yang melebih-lebihkan dirinya. Kini semuanya sudah terlambat. Saat seluruh rakyat lebih mempercayai Jokowi dibandingkan partainya disitulah momentum kebebasan dan kemenangan Jokowi tercipta.

Dengan seluruh dukungan rakyat Indonesia di belakangnya Jokowi resmi mengambil keputusan besar demi bangsanya. Ia menyuruh Gibran, anaknya maju bekerja sama dengan musuh bebuyutannya sepanjang 2014-2019, Prabowo Subianto.

Penutup

Akhir kata saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak NineVibe selaku panitia penyelenggara lomba. Saya mohon maaf jika ada salah kata yang membuat banyak pihak tersinggung. Sekali lagi ini hanya opini pribadi saya yang diikutkan dalam lomba artikel konspirasi. 

 

 

69 Agree 7 opinions
0 Disagree 0 opinions
69
0
profile picture

Written By Mardani

This statement referred from